Selasa, 28 Juli 2009

Tokoh Islam Nusantara

Tokoh Islam Nusantara



Seperti diketahui, dalam hal penyebaran Islam ke seluruh wilayah Indonesia, tidak luput dari para pejuangnya, yaitu mereka yang menyebarkan agama Islam tersebut. Meski begitu, banyak diantara masyarakat mengenal pejuang wali songo adalah yang pertama. Padahal, sebelum dikenalkan wali songo, para tokoh penyebar Islam ini juga telah ada dan meluas di kawasan Indonesia. Itu sebab, dalam hal ini akan dibagi menjadi dua bagian, diantaranya adalah sejarah pejuang bukan termasuk wali songo (Pejuang Islam Nusantara) dan wali songo itu sendiri.

Pejuang Islam Nusantara
Zaman ini disebut dengan zaman para pejuang bukan wali songo, dimana Islam telah dikenalkan pertama kali dengan Islam yang kental. Pada masa-masa inilah kemudian Indonesia menjadi satu rangkaian jalur perdagangan bagi muslim. Berikut adalah tokoh-tokoh Islam yang tidak termasuk dalam wali songo yang kemudian dapat dikatakan sebagai Pejuang Islam Nusantara. Adapun sebutan Pejuang Islam Nusantara karena mereka tidak termasuk dalam jajaran Wali Songo yang menjadi tokoh penyebar Islam di Jawa. Sedang tokoh penyebar Islam ini juga banyak andil dalam menyebarkan Islam hingga pelosok Nusantara (Indonesia).

1. Cheng Ho
Cheng Ho memiliki nama asli Ma Sanbao. Dia sebenarnya berasala dari provinsi Yunnan yang kemudian dikenal sebagai Ma He. Dia adalah seorang kasim Muslim yang menjadi orang kepercayaan kaisar ketiga dari Dinasti Ming, Tiongkok yang bernama Kaisar Yongle (1403-1424). Pengangkatan Cheng Ho sebgai kasim Istana diawali dengan pasukan Ming yang menaklukkan Yunnan. Pada saat itullah Cheng Ho ditangkap dan kemudian dijadikan orang kasim.
Pada dasarnya, Cheng Ho adalah bukan seorang penyebar Islam di Indonesia, namun demikian, dengan adanya jasa Cheng Ho inilah banyak tokoh Islam yang kemudian menetap di Indonesia. Cheng Ho sendiri tercatat hampir dari keseluruhan pelayarannya adalah mengunjungi Indonesia, yaitu daerah Sumatera dan Jawa. Kedatangannya ke Nusantara ini lantaran urusan kedua Negara dan berdagang. Berikut adalah bukti-bukti kedatangan Cheng Ho ke Indonesia, diantaranya adalah lonceng raksasa “Cakra Donya” yang kini tersimpan di museum Banda Aceh, sebuah piring yang bertuliskan ayat Kursi yang kini masih tersimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon, dan Kelenteng Sam Po Kong (Gedung Batu) serta patung yang disebut Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong di pantai Simongan, Semarang.
Berikut adalah daerah-daerah yang pernah menjadi persinggahan Cheng Ho.

Pelayaran ke-1 (1405-1407): Champa, Jawa, Palembang, Malaka, Aru, Sumatra, Lambri, Ceylon, Kollam, Cochin, dan Calicut.
Pelayaran ke-2 (1407-1408): Champa, Jawa, Siam, Sumatra, Lambri, Calicut, Cochin, dan Ceylon.
Pelayaran ke-3 (1409-1411): Champa, Jawa, Malaka, Sumatra, Ceylon, Quilon, Cochin, Calicut, Siam, Lambri, Kaya, Coimbatore, dan Puttanpur.
Pelayaran ke-4 (1413-1415): Champa, Java, Palembang, Malaka, Sumatra, Ceylon, Cochin, Calicut, Kayal, Pahang, Kelantan, Aru, Lambri, Hormuz, Maladewa, Mogadishu, Brawa, Malindi, Aden, Muscat, dan Dhufar.
Pelayaran ke-5 (1416-1419): Champa, Pahang, Jawa, Malaka, Sumatra, Lambri, Ceylon, Sharwayn, Cochin, Calicut, Hormuz, Maldives, Mogadishu, Brawa, Malindi, dan Aden.
Pelayaran ke-6 (1421-1422): Hormuz, Afrika Timur, dan negara-negara di Jazirah Arab (perjalanan kali ini diyakini saat Cheng Ho hendak berhaji).
Pelayaran ke-7 (1430-1433): Champa, Jawa, Palembang, Malaka, Sumatra, Ceylon, Calicut, Hormuz, dan beberapa Negara lainnya.


2. Syekh Yusuf Tajul Khalwati
Muhammad Yusuf atau Syech Yusuf Tajul Khalwati termasuk Pejuang Islam Nusantara. Dia dilahirkan di Gowa, Sulawesi Selatan pada 3 Juli 1626. Sedang wafatnya berada di Cape Town, Afrika Selatan pada 23 Mei 1699 pada umurnya yang ke-72 tahun. Nama Muhammad Yusuf adalah nama pemberian dari Sultan Alauddin, sultan Gowa yang merupakan kerabat ibunda Syekh Yusuf, Aminah.
Syekh Yusuf menempuh pendidikan agamanya sejak berusia 15 tahun di Cikoang dari Daeng Ri Tassamang, guru kerajaan Gowa. Itu sebabnya, setelah dewasa nama Muhammad Yusuf pun menjadi Tuanta’ Salama’ Ri Gowa Syekh Yusuf Abul Mahasin al Taj al Khalwati al Makassari al Banteni. Selain menempuh pendidikan tersebut, Yusuf juga berguru pada Sayyid Balawi bin Abdul al Allamah Attahir dan Jalaludin al Aydit. Selain tersebut, Syekh Yusuf juga sempat mencari ilmu ke Yaman dan Damaskus. Di Yaman, Syekh yusuf berguru pada Syekh Abdullah Muhammad bin Abdul al Baqi, sedang di Damaskus berguru pada Syekh Abu al Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al Khalwati al Quraisyi.
Setelah menyelesaikan pendidikan agamanya dari Cikoang, Syekh Yusuf menikah dengan putri Sultan Gowa, lalu pada usia 18 tahun, Syekh Yusuf pergi ke Banten dan Aceh. Di Banten ia bersahabat dengan Pangeran Surya (Sultan Ageng Tirtayasa), yang kelak menjadikannya mufti Kesultanan Banten. Di Aceh, Syekh Yusuf berguru pada Syekh Nuruddin ar Raniri dan mendalami tarekat Qodiriyah.
Kematiannya di Afrika adalah akibat penguasaan Belanda di Gowa dan hampir diseluruh kawasan Nusantara. Sedang dalam kekuasaan Belanda di Gowa, menyebabkan kepindahannya di kerajaan Banten dan meneruskan penyebaran Islam di sana pada masa kesultanan Sultan Ageng Tirtayasa. Pada periode inilah kesultanan Banten menjadi pusat pendidikan agama Islam, sedang Syekh Yusuf memiliki murid dari berbagai daerah, termasuk 400 orang asal Makassar yang dipimpin oleh Ali Karaeng Bisai.
Dengan adanya kekuasaan Islam di daerah ini, menyebabkan Belanda memusatkan perhatiannya dan segera menghancurkan kesultanan Banten. Pada tahun 1682, ketika Belanda berhasil menguasai kesultanan Banten dan menggulingkan kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa, Syekh Yusuf yang dianggap sebagai penyebar Islam terbesar, yaitu sebagai Mufti kemudian ditangkap dan diasingkan ke Srilangka pada bulan September 1684.
Namun demikian, saat di Sri Lanka, Syekh Yusuf tetap aktif menyebarkan agama Islam, sehingga memiliki murid ratusan yang umumnya berasal dari India Selatan. Salah satu ulama besar India, Syekh Ibrahim ibn Mi’an. Sedang hubungannya dengan Nusantara masih berlanjut dengan melalui jamaah haji yang singgah di Sri Lanka. Melihat perjuangan Syekh Yusuf terhadap Nusantara belum terputus, Belanda akhirnya mengasingkan Syekh Yusuf ke tempat yang lebih jauh, Afrika Selatan pada bulan Juli 1693.
Di Afrika Selatan, Syekh Yusuf tetap mengajarkan Islam dan memiliki banyak pengikut hingga wafatnya. Itu sebabnya, Nelson Mandela, mantan presiden Afrika Selatan juga mengakui kehebatan Syekh Yusuf dan menyebutnya sebagai “Salah Seorang Putra Afrika Terbaik”.

3. Abdurrauf Singkil
Aminuddin Abdul Rauf bin Ali al Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili atau yang dikenal dengan Syekh Abdurrauf Singkil atau Teungku Syiah Kuala (Syekh Ulama di Kuala) adalah seorang tokoh yang memiliki pengaruh besar dalam penyebaran Islam di Sumatera dan Nusantara pada umumnya. Keluarga Abdurrauf Singkil dipercaya berasal dari Persia atau Arabia yang datang dan menetap di Singkil, Aceh pada akhir abad ke-13. Sedang kelahirannya sendiri diyakini pada tahun 1615. Dan dia kemudian wafat pada tahun 1693 dan dimakamkan di samping masjid yang dibangunnya di Kuala Aceh, desa Deyah Raya Kecamatan Kuala (sekitar 15 Km dari Banda Aceh).
Perihal penyebaran Islam, Abdurrauf Singkil juga banyak terlibat dalam membukukan ajaran-ajaran Islam. Salah satu diantaranya adlaah terjemahan dan tafsir Al Quran bahasa Melayu atas karya al Baidhawi yang berjudul Anwar at Tanzil Wa Asrar at Ta’wil, yang pertama kali diterbitkan di Istanbul tahun 1884. Sedang beberapa karya lainnya adalah sebagai berikut:
1. Mir’at al Thullab fî Tasyil Mawa’iz al Badî’rifat al Ahkâm al Syar’iyyah li Malik
al Wahhab. Buku ini membahas di bidang fiqh atau hukum Islam (buku ini ditulis
atas permintaan Sultanah Safiyatuddin).
2. Tarjuman al Mustafid. Merupakan naskah pertama Tafsir Al Quran yang lengkap
berbahasa Melayu.
3. Terjemahan Hadits Arba’in karya Imam al Nawawi (buku ini ditulis atas permintaan
Sultanah Zakiyyatuddin).
4. Mawa’iz al Badî’. Buku ini membahas tentang nasehat penting dalam pembinaan
akhlak.
5. Tanbih al Masyi. Buku ini merupakan naskah tasawuf yang memuat pengajaran tentang
martabat.
6. Kifayat al Muhtajin ilâ Masyrah al Muwahhidin al Qâilin bi Wahdatil Wujud. Buku
ini memuat tentang penjelasan konsep wahadatul wujud.
7. Daqâiq al Hurf. Buku ini mengajarkan tentang ilmu tasawuf dan teologi.

Sekitar tahun 1662 Abdurrauf Singkil kembali ke Aceh setelah melakukan ibadah haji dan banyak berilmu di sana. Dan dalam kembalinya di Aceh, Abdurrauf mengajarkan serta mengembangkan tarekat Syattariah yang diperolehnya. Menurut Syed Muhammad Naquib al Attas, Ahmad al Qusyasyi adalah salah satu gurunya tentang tarekat Syattariyah. Dalam pengajarannya tersebut, Abdurrauf Singkil memperoleh banyak murid yang berasal dari Aceh dan wilayah Nusantara lainnya. Beberapa yang menjadi ulama terkenal ialah Syekh Burhanuddin Ulakan dari Pariaman, Sumatera Barat dan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan dari Tasikmalaya, Jawa Barat.

4. Syekh Nuruddin Muhammad Ar Raniri
Salah satu tokoh Islam yang juga menjadi penasehat bagi kesultanan Aceh (masa kesultanan Iskandar Tsani) adalah Ar Raniri. Nama lengkapnya adalah Syeikh Nuruddin Muhammad bin ‘Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid ar Raniri al Quraisyi. Dia diperkirakan lahir sekitar akhir abad ke-16 di kota Ranir, India.
Dalam hal keagamaan, Ar Raniri memiliki pengetahuan yang sangat luas meliputi tasawuf, kalam, fikih, hadis, sejarah, dan perbandingan agama. Selama masa hidupnya, ia menulis kurang-lebih 29 buku, dan yang paling terkenal adalah “Bustanus al Salatin”.
Ar Raniri datang ke Aceh pada tahun 1637 dan kemudian menjadi penasehat kesultanan di sana hingga tahun 1644. Dalam hal penyebaran Islam, Ar Raniri sangat berperan penting dalam memimpin ulama Aceh menghancurkan ajaran Tasawuf Falsafinya Hamzah al Fansuri. Sedang Tasafuw ini cenderung sesat dan dikhawatirkan dapat merusak akidah umat Islam awam terutama yang baru memeluknya. Sedang aliran ini adalah tidak salah jika benar dalam penafsirannya. Yaitu hanya mencintai Allah dan bukan menjadikan dirinya sebagai Allah itu sendiri.
Dengan hancurnya ajaran Tasawuf Falsafi Hamzah al Fansuri, Ar Raniri kemudian kembali ke India meninggal di India pada 21 September 1658.

5. Syekh Burhanuddin Ulakan Pariaman
Syeikh Burhanuddin Ulakan Pariaman adalah seorang ulama yang menyebarkan Islam di Kerajaan Pagaruyung, Ulakan Pariaman-Sumatera. Syekh Burhanuddin pernah menimba ilmu kepada Syekh Abdurrauf Singkil, yang pernah menjadi murid dan penganut setia ajaran Syekh Ahmad al Kusyasi di Madinah. Oleh Syekh Ahmad keduanya diberi wewenang untuk menyebarkan agama Islam di daerahnya masing-masing. Selain sebagai penyebar Islam, dia juga terkenal sebagai pahlawan pergerakan melawan penjajahan Belanda.

6. Syekh Abdul Muhyi Pamijahan
Syekh Abdul Muhyi dilahirkan di Mataram tahun 1650 dari seorang Ibu yang bernama Rd. Ajeng Tanganjiah sebagai keturunan dari Sayidina Husen dan ayahnya bernama Sembah Lebe Wartakusumah keturunan dari raja Galuh. Dia tidak lama hidup di Mataram tapi beralih ke Gresik dengan orang tuanya.
Dalam ajaran agamanya, Syekh Abdul Muhyi selalu dididik orang tuanya dan ulama-ulama di Gresik. Dalam usianya yang muda, dia kemudian melanjutkan pendidikannya ke Kuala Aceh pada gurunya yang bernama Syekh Abdurrouf bin Abdul Jabar selama 8 tahun.
Pada waktu berumur 27 tahun, Syekh Abdul Muhyi bersama teman-temannya sepesantren dibawa ke Bagdad oleh gurunya untuk menjiarahi makam Syekh Abdul Qadir Jaelani. Syekh Abdul Muhyi kemudian tinggal selama 2 tahun untuk menerima ajaran Islam yang lebih mendalam. Setelah itu oleh gurunya dibawa ke Mekah untuk ibadah Haji. Ketika berada di Baitullah, tiba-tiba Abdurrouf Singkil mendapatkan petujuk bahwa diantara santrinya itu ada yang mendapat pangkat kewalian.
Dalam petunjuk tersebut, dinyatakan bahwa manakala tanda itu telah nampak olehnya, maka ia harus segera menyuruh orang itu pulang dan terus mencari gua di Pulau Jawa bagian barat untuk menetap disana. Gua itu sebenarnya bekas Syekh Abdul Qodir Jaelani menerima ilmu agama Islam dari Gurunya (Imam Sanusi).
Setelah kejadian tersebut, Adurrauf segera membawa pulang Syekh Abdul Muhyi ke Kuala tahun 1677 M yang kemudian disuruh pulang ke Gresik dan ditugaskan untuk mencari gua dan menetap di sana. Setelah mengetahui bahwa Syekh Abdul Muhyilah yang dimaksudkan.
Sebelum melaksanakan perintah gurunya, Syekh Abdul Muhyi menikahi seorang perempuan yang bernama Ayu Bakta. Setelah menikah berangkatlah bersama istrinya meninggalkan Gresik menuju ke arah barat dan sampailah di daerah yang bernama Darma Kuningan. Di sana dia kemudian disuruh oleh penduduk setempat untuk memberikan ajaran Islam. Hingga akhirnya Syekh Abdul Muhyi menetap selama 7 tahun guna mengajarkan Islam dan kembali melanjutkan tugas gurunya yaitu mencari gua. Dalam perjalanan selanjutnya, Syekh Abdul Muhyi melewati beberapa tempat yang kemudian juga menyebarkan ajaran Islam, diantara daerah yang kemudian dilewatinya adlah Pameungpeuk (Garut Selatan), Batuwangi, Lebaksiuh, dan gunung Kampung Cilumbu (Gunung Mujarod).
Di daerah Gunung Mujarod itulah, Syekh Abdul Muhyi kemudian menemukan gua yang dimaksudkan Abdurrauf Singkil. Sedang saat itu usaianya mencapai 40 tahun. Di gua tesebut, Syekh Abdul Muhyi kemudian mendidik murid-muridnya dengan penuh ketekunan dan kesabaran sehingga mereka benar-benar sudah menjadi muslim yang penuh dengan ilmu pengetahuan agama Islam.
Dalam ajarannya, Islam akhirnya menyebar hingga ke daerah Priangan selatan, lalu masuk ke daerah Sukapura juga ke daerah Ciamis bekas kerajaan Galuh. Dengan meluasnya ajaran yang disampaikan Syekh Abdul Muhyi hingga ke Bandung, Cirebon, Surabaya, dan Mataram, membuat Sultan Adipati Ngalanga tertarik. Oleh karena itu ia dipanggil untuk mengajar para putranya dengan menjanjikan akan memerdekakan daerah Pamijahan.
Setelah Pamijahan dimerdekakan oleh Sultan Adipati Ngalanga, Belanda yang telah menguasai Tasikmalaya bagian selatan pun ingin pula menguasai Pamijahan. Belanda meminta kepada Syekh Abdul Muhyi untuk menyerahkan Pamijahan kepadanya dengan pajak tiap tahun dibebankannya. Namun demikian, Syekh Abdul Muhyi menolak dengan keras dan mengharamkan beban pajak atas daerahnya lantaran Belanda bukan Negara Islam dan Pamijahan sendiri adalah daerah yang sudah dimerdekakan oleh kesultanan Mataram, itu berarti Pamijahan memiliki kawasan kekuasaan sendiri dan bukan lagi merupakan kekuasaan manapun. Perlawanannya terhadap Belanda inipun terus dilaksanakan hingga wafatnya pada usianya yang ke-80 tahun yang bertepatan pada tanggal 8 Jumadil Awal tahun 1151 H atau 1730 M.

7. Syekh Datuk Kahfi
Syekh Datuk Kahfi termasuk ke dalam kelompok Pejuang Islam Nusantara karena merupakan leluhur dari raja-raja Sumedang dan menjadi guru dari Pangeran Walangsungsang dan Nyai Rara Santang (Syarifah Muda’im), yaitu putera dan puteri dari Sri Paduga Maharaja (Prabu Siliwangi), raja Kerajaan Pajajaran, Jawa Barat. Nyai Rara Santang sendiri adalah ibu dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Syekh Datuk Kahfi dikenal juga dengan nama Syekh Idhofi atau Syekh Nurul Jati. Syekh Datuk Kahfi juga merupakan buyut dari Pangeran Santri (Ki Gedeng Sumedang), penguasa di Kerajaan Sumedang Larang, Jawa Barat.
Dalam silsilah keluarganya, Syekh Datuk Kahfi merupakan keturunan dari Nabi Muhammad yang juga keturunan Khalifah Ali. Dengan begitu, nama Syekh Datuk Kahfi berdasarkan silsilahnya adalah Syekh Datuk Kahfi bin Syekh Datuk Ahmad bin Maulana Isa bin Sayid Abdul Kadir bin Sayid Amir Abdullah Khan (Azamat Khan) bin Sayid Abdul Malik bin Sayid Alwi bin Muhammad Sahib Mirbath bin Ali Khali’ Qosam bin Alawi bin Muhammad bin Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa al Rumi bin Muhammad al Naqib bin Ali al Uraidhi bin Imam Ja’far ash Shadiq bin Muhammad al Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Sedang Ali bin Abi Thalib menikah dengan Fatimah az Zahra binti Muhammad.
Lantaran termasuk keturunan Nabi Muhammad, Syekh Datuk Kahfi pun juga bukan orang Indonesia asli. Syekh Datuk Kahfi adalah seorang pejuang Islam yang datang dari Baghdad dan pertama kali menyebarkan ajaran Islam di daerah Amparan Jati (Muara Jati), Cirebon. Lantaran ingin mengajarkan Islam di wilayah tersebut, Syekh Datuk Kahfi akhirnya menetap dan kemudian wafat dan dimakamkan di Gunung Jati. Sedang makamnya tersebut kini dapat ditemui bersamaan dengan makam Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), Pangeran Pasarean, dan raja-raja Kesultanan Cirebon lainnya.

8. Ki Gedeng Tapa
Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang saudagar kaya di pelabuhan Muarajati, Cirebon. Ia mulai membuka hutan ilalang dan membangun sebuah gubug dan sebuah tajug (Jalagrahan) pada tanggal 1 Syura 1358 (tahun Jawa) bertepatan dengan tahun 1445 Masehi. Sejak saat itu, mulailah para pendatang mulai menetap dan membentuk masyarakat baru di desa Caruban.

9. Ki Gedeng Alang-Alang
Kuwu atau kepala desa Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak lain adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.

10. Hasanuddin (Syekh Quro)
Pengenalan Islam oleh Hasanuddin ini dimulai pada tahun 1428. Sedang daerah penyebaran Islamnya di Tanjungpura, Kerawang. Adapun usaha yang dilakukan olehnya adalah dengan mendirikan pesantren yang dinamai Pesantren Quro. Itu sebabnya, Hasanuddin kemudian dikenal sebagai Syekh Quro. Sedang setelah sepeninggalnya, dia kemudian dimakamkan di desa Pulo Kalapa, Lemahabang-Karawang.
Hasanuddin atau Syekh Quro dipercaya sebagai pejuang Islam yang berasal dari Mekah. Diperkirakan Hasanuddin datang dari Champa (kini Vietnam selatan) dan turut dalam pelayaran armada Cheng Ho yang kemudian tiba di daerah Tanjungpura, Karawang.
Dalam hubungan Hasanuddin dengan penguasa Cirebon adalah lebih memudahkan jalannya untuk menyebarkan Islam. Terlebih lagi, putri Ki Gedeng Tapa, penguasa Cirebon yang bernama Nyai Subang Larang menjadi muridnya. Dan dari keturunan Nyai Subang Larang inilah kemudian menjadi Pejuang Islam Nusantara selanjutnya yang dikenal dengan Pangeran Kian Santang. Sedang Pangeran Kian Santang sendiri bukan hanya keturunan penguasa Cirebon, melainkan juga menjadi putra dari raja kerajaan Pajajaran, Raden Manahrasa yang bergelar Sri Baduga Maharaja.

11. Syekh Jumadil Qubro
Dalam hal penyebaran Islam di Indonesia, Syekh Jumadil Qubro tidak luput dari Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq. Sedang keduanya adalah putra dari Syekh Jumadil Qubro yang berasal dari Samarkand, Uzbekistan. Sedang dalam silsilah keluarganya, Syekh Jumadil Qubro juga diyakini sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw. yang berasal dari silsilah Husain bin Ali bin abi Thalib, yaitu putra Fathimah az-Zahra binti Muhammad.
Dalam beberapa fakta dan sejarah menyatakan bahwa Syekh Jumadil Qubro juga dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar atau Syekh Jumaddil Akbar atau Syekh Jamaluddin Akbar (Jamaluddin al Akbar al Husaini). Hanya saja, persamaan nama atau julukan ini banyak pula yang tidak menyetujui lantaran antara Syekh Jumadil Qubro dengan Syekh Maulana Akbar adalah berbeda. Salah satu perbedaan diantaranya adalah Syekh Jumadil Qubro diyakini datang dari Samarkhand-Uzbekistan, sedangkan Syekh Maulana Akbar berasal dari Gujarat-India. Namun demikian, Martin van Bruinessen dalam bukunya yang berjudul Najmuddin al-Kubra, Jumadil Kubra and Jamaluddin al-Akbar: Traces of Kubrawiyya influence in early Indonesian Islam, nama Jumadil Qubro sesungguhnya adalah hasil perubahan hyper-correct atas nama Jamaluddin Akbar oleh masyarakat Jawa.
Sedang dalam perihal tentang keturunannya, juga terdapat perbedaan pendapat. Sebagian berpendapat bahwa keturunannya adalah Ibrahim Akbar (Ibrahim as Samarkandi), Ali Nuralam Akbar, dan Zainal Alam Barakat (Barokah Zainul Alam) dan pendapat lain menyebutkan bahwa Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq adalah keturunannya. Sedang terdapat pendapat yang lainnya tentang asal usul Maulana Malik Ibrahim yang merupakan putra dari Zainal Alam Barakat (Barokah Zainul Alam).
Meski banyak data yang menyimpulkan perbedaan tentang Syekh Jumadil Qubro, namun dapat disimpulkan bahwa diantara sebutan nama-nama lainnya tersebut memiliki kesamaan yaitu tentang silsilahnya yang juga merupakan keturunan Nabi Muhammad, yaitu Syekh Jumadil Qubro adalah putra dari Ahmad Syah Jalal bin Abdullah (al Azhamat) Khan bin Abdul Malik (Ahmad Khan) bin Alwi Ammi al Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi ats Tsani bin Muhammad Sahibus Saumiah bin Alwi Awwal bin Ubaidullah bin Ahmad al Muhajir bin Isa ar Rummi bin Muhammad al Naqib bin Ali al Uraidhi bin Ja’far ash Shadiq bin Muhammad al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Sedang untuk makam Syekh Jumadil Qubro sendiri dipercaya ada di beberapa tempat, yaitu di Semarang, Trowulan, dan di Desa Turgo (dekat Plawangan), Kecamatan Turi-Yogyakarta. Namun demikian, tidak diketahui di mana ia dimakamkan.

12. Syekh Khaliqul Idrus
Syekh Khaliqul Idrus atau Syekh Abdul Khaliq al Idrus adalah seorang tokoh Islam yang berdakwah di Jepara. Syekh Khaliqul Idrus bin Muhammad al Alsiy adalah seorang keturunan berkebangsaan Parsi (Persia). Meski daerah penyebarannya hingga di Jepara, dia kemudian wafat pula di Isfahan, Parsi.
Dalam penyebaran Islam di Jepara, Syekh Khaliqul Idrus sebenarnya tidak banyak memilik peran, hanya saja dari keturunannyalah kemudian Islam banyak menyebar di tanah Jawa, yaitu Patih Unus. Dari pernikahan Syekh Khaliqul Idrus dengan salah seorang cucu Syekh Maulana Akbar (Syekh Jumadil Qubro) inilah kemudian dia mendapatkan seorang putra yang kemudian dikenal dengan Raden Muhammad Yunus. Sedang Raden Muhammad Yunus kemudian menikahi salah seorang putri Majapahit hingga mendapat gelar Wong Agung Jepara. Pernikahan Raden Muhammad Yunus dengan putri Majapahit di Jepara ini kemudian melahirkan Raden Abdul Qadir yang menjadi menantu Raden Patah. Dalam susunan kerajaan Demak, Raden Abdul Qadir kemudian dikenal sebagai Adipati bin Yunus atau lebih dikenal dengan sebutan Pati Unus. Setelah Raden Patah wafat, Pati Unus inilah yang kemudian menggantikannya. Itu sebab Raden Abdul Qadir kemudian juga dikenal dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor.

13. Maulana Ishaq
Kedatangan Maulana Ishaq bersama kakaknya, Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) dan kakeknya (Syekh Jumadil Qubro) ke tanah Jawa. Hanya saja, kedatangan mereka kemudian terpecah guna menyebarkan ajaran Islam. Pada perpecahan ini, Maulana Ishak kemudian menuju ke kerajaan Persia, Aceh-Sumatera.
Maulana Ishaq sendiri adalah keturunan Nabi Muhammad dari Husein bin Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian, Maulana Ishaq adalah putra dari Zainal Alam Barakat bin Jamaluddin Akbar al-Husaini (Jumadil Qubro) bin Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan) bin Abdullah (al Azhamat) Khan bin Abdul Malik (Ahmad Khan) bin Alwi Ammi al Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi ats Tsani bin Muhammad Sahibus Saumiah bin Alwi Awwal bin Ubaidullah bin Ahmad al Muhajir bin Isa ar Rummi bin Muhammad al Naqib bin Ali al Uraidhi bin Ja’far ash Shadiq bin Muhammad al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (sepupu Nabi Muhammad).
Dalam siar Islamnya, Maulana Ishaq setelah menyebarkan ajaran Islam di kerajaan Persia, kemudian menuju gua gunung Selangu, Blambangan untuk menyendiri dan mendekatkan diri kepada Allah. Di Blambangan, Maulana Ishaq akhirnya menikahi Dewi Sekardadu, seorang putri raja Blambangan Prabu Menak Sembuyu. Pernikahan diantara keduanya dimulai ketika Maulana Ishaq berhasil menyembuhkan penyakit Dewi Sekardadu. Dan setelah pernikahannya berlanjut, Maulana Ishaq akhirnya diangkat menjadi Adipati Blambangan.
Melihat keberhasilan Maulana Ishaq dalam segala hal, membuat Patih Bajul Senggara iri hati. Yaitu selain dirinya yang juga mengharapkan Dewi Sekardadu menjadi istrinya, juga Maulana Ishaq menjadi lebih dipercaya oleh Prabu Menak Sembuyu. Itu sebabnya, banyak pengikut Maulana Ishaq kemudian diculik dan disiksa dengan tanpa sepengetahuan rajanya.
Melihat keganasan Patih Bajul Senggara, membuat Maulana Ishak untuk memilih meninggalkan Blambangan demi rakyatnya yang tidak bersalah. Sedang di sisi lain, Patih Bajul Senggara sudah menghasut rajanya guna dapat menghabisi Maulana Ishaq.
Maulana Ishaq pun akhirnya meninggalkan Blambangan dengan kondisi Dewi Sekardadu yang sedang mengandung tujuh bulan. Sesaat sebelum kepergian Maulana Ishaq, dia berpesan kepda istrinya untuk menamai anaknya kelak sebagai Raden Paku jika seorang laki-laki, sedang jika perempuan, terserah kepada istrinya.
Maulana Ishaq kemudian melanjutkan misi dakwahnya ke kerajaan Pasai. Sedang di kerajaan tersebut, Maulana Ishaq kemudian dikenal sebagai Syekh Maulana Awalul Islam. Dan ketika Raden Paku telah beranjak dewasa, bersama dengan Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) dianjurkan oleh Raden Rahmad (Sunan Ampel) untuk pergi menemui pamannya di kerajaan Pasai sebelum berangkat ke Mekah. Di kerajaan Pasai tersebut kemudian Maulana Ishaq bertemu kembali dengan anaknya dan kembali ke Gresik setelah Giri Kedaton berhasil dibangun oleh Raden Paku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar