Senin, 04 Januari 2010

Tertawa ala Gus Dur

Fenomenal yang terjadi di Indonesia mungkin salah satunya adalah dengan adanya Gus Dur. Dengan sosoknya yang dikenal sebagai seorang yang santai ini ternyata memang benar-benar santai. Bahkan kesantaiannya tersebut pun akhirnya menjadikannya dirinya sebagai seorang yang dekat dengan siapapun yang ingin bersamanya. Bukan hanya itu saja, Gus Dur pun banyak mengumbar kata-kata yang dinilai sangat menghibur dan merakyat.

Dengan sikapnya yang terlihat santai dan humoris tersebutlah Gus Dur akhirnya dijauhkan dari kursi puncak kepemimpinan di Indonesia yang sebelumnya dimilikinya, yaitu Presiden Republik Indonesia. Seperti yang diketahui, Gus Dur pernah menjadi Presiden RI pada tahun 1999 yang kemudian terpaksa dicopot pada tahun 2001. Sebagian data menyebutkan bahwa penurunan Gus Dur ini diakibatkan oleh kasus Buloggate dan Bruneigate yang menuduh bahwa Gus Dur terlibat di dalamnya. Benarkah demikian?

Gus Dur memang tokoh yang kontroversial semasa dirinya menjabat sebagai Presiden RI yang ke-4 menggantikan Presiden B.J. Habibie yang sebelumnya juga meggantikan Presiden “seumur hidup” Soeharto. Dan salah satu hal yang menjadikan Gus Dur sebagai seorang kontroversi adalah dengan adanya pembubaran Departemen Penerangan dan Departemen Sosial kala itu. Bahkan tidak tanggung-tanggung, Gus Dur pun kemudian mengeluarkan Dekrit Presiden pada 23 Juli 2001 untuk membubarkan MPR dan DPR. Mungkin saja, usulan pembubaran MPR/DPR ini karena Gus Dur menganggap bahwa wakil-wakil rakyat yang menjabat kala itu dinilai tidak lebih dari sekedar anak TK (taman kanak-kanak). Bagaimana tidak, ketika Gus Dur sedang berdiri di podium di depan seluruh anggota MPR/DPR, Gus Dur pun mengguncang wakil-wakil rakyat tersebut dengan gurauan-gurauannya hingga suasana tegang pun menjadi “kelas taman kanak-kanak” yang dipenuhi dengan candatawa.

Setelah dipikir-pikir, bukan hanya MPR/DPR saja yang seharusnya di cap sebagai anak TK, melainkan seluruh orang yang tidak mengenal dan mengerti Gus Dur lebih dekat. Sebut saja Fidel Castro yang akhirnya tertawa terpingkal-pingkal di “pangkuan” Gus Dur. Bukan hanya pemimpin sangar Kuba Fidel Castro saja yang dapat dibuatnya terpingkal-pingkal karena masih banyak sebenarnya yang kemudian dibuat tertawa olehnya.

Untuk mengenang tawa Gus Dur yang tidak mungkin dilontarkan lagi olehnya, maka dalam bab ini pun sengaja disediakan secara khusus agar pembaca dapat mengetahui betapa konyol situasinya jika harus berhadapan dengan Gus Dur. Berikut adalah beberapa joke-joke ringan yang pernah diutarakan Gus Dur. “Gitu aja kok repot!”


Tuhan dan Anaknya

Cerita ringan ini sempat disampaikan kepada Dahlan Iskan yang kal itu sedang mnjenguk Gus Dur ketika dirinya sedang dalam kadaan sakit. Untuk mengakrabkan suasana, Gus Du pun brcerita tentang seorang Kyai yang sedang mengeluh kepadanya. Kyai tersebut mngeluh kepada Gus Dur karena salah seorang anaknya masuk ke agama Kristen. Hal ini tentu bertolak belakang dengan keyakinannya yang berjalan di jalan Islam. Namun demikian, Gus Dur hanya memberikan gambaran dengan mengatakan, ”Sampeyan (Anda) jangan mengeluh ke Tuhan. Nanti Tuhan akan bilang, ‘Saya saja yang punya anak satu-satunya, masuk Kristen!’”


Fidel Castro dan B.J. Habibie

Sebuah cerita menarik ini di dapat ketika Gus Dur yang kala itu menjabat sebagai Presiden RI ke-4 sedang mengunjungi Kuba dan bertemu dengan pemimpinnya yang terkenal sangar dan menakutkan tersebut, Fidel Castro.

Dalam pertemuannnya tersebut, Gus Dur “menghiburnya” dengan candaannya yang menyebutkan bahwa presiden-prseiden di Indonesia itu gila semuanya. Gus Dur mengatakan kepada Fidel Castro bahwa “Presiden Gila RI” itu ada empat, yaitu yang pertama gila wanita, yang kedua gila harta, yang ketiga gila teknologi, dan yang keempat pemilihnya yang gila.

Seperti yang dikutip dari harian koran Surabaya Post, Gus Dur menyebutkan bahwa Presiden Soekarno yang juga sebagai Presiden RI pertama disebut sebagai gila wanita. Presiden Ri kedua, Presiden Soeharto, disebut sebagai gila harta. Presiden RI ketiga, Presiden Habibie, benar-benar gila ilmu (teknologi). Sedang yang keempat, yaitu dirinya sendiri tidak dinyatakan “gila” karena pemilihnya adalah gila dan dirinya mampu membuat banyak orang gila.

Mendengar penjelasan tersebut, sontak Fidel Castro pun menjadi terpingkal-pingkal. Namun belum sempat tawa tersebut surut, Gus Dur pun kemudian menambahkan pertanyaan kepada Fidel Castro, “Yang Mulia Presiden Castro termasuk yang mana?” Dan dengan dalam kondisiny ayang masih tertawa, Fidel Castro pun menyautnya bahwa dirinya termasuk yang ketiga dan keempat.

(Mungkin) merasa dihinakan, ketika Gus Dur hendak berkunjung ke mantan Presiden Ri ke-3 tersebut di Jerman, salah seorang teman dekat Habibie pun meminta Gus Dur untuk mengulangi ceritanya kepada Fidel Castro tersebut. Hanya saja, Gus Dur pun sedikit merubah ceritanya hanya untuk “menghibur” sang mantan presiden. Dalam ceritanya tersebut, Gus Dur mengatakan kepada Fidel Castro bahwa Presiden RI itu hebat-hebat. Presiden Soekarno dinyatakan sebagai negarwan, Presiden Soeharto dinyatakan sebagai hartawan, Presiden Habibie adalah seorang ilmuwan, sdang dirinya sendiri adalah wisatawan.


Presiden Filipina dan 3 anaknya

Gus Dur memang tidak tanggung-tanggung dalam hal mengeluarkan candanya. Jika dengan Fidel Casto dirinya menceritakan tentang Presiden RI, kali ini Gus Dur pun mengeluarkan candanya tentang Presiden Filipina dengan ketiga anaknya.

Diceritakannya kala itu bahwa Presiden Filipina yang memiliki kekuasaan “abadi” pun kemudian menjadikan ketiga anaknya berulah. Ketiga anak-anaknya ini tidak perduli dengan apa yang akan terjadi, yang mereka ketahui adalah mereka berhak melakukan apapun karena sebagai anak nomor satu di Filipina. Dengan kondisinya yang demikian, anak keduanya pun mencoba mencari sensasi dengan menyebarkan uang kertas bernilai 5 peso hingga jutaan jumlahnya melalui pesawat terbang. Namun aksi ini pun kemudian tidak dapat diterima oleh sang kakak. Merasa disepelekan, sang kakak pun mengikuti jejak sang adik, hanya saja, jumlah yang disebarkan kala itu jauh lebih banyak.

Merasa tidak ingin disaingi, si bungsu pun kemudian mencoba melakukan hal yang berbeda, namun dirinya tidak mengetahui harus berbuat apa. Sebagai anak bungsu dan juga ingin memiliki aksi yang lebih atraktif, dia pun kemudian meminta saran kepada pilot pesawat yang sebelumnya juga ikut dalam aksi kakak-kakaknya sebelumnya.

“Mas kapten, aku ingin popular seperti dua kakakku sebelumnya, tapi tindakan popular apa yang bisa membahagiakan rakyat?” Tanya si putri bungsu.

“Gampang sekali. Buang saja ayah Nona dari atas pesawat.” Jawab sang pilot ringan.


Paraguay VS Brazil

Dalam sebuah pekan, Gus Dur yang gemar mengeluarkn crita-cerita lucu pun mencoba kembali menghibur. Kala itu, Gus Dur pun menceritakan tentang dua negara yang menurutnya sama-sama aneh, yaitu Paraguay dan Brazil.

Diceritakan kala itu seorang Panglima Angkatan Laut (AL) Paraguay sedang melakukan kunjungan ke negara Brazil. Dalam kunjungannya tersebut, panglima tersebut pun akhirnya disambut oleh Panglima AL Brazil. Merasa ingin mendekatkan diri, salah seorang staf dari AL Brazil pun kemudian berceloteh kepada Panglima AL Paraguay, ”Negara Bapak itu aneh, ya. Tidak punya laut tapi punya panglima seperti Bapak.”

Meski dirinya merasa dicemooh, Panglima AL Paraguay tersebut pun akhirnya memilih untuk menanggapinya dengan tenang dan sabar, ”Negeri Anda ini juga aneh, ya. Hukumnya tidak berjalan, tapi merasa perlu mengangkat seorang menteri kehakiman.”


Made in Japan

Suatu ketika, saat Gus Dur sedang dikunjungi oleh temannya yang kebetulan berasal dari Jepang, keduanya pun hendak meneruskan pejalanannya menuju bandara. Seusai pertemuannya di hotel Hilton, keduanya pun sepakat untuk menggunakan jasa taksi untuk lebih merakyat.

Setelah menaiki taksi tersebut, tiba-tiba taksi yang meeka naiki pun dibalap oleh sebuah mobil yang diketahui buatan Jepang. “Aah... Toyota. Made in Japan. Sangat cepat....” Ucap teman Gus Dur dengan bangga.

Bangganya teman Gus Dur kala itu pun hanya disambut dengan senyumnya yang ringan. Namun tidak lama beslang kemudian, sebuah mobil kembali membalap taksi yang mereka tumpangi. “Aah... Nissan. Made in Japan. Sangat cepat....” Ucap teman Gus Dur kembali dengan bangga.

Tidak selang berapa waktu kemudian, taksi mreka kembali dibalap lagi oleh sebuah mobil yang menjadikan teman Gus Dur semakin bangga, ”aah... Mitubishi. Made in Japan. Sangat cepat....” Ucap teman Gus Dur sekali lagi dengan bangga.

Merasa bosan dan jengkel dengan sikap sombong yang diuraikan teman Gus Dur tersebut, sang sopir taksi pun menggunakan kesempatan tersebut untuk memberikan efek jera kepadanya. Setelah keduanya sampai ditujuan, sang sopir pun menarget dengan upah sebanyak 100 USD. Sontak teman Gus Dur pun terkejut dengan biayanya yang terbilang besar tersebut, ”100 dollars?! Its not that far from the hotel....” Melihat kejadian tersebut, Gus Dur bukannya protes ke sopir taksi tersebut untuk membantu temannya, dia malah mendukung si sopir taksi tersebut dengan mengatakan, ”aah... argometer ini kan made in Japan juga, jadi sangat cepat sekali”.


Gus Dur dan Banser (Barisan Serbaguna)

Kisah ini diceritakan kembali oleh Gus Dur yang latar yang kala itu dirinya sedang berkunjung ke Malang untuk menghadiri sebuah acara. Mendengar akan datang Gus Dur dalam acara tersebut pun menyebabkan banyaknya orang yang menantikan kehadirannya tersebut. Itu sebab, untuk mengantisipasi kejadian tersebut, panitia penyelenggara acara pun membagi tugas kepada banser dalam dua tim yang berbeda, yaitu di Bandara Abdurrahman Saleh dan tempat terselenggaranya acara tersebut.

Dengan turunnya pesawat yang dinaiki Gus Dur, salah seorang anggota Banser yang berjaga di bandara pun mencoba menghubungi petugas yang lainnya untuk segra bersiap karena Gus Dur sudah datang. Entah karena terlalu brsemangat atau gugup, petugas yang sedang menghubungi petugas lainnya pun menjadi salah tingkah.

“Halo. Kontek... kontek.... Kyai Abdurrahman Saleh sudah mendarat di Bandara Abdurrahman Wahid (Gus Dur).” Ucap seorang petugas tersebut.

Sontak saja dari sisi lain pun menjadi kebingungan yang akhirnya menjadi tawa yang lebar. Bukannya Kyai Abdurrahman Wahid sudah datang di Bandara Abdurrahman Saleh, malah Kyai Abdurrahman Saleh sudah mendarat di Bandara Abdurrahman Wahid.


Mahfud MD; Orang Madura dan Polisi

Kejadian kali ini tidak melibatkan Gus Dur di dalamnya, melainkan Gus Dur yang kala itu masih menjabat sebagai presiden sedang menceritakan sebuah kisah kepada menteri pertahannya, Mahfud MD.

Dalam pembicaraannya kepada Mahfud MD tersebut, Gus Dur menceritakan bahwa orang Madura itu cerdik-cerdik. Dalam ceritanya, seorang sopir becak sedang melanggar rambu lalu lintas tersebut tertangkap basah oleh seorang polisi yang saat itu sedang bertugas.

“Apa kamu tidak melihat rambu itu? Rambu itu kan artinya becak dilarang masuk!” Bentak polisi tersebut.

“Oh, saya lihat kok, Pak. Tapi, dalam rambu itu kan gambarnya becak kosong dan tidak ada sopirnya. Lha becak saya kan tidak kosong dan ada sopirnya. Berarti kan boleh masuk.” Jawab bang becak ringan.

“Bodoh! Apa kamu tidak membaca tulisan di bawahnya? Di bawah gambar itu kan ada tulisannya becak dilarang masuk!” Bentak polisi tersebut yang semakin kesal.

“Wah, saya kan tidak bisa baca, Pak. Kalau saya bisa baca, ya... saya bisa jadi polisi kayak sampeyan, Pak. Bukan tukang becak kayak begini.” Jawab bang becak kembali dengan nada bergurau.


Telat mencabut

Kembali kenangan yang diperoleh oleh Dahlan Iskan saat menjenguk Gus Dur. Kala itu dahlan Iskan pun diberikan pertanyaan ringan oleh Gus Dur, ”Apa yang menyebabkan persamaan antara sakit gigi, orang hamil, dan rumput panjang?”

Belum sempat pertanyaan tersebut dijawab (yang kmungkinan jika dijawab pun akan salah), Gus Dur pun menjawabnya sendiri ”Penyebab sakit gigi itu sama dengan penyebab orang hamil dan sama juga dengan penyebab mengapa rumput tumbuh tinggi, yaitu sama-sama terlambat dicabut.”


Begitulah Gus Dur. Selalu hidup dengan lelucon-leluconnya untuk membantu orang di sekelilingnya selalu tertawa. Dia lupa bahwa dirinya sedang dalam keadaan yang kurang baik secara fisik, namun demikian kepentingan kebahagiaan orang lainlah yang kiranya diutamakan baginya. Contoh di atas adalah sebagian kecil joke ala Gus Dur, karena sebenarnya masih banyak lelucon-lelucon Gus Dur yang kemudian banyak dituangkan dalam buku khususnya.

Sebagian orang memang memandang bentuk lelucon yang disampaikan Gus Dur ini memang pure lelucon belaka. Hanya saja, hal ini tidak disetujui oleh Jaya Suprana. Bahkan pemimpin tertinggi Museum Rekor Indonesia (MURI) ini menganggap bahwa Gus Dur layak mendapatkan sertifikat MURI karena sering disalah tafsirkan.

Masih dalam pendapat Jaya Suprana, dia menambahkan bahwa salah satu hal yang membuatnya tergelitik adalah adanya sebutan “Pak Gus Dur” yang sering didengarnya. Jaya Suprana masih kurang paham bagaimana seorang memanggil nama Gus Dur dengan penambahan “Pak”. Padahal, menurutnya, “Gus” sendiri dapat diartikan sebagai “Pak”.

Gus Dur di mata Jaya Suprana memang sosok yang sulit diterka. Itu sebab, dia pun kemudian menyamakan sosok Gus Dur ini sama dengan Socrates, seorang filsuf asal Athena-Yunani ini. Dalam penuangan pendapatnya tersebut, Jaya Suprana mengatakan bahwa antara Gus Dur dan Socrates memiliki kesamaan dalam hal pengungkapan yang ngawur atau dalam istilahnya sendiri menggunakan nama “biarisme”. Salah satu yang diingatnya adalah kasus yang menimpa diri Gus Dur akibat pendapatnya yang mengatakan bahwa Kitab Suci al-Quran adalah kitab suci pornografis. Itu sebab, tidak selang setelah pelontaran kalimat tersebut, Gus Dur pun akhirnya mendapat kcaman dan dituntut karena menganggap Gus Dur telah melecehkan dan menghina agama.

Mendengar dan mengetahui kelompok yang mending Gus Dur sebagai pelaku pelecehan agama, Jaya Suprana pun kemudian memberikan komentar bahwa hal tersebut tidak benar. Sedang di sela waktunya, ketika dirinya bertemu dengan Gus Dur itu sendiri, Gus Dur malah dengan santai mengatakan, ”Biar saja, biar rame!”1

Hal senada pun disampaikan oleh Dr. Handojo, dokter umum RS Harum, Kalimalang-Jakarta Pusat yang juga memerankan tokoh Gus Dur dalam acara “Republik mimpi Newsdotcom”. Dr. Handojo menganggap bahwa Gus Dur adalah seorang yang bicara apa adanya dan tidak dibuat-buat jika dihadapkan dalam situasi apapun yang mengaruskan dirinya menjawab. “Gus Dur itu kalau menjawab nggak pernah lama mikir. Ceplas-ceplos....” ucap pria kelahiran Nganjuk 12 Agustus 1954 yang keap disapa Gus Pur ini.2

Dr. Handojo menambahkan, dirinya pernah “diadu” dengan Gus Dur asli saat sedang dalam wawancara dalam acara Kick Andy di Metro TV. Salah satu yang masih membekas dalam pikirannya adalah ketika dirinya ditanya tentang bagaimana jika dirinya terpilih kembali sebagai presiden, apa yang akan dilakukannya, dirinya pun dengan ringan menjawab, ”Ya yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak. Rakyat itu kan nggak neko-neko. Asal sandang, pangan, kesehatan, pendidikan terpenuhi.”

Pertanyaan pun kemudian berlanjut dengan apa alasannya tidak dilakukan pada saat dirinya menjadi presiden, Dr. Handojo kembali mengeluarkan statement bahwa dirinya tidak sempat melakukannya. “Nggak sempat, baru sebentar sudah diturunin.”

Tidak puas dengan jawaban tersebut, Dr. Handojo kembali lagi didera dengan pertanyaan tentang apa alasannya dirinya diturunkan. “Nggak tahu, tanya Amien Rais sana....” Jawabnya singkat.

Sepintas banyak orang pun kemudian mengeluarkan tawanya yang lebar akibat kelucuan yang dikeluarkan oleh Dr. Handojo tersebut. (Mungkin) mereka berpikir bahwa jawaban itu hanya sekedar untuk kebutuhan humor saja hanya untuk sekedar meningkatkan pamornya saja.

Meski secara implicit jawaan tersebut hanya sekedar untuk menghibur, namun di sisi lain hal tersebut ternyata seperti cermin dari jawaban Gus Dur itu sendiri. Benar saja, ketika keduanya dijejali persamaan yang sama, trnyata keduanya memiliki jawaban yang sama meski sebelumnya mereka dipisahkan agar tidak saling mendengar dan mencontoh satu sama lain. Dr. Handojo mengungkapkan bahwa hal ini sudah terjadi dua kali selama dirinya memerankan peran tokoh idolanya tersebut, yaitu di TVOne dan Metro TV itu sendiri.

Sikap konyol yang dilemparkan Gus Dur ini ternyata bukan terjadi pada saat dirinya mulai menjadi presiden, melainkan sifat dan sikap ini sudah ada sejak dirinya belum dikenal banyak orang.

KH. Ilham Makhal, seorang kakak kelas Gus Dur di Pondok Pesantren (Pontren) Mualim Tamakberas Jombang ini mengatakan bahwa Gus Dur sendiri memang dikenal sebagai seorang yang santai dan senang bercanda. Dan salah satu yang diingatnya tentang sosok Gus Dur ini adalah ketika suatu pagi, dirinya menemui Gus Dur sedang berpakaian rapi (seperti yang dilakukan setiap pagi) dan membaca koran. Karena hal tersebut jarang dilakukan kebanyakan santri, KH. Ilham Makhal pun kemudian mencoba bertanya, ”Gus, sampeyan iku Gus kok moco koran (Gus, kamu itu kan Gus kok baca koran). Searusnya kan baca Quran....” Dengan ringan Gus Dur pun menjawabnya, ”Awakmu iku ngerti opo, Ham. (Kamu itu tahu apa, Ham.)”

Selanjutnya, KH. Ilham Makhal pun menceritakan tentang kegemaran Gus Dur yang selalu mengkritik dan menggoda guru ngajinya. Salah seorangnya adalah KH. Khudlori, salah seorang gurunya yang sangat takut dengan polisi. Pada sebuah kesempatan saat KH. Khudlori sdang makan, Gus Dur pun meneriakkan kata “polisi” dengan lantang. Lantaran merasa takut, guru Gus Dur tersebut pun memilih untuk segera berlari dan bersembunyi dengan meninggalkan makanannya. Namun tidak selang kemudian, KH. Khudlori pun kemudian ingat akan sikap iseng Gus Dur tersebut dan memilih untuk meneruskan makannya. Meski begitu, KH. Khudlori pun tidak marah terhadapnya, ”Ada-ada saja Gus Dur itu.”

Kisah lainnya yang masih diingat oleh KH. Ilham Makhal adalah ketika Gus Dur sedang mengikuti pengajian KH. Fattah di Tambakderes yang juga pamannya sendiri. Mengatahui kebiasaan KH. Fattah yang mengaji dengan bersandar di salah satu tiang yang ada trap tangganya, Gus Dur dengan santainya meletakkan kitabnya di trap tangga tersebut dan dirinya memilih untuk menghilang.

Tidak sekali kejadian tersebut dilakukan oleh Gus Dur. Itu sebab, ketika suatu saat ketika pengajian brikutnya akan dimulai, teman-temannya yang lainnya yang mengetahui Gus Dur tidak mengikuti pengajian tersebut pun kemudian mengajaknya untuk mengikuti pengajian tersebut. Dengan santainya, Gur Dur pun menjawab, ”Kitabku sudah ikut ngaji.”

1 Harian Koran Kompas, Sabtu 2 Januari 2010, hal. 6

2 Harian Koran Jawa Pos, Minggu 3 Januari 2010, hal. 14

Semar Pulang Kampung

Berita kematian KH. Abdurrahman Wahid atau yang kerap disapa dengan nama Gus Dur ini menjadikan Indonesia berkabung. Bagaimana tidak, sosok yang kental akan humor-humor menggelitiknya tersebut dengan sekejap telah meninggalkan banyak anak didiknya yang masih ingin belajar banyak kepadanya.

Tokoh pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan juga cucu dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) ini meninggal akibat komplikasi penyakit yang dideritanya yang gagal diselamatkan pada pukul 18.45 Wib tanggal 30 Desember 2009 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Dan dengan diumumkannya berita kematian Gus Dur, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang sejam sebelumnya sempat menjenguk Gus Dur pun kemudian menjadi sangat terpukul. Mimik wajah kesedihan yang diperlihatkannya diberbagai media massa tersebut pun tidak dapat dibohongi dan dihindari. Itu sebab, menurut Presiden SBY, Gus Dur pantas menyandang gelar Bapak Pluralisme dan Multikulturalisme.

Pemberian gelar Bapak Pluralisme dan Multikultarilme kepada Gus Dur ini dinilai banyak kalangan tidak berlebihan bahkan cenderung kurang karena jasa-jasa yang ditorehkan Gus Dur selama ini sangat memuaskan. Khususnya warga Tionghoa, mereka merasa merdeka setelah beberapa tahun dikurung dalam genggaman mantan Presiden Soeharto. Dengan dikeluarkannya Keppres RI No 6/2000 yang menyatakan mencabut Inpres No 14/1967 yang dinilai merugikan bagi sebagian warga khususnya keturunan Tionghoa in pun kemudian menjadikan sebuah ruang longgar untuk warga Tionghoa memuali hidup baru. Keppres tersebutlah kemudian menjadikan warga Tionghoa tidak lagi menjadi “Binatang Ekonomi” seperti yang disampaikan Mustofa Liem, anggota dewan penasihat Jaringan Tionghoa Untuk Kesetaraan. Bahkan sebagai wujud rasa terimakasih dan penghargaannya, pemuka agama Konghuchu Bingki Irawan pun akan segera mengusulkan kepada Majelis Tinggi Agama Konghuchu Indonesia (Matakin) untuk memasukkan tanggal kematian Gus Dur di kalender Matakin berikutnya. “Hanya itu yang bisa saya lakukan. Supaya sejarahnya saat memperjuangkan agama Konghuchu tidak pernah hilang.” Ujarnya seperti yang dikutip dari Jawa Pos 2 Januari 2010.

Dimakamkan di Maqrabah (pemakaman) Tebuireng yang terletak di sisi barat Wisma Hadji Kalla Ponpes Tebuireng yang berada persis di sisi utara makam KH. Hasyim Asy’ari, menurut KH Sholahudin Wahid (Gus Sholah) luas makam Gus Dur adalah 2.20m x 1.00m dengan kedalamannya yang mencapai 1.90 meter. Namun sangat disayangkan karena para peziarah makam Gus Dur pun kemudian berangsur menjadi penjarah makam. Itu sebab, Gus Sholah bersama seluruh pengurus makam pun bersepakat untuk memberikan rambu-rambu yang melarang kepada pziarah untuk menjarah tanah ataupun yang berada di atas makam Gus Dur tersebut.

Meski pelarangan tersebut terlihat di hampir sudut maqrabah, para peziarah itu pun tidak mnghiraukan. Diantara kebanyakan mereka mengatakan bahwa mereka yakin tanah dan atau bunga yang ada di atas makam Gus Dur tersebut sangat brkhasiat bagi ksembuhan dan hal sebagainya. Dengan dikenalnya sosok tokoh multitalenta inilah yang kemungkinan bsar menjadikan seluruh penziarah pun berpikir sendiri bahwa apayang menyangkut Gus Dur adalah berkhasiat.

Kepiawaian Gus Dur dalam segala bidang ini sering digambarkan oleh banyak orang (khususnya seniman dan sastrawan) dengan menggambarkan dirinya sebagai salah satu sosok Punowakan yang juga dikenal arif dan bijak dalam pengambilan segala keputusan. Dia adalah Semar.

Dalam pewayangan, Semar yang bersama kawan-kawannya, Bagong, Petruk, dan Gareng ini sering membantu Pandawa Lima dalam malaksanakan segala hal yang sedang terjadi. Hanya saja, kini sosok Semar yang divisualisasikan kepada Gus Dur tersebut telah pulang kampung menuju Sang Pencipta dan meninggalkan Pendawa Lima untuk selama-lamanya.

Secara tidak disadari, sebagian orang selalu menghitung jumlah orang yang meninggal di kampungnya. Dan dapat dipukul rata, jumlah kematian yang terjadi di bberapa kampung tersebut seperti sudah mendapatkan jatah. Dan seperti dalam tokoh pwayangan itu sendiri, Gus Dur yang krap digambarkan sebagai Semar ini pun mengumbar banyak tanya. Dalam kelompoknya, Punokawan terdii dari empat orang, yaitu Bagong, Petruk, Gareng, dan Semar itu sendiri. Dan jika Semar memilih untuk pulang kampung, bagaimana dengan Punokawan lainnya?

Seperti sudah menjadi ikatan batin diantara sesama Punokawan, Semar yang memilih untuk pulang kampung pun kemudian disusul oleh para Punokawan lainnya. Hal inilah yang kemudian menjadikan sebuah momen yang paling bersejarah seumur hidup. Bagaimana tidak, belum habis masa belasungkawa di Indonesia, kematian Gus Dur ini pun kemudian di susul oleh kematian tokoh-tokoh penting lainnya. Sebut saja Fransiscus Xaverius Seda yang meninggal pada 31 Januari 2010 pukul 05.15 Wib di rumahnya, jalan Meto Kencana V Pondok Indah Jakarta Selatan.

Fransiscus Xaverius Seda atau yang sering dikenal dengan nama Frans Seda ini adalah tokoh penting di pemerintahan dengan banyak penghargaan dan penghormatan. Bahkan dalam masa pemerintahan Gus Dur itu sendiri, Fans Seda dipercaya sebagai Penasihat Ekonomi dari tahun 1999 hingga 2001. Itu sebab, ketika berita kematian Gus dur ramai dibicarakan publik, keluarga Frans Seda pun memilih untuk tidak menceritakan dan mmberitahukan perihal tersebut mengingat kesehatannya yang sedang terganggu. Pihak keluarga takut jika rans Seda yang merupakan sahabat Gus Dur ini akan melayat yang akhirnya akan memperparah keadaannya pribadi. Namun Sang Pencipta berkata lain, belum kelar Gus Dur dimakamkan, Frans Seda pun menyusulnya.

Seperti yang diketahui, Gus Dur di mata warga Tionghoa adalah sangat penting dan berjasa, terlebih lagi bagi H. Abdul Chalim Muhammad yang akrab dipanggil Kho Ling ini. Dia juga salah seorang sahabat Gus Dur yang kemudian akrab sejak tahun 1980-an. Pada masa-masa itu, antara Gus Dur dan Kho Ling terlihat sering berjalan bersama. Terlebih lagi dirinya pernah menjadi bodyguard Gus Dur saat Gus Dur dinyatakan sebagai ketua PBNU dari Mukjtamar NU ke-27 Situbondo. Dengan adanya kedekatan tersebut, tidak urung keduanya pun dianggap sebagai saudara kandung karena dinilai memiliki pistur tubuh yang hampir mirip.

Setelah lama mendrita sakit kanker hati stadium 4, tepat pada tanggal 2 Januari 2010 pukul 16.15 Wib dari Rumah Sakit Darmo Surabaya, Kho Ling pun kemudian menyusul Gus Dur untuk berpulang ke rahmatullah.

Kho Ling adalah mantan atlet gulat nasional yang kemudian berganti jalur ke dunia politik dan keagamaan. Diantaranya adalah pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Lembaga Perekonomian PWNU Jatim, Pengurus MUI Jatim, Pengurus Lembaga Ekonomi PBNU, Sekjen DPP Pembina Iman Tauhid Indonesia (PITI), Pendiri Yayasan Haji Muhammad Cheng Ho, Pengurus DPW PKB Jatim, dan terakhir adalah Pengurus DPP PKNU.

Siapa Punokawan yang keempat?

Dia adalah Marwoto. Dia bukan pelawak meski kesehariannya dikenal sebagai sosok seorang yang humoris. “Dalam beberapa kesempatan bersama, beliau itu suka joke.” Ujar Saleh Husin, Wakil Sekjen Partai Hanura.

Memiliki nama lengkap Marwoto Mitrohardjono adalah Wakil Ketua DPR yang diusung dari Partai Amanat Nasional (PAN). Lantaran menderita penyakit komplikasi, Marwoto pun kemudian menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 3 Januari 2010 pukul 16.00 Wib di Rumah Sakit Metropolitan Medical Center (RS MMC) Jakarta Selatan.

Selamat tinggal semuanya.... Semoga kalian menemukan rumah kalian di sisi-Nya dan segala amal ibadah kalian diterima. Amien....

Pertempuran Sekigahara




A. 15 September 1600

Seperti yang dinyatakan oleh Klemens Wilhelm Jacob Meckel, pasukan di bawah pimpinan Ishida Mitsunari sudah mempunyai tiket kemenangan dengan cara mengepung posisi pasukan Tokugawa Ieyasu. Hanya saja, pertempuran yang hanya berlangsung tidak lebih dari sehari itu berbalik menjadi kemenangan Tokugawa Ieyasu setelah beberapa pasukan Ishida Mitsunari berpihak kepada Tokugawa Ieyasu. Terlebih lagi, keadaan di Sekigahara sedang ditutupi oleh kabut yang tebal, sehingga masing-masing pasukan tidak mengetahui dengan jelas siapa lawan siapa kawan.

Kawan dan lawan saling dorong, suara teriakan di tengah letusan senapan dan tembakan panah, langit bergemuruh, tanah tempat berpijak berguncang-guncang, asap hitam membubung, siang bolong pun menjadi gelap seperti malam, tidak bisa membedakan kawan atau lawan, pelat pelindung leher (pada baju besi) menjadi miring, pedang ditebas ke sana ke mari.” Ōta Gyūichi, seorang saksi dalam Pertempuran Sekigahara.1

Pertarungan pun dimulai ketika pasukan pimpinan Matsudaira Tadayoshi memulai penyerangan terhadap Ukita Hideie yang menjadi kekuatan utama pasukan Ishida Mitsunari. Aksi penyerangan dari Matsudaira Tadayoshi ini pada awalnya dilarang oleh Fukushima Masanori yang juga menjadi pimpinan pasukan gabungan pendukung Tokugawa Ieyasu. Bersama pasukan Ii Naomasa inilah pasukan Matsudaira Tadayoshi bermaksud lewat menerobos tebalnya kabut.

Dengan adanya serangan dari pasukan Matsudaira Tadayoshi, pasukan pimpinan Ukita Hideie pun kembali menyerang. Meski pasukan gabungan pimpinan Fukushima Masanori ini hanya terdiri dari 6.000 prajurit, namun dengan serangannya yang mendadak ini pun mampu membuat pasukan Ukita Hideie yang terdiri dari 17.000 prajurit kelabakan sehingga hanya menjadikan situasi pertempuran saling desak dan saling bunuh tanpa ada perlawanan yang khusus.

Sedang pasukan pimpinan Kuroda Nagamasa yang terdiri dari 5.400 prajurit dan pasukan Hosokawa Tadaoki yang terdiri dari 5.100 prajurit ini secara bersamaan mulai menyerang pasukan Ishida Mitsunari. Hanya saja, pasukan pimpinan Shima Sakon dan Gamō Satoie mampu membendung penyerangan tersebut dan berhasil mengalahkan sebagian besar pasukan gabungan Tokugawa Ieyasu tersebut.

Dengan pertempuran yang banyak melibatkan pasukan dari berbagai panglima ini pun menjadikan Ishida Mitsunari gerah karena tidak juga berhasil memukul mundur pasukan Tokugawa Ieyasu. Itu sebab Ishida Mitsunari membuat isyarat asap untuk meminta bantuan dengan memanggil pasukan yang belum turun dalam medan pertempuran. Meski telah mengetahui isyarat yang telah diberikan oleh Ishida Mitsunari, pasukan pimpinan Shimazu Yoshihiro secara terang menolak untuk bergabung. Sedang pasukan Mōri Terumoto tidak dapat berbuat apa-apa dalam pertempuran tersebut karena dihalangi oleh pasukan Kikkawa Hiroie.

Seperti yang diketahui, Kikkawa Hiroie pada dasarnya berada dalam satu kesatuan dengan Mōri Terumoto yang membantu Ishida Mitsunari. Hanya saja, dengan kekuasaan yang dimiliki oleh Tokugawa Ieyasu, Kikkawa Hiroie pun dijanjikan memperoleh wilayah kekuasaan Klan Mōri apabila mampu menghalangi pasukan Mōri Terumoto membantu menyerang pasukan pemerintahan. Melihat kekuasaan Mōri Terumoto yang mencapai 1.205.000 kokudaka, Kikkawa Hiroie pun menjadi tergiur dan menjadi berpihak kepada Tokugawa Ieyasu.

Bukan hanya Kikkawa Hiroie saja yang menjadi penghianat dalam pertempuran tersebut. Kobayakawa Hideaki yang sebelumnya berada di pihak Ishida Mitsunari pun secara tersembunyi telah bersekongkol dengan Tokugawa Ieyasu.

Berbeda dengan Kikkawa Hiroie yang langsung menyerang Mōri Terumoto, Kobayakawa Hideaki yang diikuti oleh Wakisaka Yasuharu, Ogawa Suketada, Akaza Naoyasu, dan Kutsuki Mototsuna untuk mendukung Tokugawa Ieyasu ini pada awalnya hanya menunggu keadaan yang sedang berlangsung sengit tersebut. Hanya saja, Tokugawa yang melihat aksi Kobayakawa Hideaki ini pun menjadi geram dan memerintahkan pasukannya untuk menembak ke posisi pasukan Kobayakawa Hideaki di Gunung Matsuo. Dan dengan adanya serangan tersebut pun, Kobayakawa Hideaki akhirnya memutuskan untuk turun gunung dan bertempur menggempur sayap kanan gugusan pasukan Ōtani Yoshitsugu.

Dengan adanya posisi yang tidak menguntungkan di pihak Ishida Mitsunari, Shimazu Yoshihiro yang sejak awal meragukan kemenangan pada pihaknya pun mulai ketakutan dan berusaha mundur dengan memotong garis depan pasukan Tokugawa Ieyasu yang semakin kuat. Pasukan pimpinan Fukushima Masanori yang sebelumnya menjadi garis depan pasukan gabungan Tokugawa Ieyasu ini pun menjadi ketakutan melihat kebrutalan pasukan Shimazu Yoshihiro. Melihat kejadian tersebut, pasukan Ii Naomasa, Matsudaira Tadayoshi, dan Honda Tadakatsu pun berusaha membantu dengan berusaha melawan pasukan Shimazu Yoshihiro. Hanya saja, dengan serangan yang tak teratur dari Shimazu Yoshihiro ini menjadikan kebanyakan pasukan lawan banyak terjatuh dan menderita luka-luka.

Dengan banyaknya pasukan Ishida Mitsunari yang berkhianat, menjadikan pihaknya mengalami kekalahan yang telak. Seluruh pasukannya pun dijadikan kocar-kacir dan menjadikan kemenangan pada pihak Tokugawa Ieyasu. Shimazu Yoshihiro yang telah melarikan diri pun pada akhirnya berhasil selamat meski banyak saksi pada awalnya telah menyangka Shimazu Yoshihiro telah melakukan seppuku2. Namun demikian, setelah diketahui jasad yang mengenakan jinbaori3 tersebut adalah Ata Moriatsu, salah seorang pasukan dari Shimazu Yoshihiro. Sedang pasukan Shimazu Yoshihiro yang selamat lainnya hanya tersisa sekitar 80 prajurit saja.


B. Pertempuran di Berbagai Daerah

Seperti yang diketahui, meski diantara kedua belah pihak memiliki banyak pendukung, namun ada pendukungnya diantara keduanya yang tidak bergabung dalam Pertempuran Sekigahara. Di kubu Tokugawa Ieyasu saja, empat pendukungnya tidak terjun langsung dalam Pertempuran Sekigahara. Diantaranya adalah Maeda Toshinaga, Date Masamune, Katō Kiyomasa, dan Mogami Yoshiaki. Sedang dalam kubu Ishida Mitsunari sendiri yang tidak bergabung dalam Pertempuran Sekigahara salah satunya adalah Mōri Terumoto yang memiliki kekuasaan terbesar di dalam kelompoknya. Selain itu, juga ada Uesugi Kagekatsu, Mashita Nagamori, Satake Yoshinobu, Oda Hidenobu, dan Natsuka Masaie.

Jika masing-masing diantara pendukung Ishida Mitsunari memiliki masalahnya sendiri, tidak dengan Natsuka Masaie yang tidak jelas keberadaannya. Tidak ada catatan sejarah tentang keberadaan Natsuka Masaie ini baik sebelum maupun sesudah Pertempuran Sekigahara berlangsung.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, masing-masing pendukung dua besar pemimpin yang bersiteru tersebut juga memiliki pertempuran sendiri. Berbagai daerah di seluruh Jepang (selain Mino, Sekigahara yang dijadikan pertempuran) seperti di Tohoku, Hokuriku, Kinai, dan Kyushu pun terjadi pertempuran antar daimyō pendukung pasukan Tokugawa Ieyasu dengan pendukung pasukan Ishida Mitsunari.

1. Tohoku

Di daerah ini, masing-masing kubu kedua pemimpin besar tersebut juga terlibat dalam pertempurannya sendiri, terutama kubu Tokugawa Ieyasu yang mengeluarkan banyak pendukungnya untuk melakukan penyerangan awal terhadap kubu Ishida Mitsunari.

Dalam mengawasi pergerakan pasukan Ishida Mitsunari, Tokugawa Ieyasu memberikan perintah kepada Yūki Hideyasu sebagai kekuatan utama dalam mengawasi Uesugi Kagekatsu. Dalam kesempatan ini, Yūki Hideyasu dibantu oleh para daimyō yang mempunyai wilayah yang bertetangga dengan wilayah Uesugi Kagekatsu seperti Mogami Yoshiaki dan Date Masamune serta dibantu pula oleh Hori Hideharu.

Dalam penyerangannya kali ini, Mogami Yoshiaki yang menginginkan wilayah kekuasaan barunya dekat dengan laut, maka bersama dengan Date Masamune, Mogami Yoshiaki pun mengatur rencananya. Namun demikian, seorang bushi4 pengikut setia klan Uesugi, Naoe Kanetsugu yang mendengar rencana tersebut pun segera menyerang lebih dulu daripada diserang. Bertepatan pada tanggal 9 September 1600, Naoe Kanetsugu yang datang dari arah Yonezawa ini berhasil mendesak masuk ke dalam wilayah Mogami Yoshiaki dan berhasil mengepung Istana Yamagata yang merupakan tempat kediaman Mogami Yoshiaki hanya dalam beberapa hari saja.

Lantaran terdesak, Mogami Yoshiaki yang panik akibat serangan mendadak dari Naoe Kanetsugu pun segera meminta bantuan pasukan kepada Date Masamune. Selain dalam kubu yang sama, pertolongan pada Klan Mogami dianggap perlu karena kehancuran klan Mogami akan membuat Uesugi Kagekatsu menjadi ancaman langsung bagi Date Masamune. Pada tanggal 17 September 1600 Date Masamune menunjuk panglima tertinggi Rusu Masakage untuk menyerang pasukan Naoe Kanetsugu. Selain itu, Date Masamune juga menunjuk Katakura Kagetsuna untuk dapat bergabung dengan Rusu Masakage dan segera menyelesaikan urusan yang terjadi pada Mogami Yoshiaki. Dengan kelelahannya pasukan Naoe Kanetsugu akibat bertempur dengan pasukan Mogami Yoshiaki, pasukan Naoe Kanetsugu pun dapat dengan mudah ditaklukkan di wilayah Yamagata.5

Dengan adanya pasukan tambahan dari Date Masamune, pasukan pimpinan Sakenobe Hidetsuna yang berada di pihak Mogami Yoshiaki pun tidak ragu dalam menyerang pasukan Naoe Kanetsugu. Meski pada awalnya pasukan Naoe Kanetsugu mendominasi pertempuran tersebut, Istana Hasedō yang dipertahankan Shimura Mitsuyasu dengan hanya sedikit prajurit pun tidak dapat dikuasai Naoe Kanetsugu. Bahkan setelah Pertempuran Sekigahara diketahui dimenangkan oleh kubu Tokugawa Ieyasu, Naoe Kanetsugu pun segera memerintahkan pasukannya untuk mundur dari medan pertempuran.

Mendengar kabar mundurnya pasukan Naoe Kanetsugu, Mogami Yoshiaki pun kembali memerintahkan pasukannya untuk mengejar balik yang dipimpinnya sendiri. Akibat tidak adanya kesiapan diri, Mogami Yoshiaki pun sempat tertembak dan harus bersusah payah melarikan diri. Sedang pengejaran selanjutnya dipimpin oleh Mogami Yoshiyasu (putra Mogami Yoshiaki). Dengan kecakapan yang dimiliki oleh Naoe Kanetsugu, pada tanggal 4 Oktober 1600 pasukannya berhasil kembali dengan selamat di Istana Yonezawa, istana kekuasaannya.

2. Hokuriku

Tokugawa Ieyasu sangat memperhatikan dengan benar tentang kekuatan lawannya. Salah satu daimyō pendukung Ishida Mitsunari yang dinilai paling berkuasa adalah Uesugi Kagekatsu. Itu sebab, banyak pengikut Tokugawa Ieyasu yang dikirimkan untuk menghancurkan Klan Uesugi ini. Maeda Toshinaga, salah satu pendukung Tokugawa Ieyasu yang merasa harus mendukung penyerangan terhadap Uesugi Kanetsugu ini pun berangkat dari arah Kanazawa pada tanggal 26 Juli 1600.

Dalam perjalananya tersebut, Maeda Toshinaga berhasil menjatuhkan Yamaguchi Munenaga (penjaga Istana Daishōji) pada tanggal 3 Agustus 1600. Selain itu, Istana Kitanojō yang dijaga Aoki Kazunori pun juga berhasil dikepung. Hanya saja, sebelum berhasil menjatuhkan Istana Kitanojō, Ōtani Yoshitsugu segera menyebarkan isu tentang penyerangan pasukan Maeda Toshinaga dari arah belakangnya yang sehingga mampu mengusir mundur pasukan Maeda Toshinaga dengan tanpa perlawanan.

Dengan ambisinya yang sangat besar menjatuhkan kubu Ishida Mitsunari, Maeda Toshinaga tidak langsung kembali ke istananya, melainkan membagi pasukannya menjadi dua bagian. Melihat posisi Istana Komatsu sedang dalam keadaan yang tidak penuh penjagaannya, Maeda Toshinaga bersama pasukan intinya kemudian menyerang istana yang dikuasai oleh Niwa Nagashige yang bertahan di dalam tersebut. Sedang setengahnya dipulangkan untuk memperketat penjagaan istananya.

Dengan keadaan penjagaan yang tidak sempurna, tepat pada tanggal 9 Agustus 1600 pasukan Niwa Nagashige berhasil dihantam dengan mudah yang menjatuhkan banyak korban dan menjadikan Niwa Nagashige menawarkan perdamaian dengan menyerahkan istananya. Salah satu alasan ketidak ikut sertaan Maeda Toshinaga dalam Pertempuran Sekigahara adalah akibat ambisinya dalam menjatuhkan banyak istana daimyō pendukung Ishida Mitsunari yang juga menyita banyak waktu, sehingga terlambat menyusul ke medan Sekigahara dan memilih pulang ke Kanazawa dan menyusun kembali pasukannya pada tanggal 12 September 1600.

3. Kinai

Seperti beberapa kasus yang terjadi sebelumnya, masing-masing pertempuran tentu melibatkan banyak istana para daimyō pendukung atasannya masing-masing. Sedang dalam tragedi wilayah Kinai, akibat pertempuran Tokugawa Ieyasu dan Ishida Mitsunari ini turut melibatkan dua istana besar kekuasan masing-masing pendukung Tokugawa Ieyasu dan Ishida Mitsunari. Kedua istana tersebut adalah Istana Tanabe yang dikuasai oleh Hosokawa Tadaoki (pendukung Tokugawa Ieyasu) dan Istana Ōtsu yang dikuasai oleh Kyōgoku Takatsugu (pendukung Ishida Mitsunari).

Dalam pertempuran yang melibatkan Istana Tanabe, Hosokawa Tadaoki memiliki banyak keuntungan dengan adanya hubungan spesial antara dirinya dengan keluarga kaisar Jepang. Hal ini tentu bukan hal yang asing didengar, sedang Tokugawa Ieyasu sendiri memiliki kedekatan tersebut dengan kaisar Jepang saat itu.

Dalam sejarah pertahanan, Istana Tanabe terbilang memiliki catatan yang rumit dan penuh kejutan. Ketika Hosokawa Tadaoki sedang pergi berperang, dia menitipkan istananya yang berada di provinsi Tango kepada Hosokawa Yūsai dengan penjagaan 500 prajurit. Mendengar berita sepeninggalnya Hosokawa Tadaoki dan minimnya penjagaan di Istana Tanabe, pasukan pendukung Ishida Mitsunari yang dipimpin panglima tertinggi Onogi Shigekatsu, seorang penguasa Istana Fukuchiyama pun segera mengepung Istana Tanabe dengan pasukan yang jauh lebih banyak, yaitu lebih dari 15.000 prajurit. Bukan hanya banyaknya pasukan yang dikirimkan, Onogi Shigekatsu juga telah memilih prajurit yang memiliki catatan perang dengan baik seperti Koide Yoshimasa dan Koide Hidemasa (seorang bapak-anak), Akamatsu Hirohide, dan Tani Morimoto.

Dengan perbedaan kekuatan pertahanan yang sangat mencolok menjadikan Istana Tanabe kalah yang telak. Dan untuk menghindari rasa malunya karena telah gagal menjaga amanat, Hosokawa Yūsai mengambil cara untuk gugur secara terhormat daripada mati di tangan musuh.

Sebuah keajaiban terjadi pada diri Hosokawa Yūsai, sebelum aksi seppuku-nya dilakukan, Kaisar Goyōzei mengirim tiga utusan pribadinya yang bernama Nakanoin Michikatsu, Karasuma Mitsuhiro, dan Sanjūnishi Sanuki ke Istana Tanabe untuk membujuk Hosokawa Yūsai untuk tidak melakukan aksi bunuh diri dan menyetujui menyerahkan istananya kepada Onogi Shigekatsu. Mendengar penjelasan dan bujukan ketiga pesuruh kekaisaran tersebut, tepat pada tanggal 18 September 1600, Hosokawa Yūsai menyerahkan titipannya kepada Onogi Shigekatsu.

Keadaan berbalik dengan drastis setelah Onogi Shigekatsu mendengar kabar tentang terpojoknya pasukan pendukung Ishida Mitsunari di Sekigahara. Merasa terancam, Onogi Shigekatsu pun memilih untuk segera kembali ke istana utamanya, yaitu Istana Fukuchiyama. Meski Onogi Shigekatsu telah kembali ke istananya, bukan berarti keadaan telah membaik. Bahkan tidak lama kemudian Istana Fukuchiyama dikepung oleh pasukan Hosokawa Tadaoki yang telah kembali ke istananya dan menemui istananya dalam keadaan kalah. Dengan dibantu oleh Tani Morimoto yang membelot ke kubu Hosokawa Tadaoki, Onogi Shigekatsu kemudian menemui kekalahannya dan melakukan bunuh diri pada tanggal 18 November 1600.

Penghianatan dari Tani Morimoto yang kemudian mendukung pasukan Hosokawa Tadaoki adalah bukan tanpa sebab. Selain Tani Morimoto adalah murid dari Hosokawa Yūsai yang dikenal ahli dalam seni menulis Kadō6, dalam mengambil dan melihat kesempatan, Tani Morimoto sangat logika. Selain kekuatan dan kekuasaan Tokugawa Ieyasu yang semakin besar, Tokugawa Ieyasu dan para pendukungnya terbilang lebih dekat dengan pihak kekaisaran ketimbang kubu Ishida Mitsunari sendiri.

Tentang Hosokawa Yūsai, ia adalah seorang seniman Kadō yang juga menjadi idola Kaisar Goyōzei. Itu sebab, setelah mendengar kabar dari Hachijōnomiya Toshihitoshinnō tentang turunnya warisan ilmu rahasia Kadō yang disebut Kokindenju kepadanya, Kaisar Goyōzei yang merasa takut akan kehilangan Hosokawa Yūsai mengeluarkan perintah kepada pihak Onogi Shigekatsu agar menghentikan penyerangan ke Istana Tanabe. Namun usaha itu sia-sia dan menjadikannya untuk menurunkan ketiga orang kepercayaannya untuk merayu Hosokawa Yūsai agar tetap hidup dan melanjutkan seninya meski telah kalah dalam medan pertempuran.

Dibalik kemenangan yang gemilang dari pihak Tokugawa Ieyasu, ternyata hal ini tidak menjadikannya Kyōgoku Takatsugu yang tidak sepihak dengan Tokugawa Ieyasu berhasil mempertahankan Istana Ōtsu. Dengan menyerahnya Kyōgoku Takatsugu, hukuman berupa pengasingan sebagai pendeta di kuil Onjōji, Gunung Kōya pun diterimanya.

4. Kyushu

Berbeda dengan wilayah-wilayah lainnya, Kyushu tampaknya menjadi ajang kemenangan mutlak di bawah kubu Tokugawa Ieyasu. Selain Katō Kiyomasa dan Nabeshima Naoshige, salah seorang tokoh yang memiliki semangat juang adalah Kuroda Josui.

Katō Kiyomasa dan Nabeshima Noshige pada awalnya tidak memihak kepada kubu siapapun dan mempertahankan sikap netral. Hal ini tentu sangat berbeda dengan Kuroda Josui yang berusaha keras membantu Tokugawa Ieyasu dalam membangun Jepang dengan tanpa ragu-ragu. Tidak terbatas semangatnya saja, Kuroda Josui pun diketahui telah menyumbangkan semua uang dan perbekalan yang disimpan di Istana Nakatsu untuk keperluan pertempurannya tersebut.

Di lain pihak, Ōtomo Yoshimune dengan dukungan dari Mōri Terumoto berencana untuk merebut kembali provinsi Bungo. Menginjak tanggal 9 September 1600, Ōtomo Yoshimune menjejakkan kaki di provinsi Bungo yang baru pertama kali dilakukannya sejak diasingkan. Dan dalam kesempatan ini, Ōtomo Yoshimune menantang pasukan Kuroda Josui untuk bertempur di Ishigakihara (sekarang kota Beppu) dengan mengumpulkan kembali bekas bawahannya. Tapi bagi Kuroda Josui, dengan aksinya yang proaktif tersebut menjadikannya cepat berhasil membentuk pasukan yang konon mencapai lebih dari 3.500 ronin7.

Dengan adanya tantangan dari Ōtomo Yoshimune, maka pada tanggal 13 September 1600, keduanya pun terlibat bentrokan bersenjata. Akibat terbunuhnya jenderal dari pihaknya, Ōtomo Yoshimune akhirnya menyerah kepada kubu Kuroda Josui. Dan selang dua hari setelahnya, yaitu pada tanggal 15 September 1600, Ōtomo Yoshimune memutuskan untuk menjadi biksu setelah menyerahkan diri kepada pasukan yang dipimpin Mori Tomonobu yang bertempur untuk kubu pasukan Kuroda Josui. Dengan kemenangannya, pasukan Kuroda Josui pun emutuskan untuk terus menyerang dan secara berhasil menaklukkan istana yang terdapat di Kita Kyushu.

Katō Kiyomasa yang pada awalnya hendak memberikan bantuannya kepada Kuroda Josui, lantaran mendengar berita kemenangan dari pasukan Kuroda Josui itu sendiri, maka Katō Kiyomasa memutuskan untuk segera berbalik arah dan segera menyerang wilayah kekuasaan Konishi Yukinaga. Jauh sebelum Katō Kiyomasa mengirimkan bantuannya kepada Kuroda Josui, bersama Nabeshima Naoshige mengepung Istana Yanagawa dan berhasil memaksa menyerah Tachibana Muneshige yang sedang bertahan di dalam Istana Yanagawa setelah terlambat datang di pertempuran Sekigahara.

Setelah mengalahkan Ōtomo Yoshimune, pasukan gabungan yang dipimpin Kuroda Josui kemudian merencanakan untuk menyerang wilayah Shimazu Ryūhaku yang sedang menjaga wilayah milik Konishi Yukinaga yang juga di serang oleh Katō Kiyomasa. Melihat keberingasan pasukan Kuroda Josui, Shimazu Ryūhaku pun menjadi panik dan segera mengirim pasukannya untuk memperkuat Kyushu.

Peperangan diantara keduanya pada akhirnya pun dibatalkan. Tokugawa Ieyasu yang telah memenangkan Pertempuran Sekigahara kemudian menyatakan kemenangannya atas pasukan Ishida Mitsunari. Dengan adanya pengumuman kemenangan tersebut, menjadi perintah secara langsung untuk menghentikan segala bentuk peperangan dan menyatakan penyerahan kekuasaan langsung kepada Tokugawa Ieyasu. Kuroda Josui pun menghentikan niat untuk melakukan aksi pnyerangan ke Shimazu.

5. Ise

Dengan daerah kekuasaan mencapai 1.205.000 kokudaka, menjadikan Mōri Terumoto seorang yang dinilai paling berpengaruh. Itu sebab, salah satu istana pendukung Tokugawa Ieyasu yang berada di Ise seperti Istana Anotsu dan Istana Matsusaka pun menjadi sasarannya dalam perjalanan menuju Sekigahara. Dengan kekuatan yang dimiliki oleh Mōri Terumoto, seorang penguasa Istana Anotsu, Tomita Nobutaka pun akhirnya dapat dikalahkan dan memilih menyelamatkan hidupnya dengan menjadi biksu. Berbeda dengan Tomita Nobutaka, Furuta Shigekatsu, penguasa Istana Matsusaka lebih memilih bernogosiasi dengan menawarkan perjanjian damai. Aksi perdamaian tersebut menjadikan keuntungan bagi Furuta Shigekatsu yang tidak perlu menyerahkan istananya kepada Mōri Terumoto.

6. Kanto

Kejadian yang melibutkan pertentangan dalam kubu menjadikan catatan sejarah tersendiri bagi wilayah Kanto. Bagaimana tidak, ketika dua kubu saling bertempur memperebutkan kekuasaan tinggi pun menjadi bahan pertimbangan bagi keluarga Satake Yoshinobu.

Dalam menentukan sikap dukungannya, Satake Yoshinobu terbilang berat dan ragu-ragu dalam menentukan. Selain ditengahkan pada posisi keluarga dan sahabat, Satake Yoshinobu juga memikirkan tentang masa depan kekuasaannya. Pada dasarnya, Satake Yoshinobu berada di posisi pendukung Ishida Mitsunari, sedang ayahnya yang bernama Satake Yoshishie menyuruhnya untuk mendukung Tokugawa Ieyasu. Dukungannya terhadap Ishida Mitsunari serta merta bukan tanpa alasan. Hal ini tentu sangat berkaitan dengan hubungan status persahabatannya dengan Ishida Mitsunari. Terlebih lagi, pengikut Satake Yoshinobu seperti Tagaya Shigetsune, Yamakawa Asanobu, dan Sōma Yoshitane adalah pendukung setia Uesugi Kagekatsu yang juga bergabung dalam pasukan gabungan Ishida Mitsunari. Namun bagi sang ayah, Satake Yoshishie lebih melihat kemungkinan terbesar kemenangan dalam perebutan kekuasaan tersebut akan dimenangkan Tokugawa Ieyasu. Namun dengan berbagai pertimbangan, Satake Yoshinobu akhirnya lebih memilih sikap netral, yaitu meski sebagai pendukung Ishida Mitsunari, Satake Yoshinobu memilih untuk tidak mengirimkan pasukannya ke medan Sekigahara sebagai bukti setianya kepada ayahnya.


C. Pembersihan Konflik Pertempuran Sekigahara

Seperti yang diketahui sebelumnya, Tokugawa Ieyasu yang juga sebagian dari dewan lima menteri dan para pelaksana administrasi yang diambil sumpah setia kepada Toyotomi Hideyoshi pun kemudian terlibat bentrok yang melibatkan sebagian besar penguasa kecil di Jepang. Dan dengan adanya pemberontakan dan ketidak percayaan dalam pejabat pemerintahan, Ishida Mitsunari pun menyetakan dengan terang-terangan melawan Tokugawa Ieyasu.

Namun demikian, dengan berlangsungnya perebutan kekuasaan dalam pemerintahan, Tokugawa Ieyasu pun dinyatakan sebagai pemegang pucuk kepemimpinan setelah menang dalam Pertempuran Sekigahara. Itu sebab seusai Pertempuran Sekigahara, Ishida Mitsunari yang kemudian berhasil ditangkap oleh pasukan pimpinan Tanaka Yoshimasa pada tanggal 21 September 1600 ini akhirnya diarak berkeliling kota di Osaka dan Sakai sebelum dieksekusi di Rokujōgawara yang terletak di pinggir sungai Kamo-Kyoto bersama dengan Konishi Yukinaga yang tertangkap pada tanggal 19 September 1600 dan Ankokuji Ekei yang tertangkap tanggal 23 September 1600.

Berbeda dengan Ishida Mitsunari, Ukita Hideie yang setelah Pertempuran Sekigahara melarikan diri ke provinsi Satsuma ini pada akhirnya mendapatkan pengampunan dari Tokugawa Ieyasu. Setelah berhasil ditangkap oleh Shimazu Tadatsune di akhir tahun 1603, Ukita Hideie pun kemudian diserahkan kepada Tokugawa Ieyasu untuk mendapatkan hukuman. Hanya saja, meski Shimazu Tadatsune yang menangkapnya sendiri, bersama dengan Maeda Toshinaga pun kemudian meminta pengampunan atas nyawa Ukita Hideie.

Permintaan pengampunan terhadap Ukita Hideie kepada Tokugawa Ieyasu ini karena menganggap hanya akan menjadikan kesakitan tersendiri bagi istri Ukita Hideie (Putri Gō) yang sebenarnya adalah adik dari Shimazu Tadatsune dan Maeda Toshinaga. Permintaan pengampunan atas nyawa Ukita Hideie inipun akhirnya dikabulkan oleh Tokugawa Ieyasu. Dan sebagai pengganti hukuman mati terhadap Ukita Hideie ini dihukuman dengan diasingkan ke pulau Hachijōjima setelah menjalani hukuman kurungan di gunung Kuno, provinsi Suruga.

Dengan adanya jiwa kepemimpinan dan daerah kekuasaan yang terbilang sangat mempengarui Jepang, Mōri Terumoto yang sebagai panglima tertinggi pihak lawan pun akhirnya dinyatakan bersalah dan harus menanggung hukumannya. Dalam dunia politik Tokugawa Ieyasu, dia sering menggunakan pasukan musuhnya untuk menyerang musuhnya juga. Dan dalam kasus Mōri Terumoto, ketika sedang dalam menjalankan tugasnya menjaga Toyotomi Hideyori di Istana Osaka, Kikkawa Hiroie melakukan penghianatan dengan menyerang pasukan Mōri Hidemoto yang dikirim Mōri Terumoto ke Sekigahara membantu pasukan Ishida Mitsunari.

Dalam penghianatannya, Kikkawa Hiroie dijanjikan oleh Tokugawa Ieyasu untuk memperoleh wilayah kekuasaan Mōri Terumoto. Itu sebab, Kikkawa Hiroie yang masih saudara sepupu Mōri Terumoto pun menjanjikan keamanan dan tidak akan diganggu. Dan di tengah ketenangan Mōri Terumoto, Tokugawa Ieyasu pun mengeluarkan pernyataan tentang kesalahan Mōri Terumoto. Mendengar adanya perintah penghukuman, Kikkawa Hiroie pun segera menghadap Tokugawa Ieyasu sebagai akal liciknya guna mendapatkan wilayah yang dijanjikannya. Namun demikian, kesepakatan telah berubah, Tokugawa Ieyasu tidak menyerahkan seluruh wilayah kekuasaan Mōri Terumoto melainkan hanya dua provinsi yang tersisa (Suō dan Nagato) saja, sehingga pemberian ini pun ditolak oleh Kikkawa Hiroie yang dianggapnya telah melecehkan dirinya dan kedua provinsi tersebut pun masih dikuasai Mōri Terumoto.

Di tengah keterpurukannya, Mōri Terumoto lalu pindah dan membangun Istana Hagi di delta sungai Abugawa (sekarang di Prefektur Yamaguchi serta memilih menjadi pendeta Buddha dengan nama Genan Sōzui. Untuk jabatan kepala keluarga (katoku) diserahkan kepada sang putra pewaris Mōri Hidenari sedangkan Terumoto tetap menjabat sebagai penguasa wilayah han. Namun setelah menginjak tahun 1623, Mōri Terumoto mengundurkan secara penuh dari dunia politik setelah mewariskan jabatan penguasa wilayah han kepada putra pewarisnya Mōri Hidenari dan pelaksanaan pemerintahan kepada Mōri Hidemoto. Dan dua tahun setelah kemunduran dirinya dalam dunia pemerintahan, tepatnya pada tahun 1625 Mōri Terumoto wafat di usia 72 tahun.

Salah seorang lagi yang dinilai sangat kuat dalam hal kepemimpinan dan dinilai masih berpengaruh adalah Uesugi Kagekatsu dari Aizu. Sedang dalam penyelesaian konfliknya, Uesugi Kagekatsu pada akhirnya hanya mendapatkan wilayah Yonezawa bekas kepemimpinan Naoe Kanetsugu yang pernah menjadi pengikut setianya.

Maeda Toshinaga yang juga pendukung Tokugawa Ieyasu pun tidak luput dari hukuman. Tentang jasanya mengungkap para pemberontak setelah dirinya di cap sebagai otak pelakunya, Tokugawa Ieyasu tidak pernah memperdulikannya. Bersamaan dengan Tachibana Muneshige, kekuasaan wilayah yang dimiliki keduanya pun dicabut karena dinilai telah menimbulkan kerugian besar pada pasukan Niwa Nagashige. Dan dengan adanya pengurangan wilayah tersebut, Niwa Nagashige pun dapat segera dipulihkan haknya sebagai daimyō. Tentang Tachibana Muneshige, haknya kemudian juga dikembalikan bersamaan dengan wilayah kekuasaannya setelah Tokugawa Hidetada menjabat sebagai shogun. Dan tentang Maeda Toshinaga, tidak jelas bagai mana sejarah mencatatkan keberadaannya.

Salah seorang yang menjadi titik tolak kekalahan Ishida Mitsunari adalah Kobayakawa Hideaki bersama rekan-rekan lainnya meliputi Wakisaka Yasuharu, Ogawa Suketada, Akaza Naoyasu, dan Kutsuki Mototsuna.

Dari hasil penghianatannya, Tokugawa Ieyasu menghadiahi pertukaran wilayah kekuasaan yang mulanya provinsi Chikuzen dengan nilai 360.000 kokudaka menjadi provinsi Bizen yang bernilai 570.000 kokudaka. Hanya saja, dengan prestasinya yang demikian, tidak menjadikannya sebagai seorang yang berkuasa karena pada tahun 1602, Kobayakawa Hideaki diketahui meninggal dunia dengan dugaan sakit gila. Kemungkinan, penyakit gilanya ini timbul akibat depresi yang berat lantaran banyaknya tekanan dari luar, terlebih lagi usianya yang terbilang muda, yaitu 21 tahun, puncak kepemimpinannya juga tidak dapat diturunkan kepada keturunannya sendiri.

Tokugawa Ieyasu sangat mengerti pelaku politik yang baik dan setia. Hal ini tentu dinilai sebelum Pertempuran Sekigahara berlanjut. Jika Kobayakawa Hideaki mendapatkan imbalan atas usahanya menjatuhkan Ishida Mitsunari, Wakisaka Yasuharu dan Kutsuki Mototsuna juga diajak Kobayakawa Hideaki pun mendapat wilayah kekuasaan. Tapi hal ini tidak berlaku kepada Ogawa Suketada dan Akaza Naoyasu. Mereka dinilai sebagai seorang yang tidak pantas mendapatkan imbalan karena hanya akan menimbulkan kekhawatiran sendiri bagi pemerintahan Tokugawa Ieyasu kelak.

Alasan Tokugawa Ieyasu sangat mendasar. Ogawa Suketada dikenal sebagai seorang yang penjilat, dan ini dibuktikan dengan catatan militernya yang terkenal dengan pembelotannya yang berkali-kali. Sehingga Ogawa Suketada pun dikenal tidak setia. Selain itu pula, putra pewarisnya adalah seorang yang dengan Ishida Mitsunari, musuh bebuyutan Tokugawa Ieyasu sendiri. Ogawa Suketada akhirnya meninggal dunia setahun setelah kejadian Pertempuran Sekigahara. Sedang Akaza Naoyasu, yang juga takut mendengar bunyi tembakan dinilai sebagai seorang yang tidak mampu memimpin barisan jika kelak terjadi pertempuran kembali. Selain itu, Akaza Naoyasu juga seorang pengikut Maeda Toshinaga yang juga tidak mendapatkan penghormatan Akaza Naoyasu akhirnya meninggal pada tahun 1606.


D. Pembagian Wilayah Kekuasaan

Seperti yang telah dijanjikan Tokugawa Ieyasu, bagi para daimyō pendukungnya akan diberikan daerah kekuasaan yang lebih luas dari sebelumnya. Sebagai gantinya, Tokugawa Ieyasu mengasingkan beberapa daimyō yang bukan pendukungnya. Bahkan tercatat pasca-Sekigahara, nilai wilayah yang langsung berada di bawah kekuasaan Tokugawa Ieyasu bertambah drastis dari 2.500.000 koku menjadi 4.000.000 koku. Berikut perluasan wilayah yang telah dijanjikan.

1. Hosokawa Tadaoki yang tadinya memiliki provinsi Tango (Miyazu) senilai 180.000 kokudaka ditukar dengan provinsi Buzen (Okura) yang bernilai 400.000 kokudaka.

2. Tanaka Yoshimasa yang tadinya memiliki provinsi Mikawa (Okazaki) senilai 100.000 kokudaka ditukar dengan provinsi Chikugo (Yanagawa) yang bernilai 325.000 kokudaka.

3. Kuroda Nagamasa yang tadinya memiliki provinsi Buzen (Nakatsu) senilai 180.000 kokudaka ditukar dengan provinsi Chikuzen (Najima) yang bernilai 530.000 kokudaka.

4. Katō Yoshiakira dipindahkan dari Masaki (provinsi Iyo) yang bernilai 100.000 kokudaka ke Matsuyama yang terletak di provinsi yang sama tapi bernilai 200.000 kokudaka.

5. Tōdō Takatora dipindahkan dari Itajima (provinsi Iyo) yang bernilai 80.000 kokudaka ke Imabari yang terletak di provinsi yang sama tapi bernilai 200.000 kokudaka.

6. Terazawa Hirotaka yang menguasai provinsi Hizen ditingkatkan penghasilannya dari 83.000 kokudaka menjadi 123.000 kokudaka.

7. Yamauchi Kazutoyo yang tadinya memiliki provinsi Tōtōmi (Kakegawa) senilai 70.000 kokudaka ditukar dengan provinsi Tosa yang bernilai 240.000 kokudaka.

8. Fukushima Masanori yang memiliki provinsi Owari (Kiyosu) senilai 200.000 kokudaka ditukar dengan provinsi Aki dan Bingo (Hiroshima) yang bernilai 498.000 kokudaka.

9. Ikoma Kazumasa yang menguasai provinsi Sanuki (Takamatsu) senilai 65.000 kokudaka ditingkatkan penghasilannya menjadi 171.000 kokudaka.

10. Ikeda Terumasa yang menguasai provinsi Mikawa (Yoshida) senilai 152.000 kokudaka dipindahkan ke provinsi Harima (Himeji) yang bernilai 520.000 kokudaka.

11. Asano Kichinaga yang menguasai provinsi Kai senilai 220.000 kokudaka dipindahkan ke provinsi Kii (Wakayama) yang bernilai 376.000 kokudaka.

12. Katō Kiyomasa yang menguasai provinsi Higo ditingkatkan penghasilannya dari 195.000 kokudaka menjadi 515.000 kokudaka.

13. Date Masamune yang berangkat dari Oshu untuk bergabung dengan kubu Pasukan Timur juga tidak ketinggalan menerima hadiah dari Ieyasu. Provinsi Mutsu (Iwadeyama) yang dimiliki Date Masamune ditingkatkan nilainya dari 570.000 koku menjadi 620.000 koku.

14. Mogami Yoshiaki yang memiliki provinsi Dewa (Yamagata) ditingkatkan penghasilannya dari 240.000 koku menjadi 570.000 koku.

15. Wilayah kekuasaan klan Toyotomi yang sewaktu Toyotomi Hideyoshi masih berkuasa bernilai 2.220.000 koku berkurang secara drastis menjadi 650.000 koku. Pelabuhan ekspor-impor di kota Sakai dan Nagasaki yang membiayai klan Toyotomi dijadikan milik Tokugawa Ieyasu, sehingga posisi klan Tokugawa berada di atas klan Toyotomi.

16. Klan Shimazu dari Satsuma yang kalah dan menderita kerugian besar dalam Pertempuran Sekigahara dan klan Mōri dari Chōshū yang dirampas wilayah kekuasaannya menyimpan dendam kesumat terhadap Tokugawa Ieyasu. Klan Mōri dan klan Shimazu harus menunggu 250 tahun untuk dapat menumbangkan kekuasaan Keshogunan Edo yang dibangun Tokugawa Ieyasu.


1 http://id.wikipedia.org/wiki/Pertempuran_Sekigahara

2 Seppuku adalah salah satu adat para samurai. Yaitu sebuah tindakan yang merobek perut mereka dan mengeluarkan usus mereka agar dapat memulihkan nama mereka atas kegagalan saat melaksanakan tugas. Seppuku sendiri kini lebih dikenal dengan istilah harakiri (merobek perut). Sedang dalam penulisan dalam kanji Jepang hanya dituliskan secara terbalik. Pada tradisi Jepang, istilah seppuku lebih formal ketimbang harakiri.

3 Pakaian tempur yang digunakan pada saat bertempur. Bisanya hanya digunakan oleh pimpinan pasukan (panglima perang).

4 Kelompok Samurai/satria perang.

5 Ada pendapat lain yang menerangkan bahwa Date Masamune mengirimkan pasukannya kepada Mogami Yoshiaki karena Mogami Yoshiaki sendiri juga menyandera ibu Date Masamune di dalam Istana Yamagata.

6 Sejenis waka, syair Jepang kuno sejak zaman Asuka dan zaman Nara (akhir abad ke-6 hingga abad ke-8).

7 Bushi/Samurai tak bertuan.