Selasa, 28 Juli 2009

Negara Islam Indonesia

Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/NII)


Negara Islam Indonesia (disingkat NII) dikenal juga dengan nama Darul Islam atau DI yang berarti “Rumah Islam”. Gerakan memerdekakan diri menjadi Negara Islam ini adalah sebuah gerakan politik yang diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 (12 Sjawal 1368) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di desa Cisampah, kecamatan Ciawiligar, kawedanan Cisayong, Tasikmalaya-Jawa Barat.

Pergerakan ini dimulai dengan adanya penandatanganan persetujuan Reville pada 8 Desember 1947. Setelah penandatanganan tersebut, seluruh pasukan TNI segera meninggalkan Jawa Barat. Namun demikian, SM Kartosoewirjo beserta pasukannya (yaitu Hisbullah dan Sabilillah) tidak segera meninggalkan wilayah Jawa Barat. Dengan menempati dan menguasai Gunung Cepu, pasukan yang dipimpin oleh SM Kartosoewirjo ini kemudian dikenal dengan sebutan Tentara Islam Indonesia. Itu sebabnya, SM Kartosoewirjo kemudian menginginkan sebuah Negara yang berlandaskan Islam.

Tujuan utama dari gerakan ini adalah menjadikan Indonesia sebagai negara teokrasi dengan Islam sebagai dasar negaranya. Dalam proklamasinya disebutkan bahwa hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam, lebih jelas lagi dalam undang-undangnya dinyatakan bahwa Negaranya berdasarkan Islam dan hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan Hadits. Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk memproduk undang-undang yang berlandaskan syariat Islam, dan penolakan yang keras terhadap ideologi selain Al Quran dan Hadits Shahih, yang mereka sebut dengan “hukum kafir”.
Dalam perkembangannya, DI/NII kemudian menyebar hingga di banyak wilayah, terutama Jawa Barat (berikut dengan daerah yang berbatasan di Jawa Tengah), Sulawesi Selatan dan Aceh. Lantaran tidak sepaham dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, gerakan ini kemudian disebut sebagai pemberontakan. Namun Indonesia tidak langsung menghakimi melainkan melalui permusyawaratan terlebih dahulu. Dengan tidak adanya kesepakatan diantara keduanya, TNI kemudian melakukan penyerangan yang dimulai pada tahun 1960 yang dikenal dengan “Operasi Pagar Betis”. Dengan terpojoknya pasukan SM Kartosoewirjo, menjadikannya menyerah dan pimpinannya kemudian ditangkap TNI dan dieksekusi pada 4 Juni 1962 di Gunung Geber Jawa Barat. Dengan adanya kematian SM Kartosoewirjo tidak menjadikan mati pergerakannya dalam mendirikan Negara Islam Indonesia. Itu sebab gerakan ini masih terus bekerja meski secara diam-diam.

a. Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Amir Fatah
Dengan adanya proklamasi Negara Islam Indonesia di Jawa Barat, menjadikan Jawa Tengah yang memiliki misi yang sama bergabung dengan pasukan SM Kartosoewirjo. Pergerakan mendirikan Negara Islam Indonesia di Jawa Tengah ini dipimpin oleh Amir Fatah, seorang Komandan Laskar Hizbullah untuk wilayah Tulangan-Sidoarjo dan Mojokerto.
Penggabungan pasukannya tersebut kemudian diproklamirkan pada 23 Agustus 1949 di Pangarasan, Tegal dan mengakui bahwa SM Kartosoewirjo sebagai Imam (pimpinan pusat) mereka. Tentu saja, gerakan ini kemudian digagalkan oleh pemerintahan Indonesia. Sehingga pada tahun 1954, pemerintahan Indonesia kemudian mendirikan “Operasi Guntur” dan mampu menghentikan sikap yang dianggap sebagai separatis ini.

b. Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Kahar Muzakar
Gerakan pendirian Negara Islam Indonesia ini juga berlangsung di wilayah Timur Indonesia, yaitu Sulawesi Selatan. Pergerakan mendirikan Negara Islam Indonesia ini dipimpin oleh Kahar Muzakar. Sedang pergerakan ini dimulai ketika Kahar Muzakar beserta pasukannya yang tergabung dalam Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) tidak mendapatkan perhatian pemerintah Indonesia dalam penyampaian seluruh aspirasinya. Itu sebabnya, Kahar Muzakar kemudian mendeklarasikan Negara Islam Indonesia di bawah pimpinan SM Kartosoewirjo pada tahun 1952 lantaran lebih memperhatikan seluruh anggotanya.
Hanya saja, gerakan ini kemudian juga dapat ditumpaskan oleh pemerintahan Indonesia pada tahun 1965. Sedang dalam operasi militer Indonesia, Kahar Muzakar kemudian tewas dan menghentikan gerakan Negara Islam Indonesia di Sulawesi Selatan ini.

c. Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Daud Beureuh
Pemberontakan DI/TII di Aceh dimulai dengan adanya “Proklamasi Daud Beureuh” yang menyatakan bahwa Aceh merupakan bagian “Negara Islam Indonesia” di bawah pimpinan Imam Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada tanggal 21 September 1953.
Daued Beureueh sendiri adalah mantan Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh sewaktu agresi militer pertama Belanda pada pertengahan tahun 1947. Sebagai Gubernur Militer, Daud Beureuh berkuasa penuh atas pertahanan daerah Aceh dan menguasai seluruh aparat pemerintahan baik sipil maupun militer. Sebagai seorang tokoh ulama dan bekas Gubernur Militer, Daud Beureuh tidak sulit memperoleh pengikut. Daud Beureuh juga berhasil mempengaruhi pejabat-pejabat Pemerintah Aceh, khususnya di daerah Pidie. Untuk beberapa waktu lamanya Daud Beureuh dan pengikut-pengikutnya dapat mengusai sebagian besar daerah Aceh termasuk sejumlah kota.
Namun demikian, sesudah bantuan datang dari Sumatera Utara dan Sumatera Tengah, operasi pemulihan keamanan TNI segera dimulai. Setelah didesak dari kota-kota besar, Daud Beureuh meneruskan perlawanannya di hutan-hutan. Penyelesaian terakhir Pemberontakan Daud Beureuh ini dilakukan dengan suatu “Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh” pada 17-28 Desember 1962 atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M. Jassin.
Dengan berakhirnya Negara Islam Indonesia, tidak menjadikan Islam kembali dalam keterpurukan, malahan selalu aktif dalam urusan kepemerintahan. Salah satu penyebabnya adalah mayoritasnya Islam di Indonesia dan posisi kepartaian di Indonesia semenjak pemilu pertama hingga kini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar