Kamis, 13 Mei 2010

YAKUZA

Perang Sekigahara yang berlangsung pada sekitar 21 Oktober 1600 mengakibatkan banyak perubahan. Perang besar antara para Daimyō tersebut banyak melibatkan anggota militer yang terdiri dari berbagai kalangan, termasuk Bushi sendiri. Bahkan, kelahiran Yakuza pun tidak luput dari kejadian tersebut.

Di sisi lain, banyak film-film fiksi atau cerita bergambar (manga) yang menceritakan Yakuza dengan senjatanya “Katana” yang secara sadis membantai para musuhnya, berasal dari kaum Bushi (Samurai). Padahal, Yakuza sendiri bukan berasal dari kaum Bushi.

Hubungan antara Kaisar, Shogun, Bushi, dan Ninja ternyata sangat melekat pada diri Yakuza. Meski Yakuza sendiri bukan keturunan dari salah satu diantara mereka. Dan yang mengejtkan, ternyata Yakuza berasal dari kaum minor, yaitu Shōkuin (buruh) dan Shōnin (pedagang).

Jika dapat dikulas sedikit, dalam catatan sejarah Jepang, (meski menurut legenda) Kaisar pertama Jepang berasal dari keturunan Dewa Amaterazu, dan secara perlahan, keluarga Kekaisar memiliki darah dari kaum Bushi dan Daimyō. Di sisi lain, Dimyō sendiri kebanyakan berlatar belakang seorang Bushi. Hingga akhirnya, Bushi juga menduduki jabatan sebagai Shogun (Panglima Perang) dengan anggotanya dari kaum Bushi sendiri. Lantas, mengapa Yakuza bukan berasal dari kaum Bushi? Atau mungkin mereka berasal dari kaum Ninja?

Jika dilihat secara kasat mata, perbedaaan antara Bushi dan Ninja sangat mencolok. Jika Bushi mengandalkan kehormatannya, lain dengan halnya Ninja. Bushi selalu mengutamakan keloyalan meski harus merelakan hidupnya kepada “para tuan”nya. Dalam sumpahnya, mereka harus rela mati demi yang dilindungi, dan ini adalah sebagai tanda kehormatan baginya. Sedangkan Ninja sendiri lebih memilih jalan “licik” agar tujuannya tercapai. Dan dalam teknik ilmu perangnya pun, samurai lebih cenderung menyerang secara langsung, sedang Ninja, lebih senang melewati jalur tersembunyi.

Pasca pertempuran Sekigahara dan setelah Tokugawa menjadi Shogun, pada sekitar tahun 1912, kira-kira 500.000 Bushi yang sebelumnya disebut Hatomo Yakko (pelayan shogun) menjadi kehilangan tuan, atau disebut sebagai kaum Ronin.

Kehormatan yang sebelumnya dimiliki hanya ditujukan dan diabdikan kepada para tuannya, menjadi bukan sebagai kebanggaan lagi. Seperti kata pepatah: “orang yang hanya punya martil cenderung melihat segala sesuatu bisa beres dengan dimartil…,” demikian juga dengan kaum Ronin ini. Setelah kehilangan tuan, mereka juga seperti kehilangan arah. Banyak dari mereka menjadi penjahat dan centeng. Mereka disebut sebagai Kabuki Mono atau samurai nyentrik urakan yang ke mana-mana membawa pedang. Mereka berbicara satu sama lain dalam bahasa slang dan kode rahasia. Meski begitu, mereka masih dapat menjaga kesetiaan di antara sesama ronin, sehingga kelompok ini sulit dibasmi.

Dengan adanya para Kabuki Mono, banyak kota-kota kecil di Jepang membentuk Machi Yokko (satgas/satuan tugas kampung). Satgas ini terdiri dari para pedagang, pegawai, dan orang biasa yang mau menyumbangkan tenaganya untuk menghadapi kaum Kabuki Mono. Walaupun mereka kurang terlatih dan jumlahnya sedikit, tetapi ternyata para anggota Machi Yokko ini sanggup menjaga daerah mereka dari serangan para Kabuki Mono. Di kalangan rakyat Jepang abad ke-17, kaum Machi Yokko ini dianggap seperti pahlawan.

Masalah jadi rumit, karena setelah berhasil menggulung para Kabuki Mono, para anggota Machi Yokko ini malah meninggalkan profesi awal mereka dan memilih jadi preman. Hal ini diperparah lagi dengan turut campurnya Shogun dalam memelihara para Machi Yokko ini.

Ada dua kelas profesi para Machi Yokko, yaitu kaum Bakuto (penjudi) dan Tekiya (pedagang). Meski tergolong kaum pedagang, tetapi pada kenyataannya, kaum Tekiya ini suka menipu dan memeras sesama pedagang. Walau begitu, kaum ini punya sistem kekerabatan yang kuat. Ada hubungan kuat antara Oyabun (Boss-bapak) dan Kobun (bawahan-anak), serta Senpai-Kohai (Senior-Junior) yang kemudian menjadi kental di organisasi Yakuza.