Selasa, 26 Mei 2009

Dewa Perang Jepang

Dewa Perang Jepang
Penerbit Masmedia Buana Pustaka
978-602-8350-72-3

Dewa Perang Jepang adalah sebuah catatan pendek yang mencoba memberikan wawasan kepada seluruh pembaca agar tahu bagaimana “rangkaian” kepemimpinan di Jepang selama terbentuknya Jepang hingga dewasa ini. Sedang Dewa Perang Jepang sendiri dialihkan dari beberapa tokoh pelaku sejarah Jepang yang lekat dengan peperangan.

Pada dasarnya, Jepang layaknya negara-negara lainnya. Hanya saja, yang membuat unik di Jepang adalah sistem pemerintahannya yang mampu bekerja dengan cepat meski telah mengisolasikan diri dari negara-negara lainnya. Selain itu, Jepang juga memiliki kebudayaan yang berbeda. Selain upacara keagamaan dan pemerintahan yang sering diadakan, penguasa (Kaisar) Jepang pun ternyata dijadikan sebagai Tuhan oleh rakyatnya. Dengan diangkatnya Kaisar Jepang sebagai Tuhannya, ini berarti Jepang menganut sistim politheisme dan dualisme kepemimpinan (bahkan lebih). Kejadian yang berlangsung pada tahun 1332-1382 ini di pimpin oleh 2 Kaisar yang juga dimonopoli oleh 2 Panglima Perangnya.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, meski Jepang menutup diri dari negara luar, Jepang ternyata kerap akan kudeta seperti yang terjadi pada banyak negara. Tapi uniknya lagi, yang melakukan kudeta pada Jepang ternyata tidak hanya dari angkatan bersenjatanya, bahkan seorang Tuan Tanah pun ikut andil di dalamnya.

Jepang yang juga dikenal akan Samurainya, ternyata menjadikannya pula sebagai “Senjata Pemakan Tuannyta” atai yang dikenal dengan pelaku kudeta. Sedang yang tercatat sebagai pelaku kudeta di Jepang adalah: Tuan Tanah (Daimyō 大名), Panglima Perang (Shogun 将軍), Samurai , Ninja 忍者, hingga Yakuza ヤクザ pun mengambil banyak peran.

Dengan adanya catatan hitam dalam sejarah Jepang, buku ini pun akan mengupas seluruh keterpurukan kekuasaan Kaisar Jepang. Selain itu, sepak terjang dari tokoh-tokoh “pengkudeta” Jepang pun tidak luput dibahas. Dan sebagai pelengkap, buku ini pun dilengkapi biografi para Dewa Perang Jepang tersebut, sehingga pembaca mampu membayangkan keadaan Jepang pada waktu itu.

Tenno 天皇

Jepang dikenal sebagai negara Imperial (Kerajaan) yang dipimpin oleh Kaisar (Tenno 天皇). Dan ini menjadikan Jepang sebagai negara satu-satunya di dunia yang dikepalai oleh Kaisar.

Di Jepang dewasa ini, hampir seluruh pengenalan tentang nama-nama Kaisar Jepang (termasuk buku-buku pelajaran) memulai dengan nama Kimmei Tenno (359). Sedang Jinmu Tenno dan sampai sebelum Kimme Tenno, hanya sebagai cerita legendaris saja.

Daimyo 大名

Istilah Daimyō (大名) diambil dari kata Daimyōshu (大名主) yang berarti “kepala keluarga terhormat” yang berarti orang yang memiliki pengaruh besar di suatu wilayah. Di dalam masyarakat samurai di Jepang, istilah Daimyō digunakan untuk samurai yang memiliki hak atas tanah yang luas (tuan tanah) dan memiliki banyak bushi (samurai) sebagai pengikut.

Jika diartikan secara harfiah dan tulisan maka Daimyō bisa diartikan sebagai tuan tanah dan atau bangsawan era feodal Jepang. Meski kebanyakan Daimyō berasal dari kaum bushi, Daimyō juga banyak berasal dari kaum bangsawan dan agamawan.

Istilah Daimyō sendiri pertama kali dikenalkan pada zaman Hei An. Meski pada dasarnya, baru pada zaman Kamakura, Daimyō menjadi sosok yang penting dalam pemerintahan Jepang.

Pada zaman Hei An, Daimyō muncul akibat sistem kepemilikan tanah atas pribadi yang disahkan, sehingga banyak pemilik tanah yang berkuasa dan ingin merebut kekuasaan atas tanah yang dimiliki oleh pemilik yang lainnya. Selain itu, pemilik tanah yang merasa dirinya kuat, mendekati kaisar untuk diangkat sebagai ‘orang penting’ dalam pemerintahan.

Salah satu Daimyō yang sangat terkenal dan memonopoli kekuasaan kaisar pada zaman Hei An adalah keluarga Fujiwara. Sehingga, semasa Fujiwara ‘dekat’ dengan keluarga Kaisar, Fujiwara-lah yang patut dianggap sebagai penguasa Jepang daripada Kaisar Jepang. Hingga akhirnya, muncullah keshogunan Kamakura yang menggulingkan keluarga Fujiwara.

Dalam beberapa perubahan periode dan pergantian nama zaman dan penguasa, Daimyō banyak mengalami perubahan makna. Pada zaman Muromachi, Daimyō diartikan sebagai suatu jabatan bagi penguasa atas Kuni (provinsi). Meski begitu, para Daimyō ini mendapatkan perlindungan dari Daimyō yang memiliki kekuatan militer yang lebih besar dan daerah kekuasaan yang lebih luas. Pelindung para Daimyō ini disebut sebagai Shugo Daimyō atau Shugo Shoku.

Pada saat memasuki zaman Sengoku, yang menjadi penguasa tanah bukan lagi dari kaum bangsawan. Melainkan dari kaum bushi. Pembagian kelompok pada zaman ini sangat menentukan kekuasaan dari masing-masing Daimyō. Penguasa atas satu wilayah tidak dapat dikatakan sebagai Daimyō, melainkan Taishin. Dalam pelebaran kekuasaan wilayah, kaum Bushi yang berjasa diberi gelar Kokujin. Para pimpinan Kokujin (Taishi) inilah yang berperan menjadi Daimyō (atau sering disebut sebagai Sengoku Daimyō) yang menguasai lebih dari satu wilayah kekuasaan.

Di akhir zaman Muromachi, pengikut keshogunan Muromachi sudah mampu menduduki kursi pemerintahan dengan cara mengatur di masing-masing wilayah. Para penguasa masing-masing wilayah ini berasal dari klan Hōjō. Keluarga Hōjō adalah Daimyō pengikut setia keluarga Ashikaga.

Namun, pada zaman Sengoku dan Azuchi Momoya, Oda Nobunaga dan Toyotomi Hideyoshi adalah seorang Daimyō yang berasal bukan dari keturunan bushi atau bangsawan. Mereka dinilai sebagai Daimyō paling kuat karena mampu menggulingkan keshogunan Muromachi dan para Daimyō pengikut setia keluarga Ashikaga. Namun, kekuasaannya tidak mampu bertahan lama yang kemudian berdiri keshogunan Edo.

Pada zaman Edo, Daimyō adalah sebutan untuk samurai yang menerima lebih dari 10.000 koku (wilayah) dari keshogunan Edo, sedangkan samurai yang menerima kurang dari 10.000 koku disebut Hatamoto.

Shogun 将軍

Shogun berasal dari kata Sei I Taishōgun (征夷大将軍) yang berarti Panglima Tertinggi Pasukan Ekspedisi melawan Orang Biadab (istilah “Taishōgun” berarti panglima angkatan bersenjata). Sei I Taishōgun merupakan salah satu jabatan Jenderal yang dibuat di luar sistem Taihō Ritsuryō. Dan jika dilihat dalam kamus bahasa Jepang-Indonesia, dapat diartikan sebagai Jendral. Meski pada Restorasi Meiji, istilah Shogun tidak digunakan lagi, namun istilah ini dipakai dalam dunia kemiliteran hingga sekarang yang berarti “Jenderal”.

Istilah Shogun sebenarnya sudah ada sejak zaman Nara. Kala itu, Jenderal yang dikirim untuk menaklukkan wilayah bagian timur Jepang disebut dengan Sei I Taishōgun yang kemudian sering disingkat menjadi Shogun. Selain itu, ada juga jabatan yang lebih rendah dari Sei I Taishōgun, yang kemudian disebut dengan Seiteki Taishōgun (panglima penaklukan orang Barbar) dan Seisei Taishōgun (panglima penaklukan wilayah barat).

Menginjak zaman Kamakura, gelar Sei I Taishōgun diberikan kepada panglima keshogunan (Bakufu) hingga zaman Edo. Saat itu, Shogun dapat juga diartikan sebagai pejabat Tōryō (kepala klan Samurai) yang didapatkannya berdasarkan garis keturunan.

Pada awalnya, Shogun diangkat oleh Kaisar untuk membantunya dalam mengatasi segala sesuatu tentang militer dan keamanan Jepang. Namun, bersamaan dengan keinginan untuk menguasai Jepang, Shogun sering mengambil alih seluruh kebijakan negara, sehingga negara luar Jepang sering menganggap Shogun adalah “Kaisar Jepang” yang sesungguhnya. Meski Shogun kebanyakan mendapatkan perintah dari Kaisar, ada sebagian pejabat Shogun yang mengambil alih secara langsung dengan tanpa menghiraukan perintah Kaisar.

Samurai

Kata “Samurai” () berasal dari kata kerja bahasa Jepang kuno “Samorau 侍う”. Kata tersebut akhirnya mengalami perubahan menjadi “Saburau さぶらう” yang berarti melayani. Sehingga “Samurai” dapat diartikan sebagai pelayan bagi sang majikan.

Dalam catatan sejarahnya, Samurai sebenarnya diciptakan sebagai “satria bersenjata”, oleh karena itu, pada zaman Edo, Samurai lebih dikenal dengan sebutan Bushi 武士 (orang bersenjata).

Berikut adalah beberapa sebutan untuk Samurai. Diantaranya adalah Buke 武家 (ahli bela diri), Musha/武者 atau Bugeisha 武芸者 (pakar bela diri), Kabukimono かぶきもの (preman Samurai), Mononofu/もののふ (satria panglima), dan Shi (huruf kanji pengganti samurai).

Pada masa terbentuknya pengelompokan antar golongan, membuat Samurai juga menerapkannya. Samurai lebih menekankan dirinya sebagai prajurit elit dari kalangan bangsawan yang sopan dan terpelajar. Dan hal ini tentunya sangat berbeda dengan Ashigaru 足軽 atau tentara berjalan kaki. Beberapa kelompok Samurai yang lainnya adalah Ronin 浪人 (orang ombak; Samurai yang tak bertuan), dan Hanshi 藩士 (Samurai yang bertugas di wilayah Han).

Ninja 忍者

Ninja (忍者) atau yang dikenal dengan istilah Shinobi , dalam bahasa Jepang berarti seseorang yang bergerak secara rahasia. Ninja juga dapat dikatakan sebagai seorang pembunuh yang terlatih dalam seni Ninjutsu (seni pergerakan sunyi). Meski begitu, Ninja tidak diciptakan sebagai mesin pembunuh seperti Bushido. Karena Ninja sendiri diciptakan sebagai “Satria Penyusup”.

Ketika para samurai memegang kekuasaan tertinggi di pemerintahan Jepang, pertarungan untuk memperebutkan kekuasaan semakin memanas, informasi tentang aktivitas dan kekuatan lawan menjadi penting, dan para Ninja pun semakin aktif. Sehingga pada abad ke-12 hingga ke-14, Ninja mulai dikenal sebagai mata-mata profesional.

Pada masa pergolakan di Jepang (masa perang saudara), para Ninja disewa oleh Daimyō untuk mengumpulkan informasi, merusak dan menghancurkan gudang persenjataan ataupun gudang makanan, serta untuk memimpin pasukan penyerbuan di malam hari. Keberadaan Ninja masih tetap diperhitungkan hingga zaman Edo (1600-1868), meski pada akhirnya dibenahi oleh pemerintahan Edo.

Terbukanya jalan bagi kelahiran Ninja pada tahun 522, sangat berkaitan dengan masuknya seni Nonuse ke Jepang yang biasa disebut seni bertindak secara diam-diam. Seni Nonuse ini adalah suatu praktek keagamaan yang dilakukan oleh para pendeta yang pada saat itu bertugas memberikan info kepada orang-orang di pemerintahan. Sekitar tahun 645, pendeta-pendeta tersebut menyempurnakan kemampuan bela diri dan mulai menggunakan pengetahuan mereka tentang Nonuse untuk melindungi diri dari intimidasi pemerintah pusat.

Sebuah catatan sejarah mengatakan bahwa sekitar abad ke-9 terjadi eksodus dari Cina ke Jepang. Banyak pengungsi yang mencari perlindungan ke Jepang akibat runtuhnya dinasti T’ang. Sebagian dari mereka adalah jenderal besar, prajurit, dan biksu. Mereka menetap di provinsi Iga, di tengah pulau Honsu. Beberapa Jenderal yang tercatat memasuki Jepang antara lain Cho Gyokko dan Ikai Cho Busho. Mereka adalah tokoh sejarah yang telah menggabungkan pengetahuan dan kemampuannya dengan kebiasaan masyarakat setempat, meliputi strategi militer, filsafat kepercayaan, konsep kebudayaan, ilmu pengobatan tradisional, dan falsafah tradisional yang akhirnya dikenal dengan nama Ninjutsu 忍術.

Ilmu bela diri ini kemudian diturunkan secara turun temurun yang meliputi falsafah bushido, mata-mata, taktik perang komando, tenaga dalam, tenaga supranatural, dan berbagai jenis bela diri lain yang tumbuh dan berkembang menurut zaman.

Pada tahun 794-1192, ilmu Ninja sendiri sudah banyak dipergunakan. Dengan adanya usaha untuk menggulingkan kekaisaran, keluarga yang berpengaruh dan memiliki kekayaan, membutuhkan para pembunuh, terutama praktisi Nonuse sebagai informan.

Pada abad ke-16 Ninja mulai dikenal dan eksis sebagai suatu keluarga atau klan di kota Iga atau Koga. Ninja pada saat itu merupakan profesi yang berhubungan erat dengan intelijen tingkat tinggi dalam pemerintah feodal para raja di Jepang.

Yakuza

Pascapertempuran Sekigahara dan setelah Tokugawa menjadi Shogun, pada sekitar tahun 1912, kira-kira 500.000 Bushi yang sebelumnya disebut Hatomo Yakko (pelayan Shogun) menjadi kehilangan tuan, atau disebut sebagai kaum Ronin 浪人.

Kehormatan yang sebelumnya dimiliki hanya ditujukan dan diabdikan kepada para tuannya, menjadi bukan sebagai kebanggaan lagi. Seperti kata pepatah: “orang yang hanya punya martil cenderung melihat segala sesuatu bisa beres dengan dimartil…,” demikian juga dengan kaum Ronin ini. Setelah kehilangan tuan, mereka juga seperti kehilangan arah. Banyak dari mereka menjadi penjahat dan centeng. Mereka disebut sebagai Kabukimono かぶきもの atau samurai nyentrik urakan yang ke mana-mana membawa pedang. Mereka berbicara satu sama lain dalam bahasa slang dan kode rahasia. Meski begitu, mereka masih dapat menjaga kesetiaan di antara sesama ronin, sehingga kelompok ini sulit dibasmi.

Dengan adanya para Kabukimono, banyak kota kecil di Jepang membentuk Machi Yokko 町奴 (satgas/satuan tugas kampung). Satgas ini terdiri dari para pedagang, pegawai, dan orang biasa yang mau menyumbangkan tenaganya untuk menghadapi kaum Kabukimono. Walaupun mereka kurang terlatih dan jumlahnya sedikit, tetapi ternyata para anggota Machi Yokko ini sanggup menjaga daerah mereka dari serangan para Kabukimono. Di kalangan rakyat Jepang abad ke-17, kaum Machi Yokko ini dianggap seperti pahlawan.

Masalah jadi rumit, karena setelah berhasil menggulung para Kabukimono, para anggota Machi Yokko ini malah meninggalkan profesi awal mereka dan memilih jadi preman. Hal ini diperparah lagi dengan turut campurnya Shogun dalam memelihara para Machi Yokko ini.

Di balik dari “peminangan” terhadap Machi Yokko, ternyata Shogun memiliki maksud dibalik itu semua. Shogun menjadikan Machi Yokko sebagai “partner”nya yang difungsikan sebagai ‘Ninja’nya dalam menyerang sesama pegawai pemerintahan. Hal ini tentu saja berhubungan dengan masalah keuangan negara. Lebih tepatnya, pegawai yang dimaksud adalah para pekerja konstruksi dan irigasi yang berfungsi sebagai pembangun insfrastruktur Jepang setelah masa perang.

Kebanyakan kaum Machi Yokko yang disewa berasal dari kelas Bakuto atau penjudi. Hal ini dimaksudkan agar upah para pekerja terkuras di meja perjudian. Dengan begitu, uang yang telah dikumpulkannya akan cepat habis dan mereka dengan terpaksa agar segera mencari “tambahan” guna mencukupi kebutuhan hobinya, berjudi.

Dengan kebutuhan para pegawai yang dimaksud, maka mereka dapat ditekan oleh pemerintahan untuk menggunakan jasanya. Pemerintahan Shogun tidak tanggung-tanggung dalam memeras keringat para pekerja yang sangat membutuhkan uang tersebut. Dengan begitu, Shogun dan pejabat pemerintahan yang lain dapat menghemat keuangannya dan memperkuat militernya.

Dalam permainan judi, mereka biasa menggunakan kartu Hanafuda 花札 dengan sistem permainan mirip Black Jack. Permainan yang dinamakan Oicho Kabu おいちょかぶ ini digunakan karena dinilai sangat cepat dan menyenangkan.

Dalam permainan ini, kartu yang disebut dengan “kartu sial” ini sering ditemukan dengan nilai 8-9-3 yang berjumlah 20 (dua puluh). Dan istilah “Yakuza” sendiri awalnya diambil dari “kartu sial” ini. Dalam bahasa Jepang, angka 8-9-3 dapat juga diucapkan sebagai Ya-Ku-Za.

8 () = Hachi = Ha/Ya ()

9 () = Kyu = Ku ()

3 () = San/Zan = Sa/Za ()