Minggu, 06 September 2009

Islam dalam Pemerintahan

Islam dalam Pemerintahan

Dari Imam al Bazzar meriwayatkan dari Abu Ubaidah Ibn al Jarah yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Sesungguhnya fase awal agama kalian dimulai dengan fase kenabian dan rahmah, setelah itu fase Khilafah dan rahmah, tetapi kemudian menjadi kerajaan yang penuh dengan pemaksaan (atau tidak rahmah).” (Prof. Dr. Jaih Mubarok, M.Ag. dalam “Sejarah Peradaban Islam”, h. 84-85)1

Dalam menjalankan pemerintahan, Islam telah terpecah ke dalam berbagai kelompok setelah sepeninggal Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin. Namun demikian, Islam sudah melebar hingga daratan Asia dan Eropa, baik melalui cara dakwah maupun perluasan wilayah. Itu sebabnya, banyak bangsa Eropa menganggap bahwa Islam adalah agama yang pebuh kekerasan. Hal tersebut tentu saja bertolak belakang dengan ajaran Islam yang mendahulukan kepentingan agama dan kemanusiaan daripada kepentingan pribadi yang haus akan perang.

Tidak sedikit sebenarnya kelompok Islam dunia kini menginginkan masa-masa Khalifah diulang kembali, yaitu mendirikan kembali Negara Islam bersatu. Namun demikian, banyak pula diantara mereka yang hanya menginginkankan keonaran belakan dengan menamakan dirinya sebagai kelompok Islam. Bahkan yang terburuk, Islam sendiri sempat dicap sebagai gudang teroris pasca bom meledak di WTC Amerika 11 September 2001 pekan lalu.

1. Perang

Semangat jihat atau perang dalam Islam sendiri sebenarnya juga dianjurkan. Itu sebab, banyak sebagian orang menyalah tafsirkan akan arti dari “perang” tersebut.

Hai orang-orang yang beriman! Apakah sebabnya ketika diperintahkan kepadamu, “Berangkatlah (untuk berperang) di jalan Allah,” kamu merasa keberatan dan ingin tetap bersenang-senang saja di tempatmu? Apakah kamu lebih senang dengan kehidupan di dunia ini jika dibandingkan dengan nikmat kehidupan di akhirat hanyalah lebih sedikit? (QS. Baraa-ah: 38)


Jangalah kamu berhati lemah dalam memburu kaum (yang menjadi musuhmu) itu. Jika kamu merasa kesakitan, mereka pun menderita kesakitan pula seperti kamu. Kamu dapat mengharapkan (pahala) daripada Allah, sedangkan mereka tidak. Allah maha mengetahui dan bijaksana. (QS. Annisa’: 104)


Maka berperanglah kamu di jalan Allah. Tidak dibebankan tugas itu, kecuali terhadap dirimu. Kobarkanlah semangat perang orang-orang yang mukmin. Semoga Allah mematahkan serangan perang orang-orang kafir itu. Dan Allah sangat besar kekuasaan-Nya serta sangat keras siksa-Nya. (QS. Annisa’: 84)


Sebenarnya, bukan kamu yang membunuh mereka itu, tetapi Allah, dan waktu kamu melempar itu (sebenarnya) bukan kamu yang melakukannya, tetapi Allah jualah. (Tuhan berbuat demikian) hendak menganugerahkan nikmat kemenangan yang gemilang kepada mukmin. Sesunggunya allah itu maha mendengar dan mengetahui. (QS. Al Anfal: 17)


Seandainya kamu gugur atau meninggal di jalan Allah, maka ampunan dan rahmat Allah lebih baik (bagimu) dari harta rampasan yang mereka kumpulkan. Dan sunguh-sungguh, jika kamu mati atau gugur, pasti kepada Allah-lah kamu dikumpulkan. (QS Ali Imran: 157-158)

Memang benar dalam ayat Al Quran telah disebutkan betapa pentingnya berperang. Namun demikian, dalam kebenarannya, semangat perang (yang sering dikatakan sebagai jihad) sebenarnya tidak seperti yang kebanyakan kelompok Islam jalur keras dalam menghadapi yang bukan Islam (atau mungkin sebagian di dalamnya dalah Islam?). Yang mereka lakukan ini sebenarnya bukanlah jihad; jika mereka dengan seenaknya membunuh dan menghancurkan bermacam-macam tempat dan atau daerah yang mereka anggap sebagai musuh, sedang dalam maksud yang lainnya terdapat keburukan atau merugikan yang hanya menyenangkan pribadi.

Dalam peperangan sendiri, sebanarnya ada beberapa “kiblat” yang harus diperhatikan selain menjalankan misi “perang” itu sendiri. Karena melihat yang terjadi, perang dengan maksud sebagai keegoisan emosi masing-masing pribadi adalah sangat disayangkan. Sedang dalam Islam sendiri, yang harus diperangi adalah kelompok kafir yang telah menolak Allah, dan bukan orang Islam itu sendiri.

Hai orang-orang beriman! Apabila kamu pergi (berperang) di jalan Alah, hendaklah berhati-hati dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan salam kepadamu. “Kamu bukan orang mukmin” lalu kamu membunuhnya dengan maksud mencari harta benda dunia, padahal di sisi Allah banyak harta-harta rampasan. Begitu jugalah keadaanmu dahulu. Lalu Allah bermurah hati kepadamu. Oleh karena itu, berhati-hatilah. Sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Anisa’: 94)


Berlomba cepatlah kamu (berbuat kebajikan yang dapat menyampaikanmi) kepada pengampunan Tuhanmu dan (memasukkanmu ke dalam) surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Disediakan untuk orang-orang yang takwa. Kesatu. Ialah orang-orang yang menafkahkan hartanya di waktu senang dan susah. Kedua, orang-orang yang sanggup menahan marahnya. Ketiga, orang-orang yang suka memaafkan (kesalahan) orang lain. Keempat, Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (kelima), orang-orang yang apabila terlanjur mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya dirinya sendiri, mereka ingat kepada Allah lalu memohon ampun terhadap dosa-dosanya. Siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak bersitegang saja melakukan perbuatannya itu, sedang mereka mengetahui (kekejiannya). (QS. Ali Imran: 133-135)


Keburukan patut dibalas dengan keburukan ayng setimpal pula. Namun siapa yang suka memaafkan dan mengusahakan perbaikan, maka pahalanya menurut pandangan Allah lebih besar. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang zalim. Meskipun demikian, mereka tidak ada alasan untuk mencela orang yang membela diri terhadap tindak sewenang-wenang yang dialaminya. Celaan (yang sebenarnya) itu harus dutujukan kepada orang-orang yang berbuat aniaya terhadap orang lain dan bertindak sewenang-wenang di dalam negeri tanpa hukum keadilan. Mereka patut memperoleh siksa yang pedih. Namun bagi orang yang mamppu mengendalikan diri dan suka memaafkan, perilaku yang demikian termasuk perbuatan yang utama. (QS. Asy Syura: 40-43)


Adalah tidak layak bagi orang-orang mukmin membunuh orang mukmin (yang lain) kecuali jika suatu kesalahan (dan tidak sengaja). Barangsiapa yang membunuh orang mukmin dengan tidak sengaja, hukumannya ialah memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin serta membayar diyah yang diserahkan kepada keluarga si Koran. Kecuali jika keluarga si korban merelakan. Dan kalau yang terbunuh itu dari pihak musuhmu, tetapi ia beriman, hendaklah (si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dana kalau yang terbunuh itu dari kaum yang telah mengikat perjanjian damai denganmu, hendaklah (sipembunuh) membayar diyah yang diserahkan kepada keluarga si korban, serta memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperoleh (hamba sahaya yang beriman itu), hendaklah berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai syarat penerimaan tobat dari Allah. Dan Allah mengetahui dan bijaksana. Barangsiapa yang membunuh mukmin dengan sengaja, maka hukumannya ialah jahanam, Kekal ia di dalamnya. Allah memurkai dan mengutuknya serta menyediakan siksa besar baginya. (QS. Annisa’: 92-93)


Diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena mereka telah dianiaya. Sesungguhnya Allah amat berkuasa menolong mereka. Mereka (yang telah dianiaya itu), ialah mereka yang telah diusir dari kampong halamannya tanpa alasan yang benar, hanya karena mereka berkata, “Tuhan kami hanya Allah!” Kalau tidaklah karena pembelaan Allah terhadap manusia yang sebagiannya (teraniaya oleh keganasan) yang lain, tentu telah dirobohkan tempat-tempat pertapaan Yahudi, gereja-gereja Nasrani, gereja-gereja Yahudi dan masajid-masjid yang terbanyak disebut nama Allah di dalamnya. Dan sesungguhnya Allah pasti menolong orang-orang yang menolong (agama)-Nya. Bahwasanya Allah sungguh-sungguh maha kuat dan tangguh. (QS. Al Hajj: 39-40)

Itu sebab, dalam mengambil sebuah keputusan antara berperang atau tidak, sebuah pemerintahan memiliki andil yang cukup besar. Sedang dalam pemerintahan, banyak sikap-sikap yang sebaiknya ditiru, sehingga tidak menjadikannya pemerintahannya yang berada di luar jalur Islam dan fungsi dari pemerintahan tersebut.

2. Negara

Pemerintahan sendiri adalah sebuah dasar dari bentuk tatanan kenegaraan yang pada dasarnya adalah kerajaan. Pada masa pemerintahan ini, yang dinyatakan sebagai penguasanya adalah seorang raja. Sedang Islam sendiri pada masa Muhammad dan Khulafaur Rasyidin belum menjadi kerajaan. Pemerintahan Islam saat itu menjadi satu kesatuan dengan satu pemimpin (Muhammad dan masa setelahnya adalah Khulafaur Rasyidin). Namun demikian, dengan adanya perbedaan pola pikir pada masing-masing pemimpin kelompoknya, Islam kemudian terpecah-pecah.

Pada masa kepemimpinan Muhammad dan Khulafaur Rasyidin inilah, Negara-negara yang ditaklukkan Islam kemudian terpusat pada satu pusat kepemerintahan. Dalam teori tentang hukum ketatanegaraan, pemerintahan ini dapat dikatakan sebagai Negara Serikat, dimana sebuah Negara yang terdiri dari berbagai macam Negara.2

Sedang dalam sistem kepemerintahan dalam sebuah Negara berbeda dengan sistem Kerajaan. Dalam tatanan Negara, pada dasarnya pemerintahan pusat dituntut untuk menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya. Namun demikian, hal ini berbeda pandangan dengan Roger H. Sultau. Dia beranggapan bahwa tujuan dari Negara adalah memungkinkan rakyatnya untuk berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin. Dan jika benar Negara pada akhirnya seperti itu, tentu saja hanya akan menciptakan sebuah Negara yang anarki. Lihat saja pada sistem yang dibawa oleh Hitler yang kemudian menciptakan Negara komunisnya. Hal ini tentu saja berbeda jauh dengan tujuan Islam yang mengedepankan konsep ketuhanannya.

Tentu saja sistem yang meninggalkan “Tuhan” ini dalam urusan Negara menjadikan banyak Negara yang mengambil konsep yang sama. Di sisi lain, konsep komunis yang pada dasarnya meniru gaya Marxisme-Leninnisme ini menjadikan rakyatnya memiliki kedudukan yang sama dan penghapusan kekayaan individu. Lantaran konsep ini sering meninggalkan ketuhanan, maka Negara-negara yang berbasis komunis pun pada akhirnya diberantas.

Pada dasarnya, Negara sendiri adalah integrasi dari kekuasaan politik yang merupakan organisasi pokok dari kekuasaan politik. Sedang tugas dari Negara sendiri memiliki dua fungsi utama, yaitu pertama, mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang asosial supaya tidak antagonistis yang membahayakan3, dan kedua, mengorganisasikan dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya. Hal ini tentu saja menuntut Negara untuk menentuka bagaimana kegiatan asosiasi-asosiasi kemasyarakatan disesuaikan dengan satu sama laindan diarahkan kepada tujuan nasional.

Fungsi-fungsi lain daripada Negara sendiri adalah sebagai berikut: 1. melaksanakan ketertiban, 2. mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya, 3. pertahanan, dan 4. menegakkan keadilan. Sedang sudut pandang lain diutarakan oleh Carles E. Merriam dengan menjadikan fungsi Negara sebagai 1. keamanan eksternal, 2. ketertiban internal, 3. keadilan, 4. kesejahteraan umum, dan 5. kebebasan.

Pada sudut pandang sistem pemerintahan kerajaan, tentu saja kekuasaan penuh di tangan raja. Itu sebabnya, seorang raja berhak mengambil keputusan dalam berbagai perkara dan bersifat benar. Pada masa Musa pun, sistem kemutlakan raja juga dijalankan oleh Raja Mesir yang sering dijuluki sebagai Firaun. Bahkan Firaun sendiri menjadikan dirinya sebagai Tuhan yang memiliki kebenaran dan keputusannya adalah wajib untuk dijalankan. Namun demikian, sistem kerajaan ini pada akhirnya menjadi ke dalam tiga sistem golongan, yaitu sistem kerajaan mutlak, konstitusional, dan parlemen.

Pada Sistem Kerajaan Mutlak (Monarki Mutlak), seluruh kekuasaan Negara berada di tangan raja. Seperti yang telah disebutkan, pada sistem ini kekuasaan raja adalah tunggal, tidak terbatas, dan mutlak. Sehingga segala urusan dan kebijaksanaan raja adalah undang-undang bagi rakyatnya. Hal ini sebelumnya telah ada pada masa Musa yang dimana Firaun menjadikan dirinya sebagai Tuhan karena keputusannya yang wajib dilaksanakan oleh rakyatnya. Hal serupa terjadi pada pemerintahan Jepang, dimana Jinmu yang sebagai Kaisar pertama kemudian menjadikannya sebagai kekuasaan mutlak. Itu sebabnya, Jepang menganggap Jinmu sebagai Kaisarnya yang pertama dari keturunan dewa dan dijadikannya pula Jinmu sebagai dewanya.

Berbeda dengan Monarki Mutlak, pada Sistem Kerajaan Konstitusional (Monarki Konstitusional) menawarkan konsep lainnya, yaitu dengan membatasi kekuasaan raja sesuai dengan konstitusi atau undang-undang Negara. Hal ini tentu saja mengarah pada sistem tatanan Negara pada dasarnya. Hanya saja, jika kepala Negara dapat digantikan pada keturunan yang berbeda, tidak bagi sistem kerajaan yang digantikan berdasarkan keturunannya.

Pada sistem yang ketiga, yaitu Sistem Kerajaan Parlemen (Monarki Parlemen), raja dijadikan sebagai lambang Negara, dimana seluruh sistem kerajaan diatur dan dijalankan oleh parlemen atau para mentri. Sedang raja sendiri tidak memiliki kesalahan apapun. Dan jika ditemukan kesalahan dalam kebijaksanaannya, yang sebagai penanggung jawab tentu saja para mentrinya.

Islam, semasa kenabian dan kerasulan Muhammad menjadikan sebuah Negara yang bersatu. Bahkan setelah kematiannya, Islam masih dalam satu kekuasaan di bawah kekuasaan Khalifah yang merupakan sahabat Nabi. Namun demikian, perpecahan di dalamnya terjadi ketika pada masa Khalifah Ali, dimana Muawiyah dengan tegas mengundurkan diri dan menyatakan keluar dari kekhalifahan Ali dan mendirikan negaranya sendiri. Inilah sebuah cikal bakal terjadinya Negara kerajaan yang terus terjadi hingga menjadikan Khalifah sebagai perlambangan dalam Islam.

Bani Umayyah yang sebelumnya menginginkan balas dendam atas kematian Utsman, pada akhirnya menjadikan negaranya sebagai Negara yang merdeka dari kekuasaan Khalifah Ali. Namun demikian, pada masa Khalifah Hasan bin Ali, kekhalifahan dikembalikan pada satu pemegang kekuasaan yaitu Muawiyah. Namun demikian, dalam menjalankan fungsi kekhalifahan, Muawiyah yang kemudian diteruskan oleh Yazid bin Muawiyah berangsur-angsur menjadikan Negara islam terpecah belah. Keadaan sangat terasa saat memasuki masa kekhalifahan Bani Abassiah dan Mamluk. Dan lebih parahnya lagi, pada masa Bani Mamluk inilah, Khalifah hanya digunakan tidak lebih dari sekedar gelar untuk menjalankan misi keagamaan dan bukan pemerintahan4.

3. Kepala Negara

Khalifah sendiri sebenarnya adalah seorang Kepala Negara yang menguasai dan memimpin daerah jajahan Islam dan perluasannya yang kemudian disebut Al Khilafah. Menurut H. Sulaiman Rasjid, Al Khilafah adalah suatu susunan pemerintahan yang diatur menurut ajaran agama Islam berikut perihal politik dan ketatanegaraan5.

Dalam menjalankan Al Khilafah, terdapat beberapa pokok-pokok yang harus diperhatikan, diantaranya adalah perihal kenegaraan itu sendiri dan keagamaan. Itu sebabnya, dalam memilih sebuah pemimpin, diperlukan sebuah pertimbangan-pertimbangan khusus. Hal ini dikarenakan beban yang dibawa oleh pemimpin tersebut berhubungan langsung dengan rakyatnya. Terlebih lagi pada urusan agama (terutama Islam).

Berikut adalah syarat-syarat menjadi seorang pemimpin dalam konsep keislaman.

  1. Berpengetahuan luas; hal ini sudah tentu sangat diperlukan lantaran menghadapi konsisi Negara yang bercorak keyakinan, yaitu berbeda agama maupun non agama (atheis). Selain itu, dengan memiliki pengetahuan yang luas, akan mempermudah jalur Islam dalam berbagai kawasan. Itu sebab, syarat ini menjadi syarat mutlak sebelum menjalankan sistem kepemerintahan

  2. Adil; sudah tentu hal ini sangt dibutuhkan dalam menengahi suatu perkara Negara. Terlebih lagi dalam urusan keagamaan. Andai dalam menjalankan pemerintahannya, seorang pemimpin tidak berlaku adil, maka tidak luput rakyatnya akan segera menggulingkannya dan terlebih tidak dapat kembali dipercaya atas keputusannya yang tidak berimbang.

  3. Kifayah; bertanggung jawab, teguh, kuat, dan cakap dalam menjalankan pemerintahan, memajukan dan membela Negara dan agama (Islam).

  4. Sejahtera; ketika menjadi Kepala Negara, segala persoalan akan segera dihadapi, itu sebabnya, ketika menjadi Kepala Negara hendaknya menjadi seorang yang sejahtera dalam urusan batin dan jasmaninya. Sehingga tidak mudah bagi musuh untuk menjatuhkannya.

Dalam sejarah Islam, Khalifah sangat penting dalam menjalankan misi keagamaan. Itu sebab, dalam memilih Khalifah, tidak diperkenankan bagi mereka memiliki niatan yang mampu menjadikan berat sebelah. Itu sebabnya, pada masa setelah Nabi Muhammad wafat, banyak ahli kitab dan para sahabat kemudian menjadikan Kabilah Quraisy (yang telah menjadi Islam) sebagai kaum yang pantas dalam menduduki sebagai Khalifah. Hal ini dikarenakan Kabilah Quraisy dinilai lebih tegas, berani, kuat, dan kuat pendirian. Namun demikian, banyak ahli kitab menafsirkan berbeda, Khalifah tidak sebatas pada Kabilah Quraisy dan keturunannya saja, tapi juga diperkenankan bagi mereka yang memiliki kepribadian tersebut di atas.

Selain hal yang disebutkan sebelumnya, Islam telah menentukan beberapa kewajiban bagi Khalifah dalam mengatur urusan kenegaraan yang erat hubungannya dengan rakyat dan agama.6

  1. Membela dan menghidupkan agama, menjalankan nas-nas yang disepakati serta memberi keleluasaan, kebebasan kepada rakyat dalam masalah yang bersangkutan dengan amal masing-masing, baik dalam ilmu pengetahuan maupun yang bersangkutan dengan pekerjaan, baik berupah ibadah atau berupa urusan penghidupan. Adapun yang bersangkutan dengan pemerintahan, seperti politik Negara, keamanan, dan hukum pengadilan, maka keputusannya hendak dimusyawarahkan dengan Ahlul Halli wal ‘Aqdi7.

  2. Mengatur masalah pengadilan.

  3. Menjaga keamanan umum agar penghidupan segenap umat manusia terjamin dengan aman tentram.

  4. Selalu bermusyawarah dengan wakil-wakil rakyat dalam mengambil keputusan yang dianggap ragu yang berhubungan dengan masalah kenegaraan, termasuk di dalamnya tentang perang dan politik luar negeri.

  5. Mengatur penjagaan batas-batas negeri dengan sekuat-kuatnya, sehingga merupakan kekuatan yang dapat menolak segala kemungkinan dari serangan musuh yang akan menggangu keamanan atau ketentraman dalam negeri.

  6. Jihad; berani dalam hal berperang terhadap musuh yang dianggap melewati batas-batas Islam.

  7. Mengatur kemakmuran menurut apa yang diizinkan oleh Islam dalam hal lalu lintas harta, perniagaan, perdagangan, pertanian, dan sebagainya.

  8. Memberikan pekerjaan dan kekuasaan kepada yang lebih mengerti dalam urusannya masing-masing menurut kecakapan dan keikhlasan orang yang dipercayakan, serta diberi keleluasaan mengatur dan bertindak dalam batasan keagamaan dan pemerintahan; dalam hal ini bisa berupa perwakilannya kepada staf maupun mentri-mentrinya.

  9. Mengamati dan mengawasi segala bentuk persoalan yang telah diserahkan kepada wakil-wakilnya maupun keadaan rakyatnya; tidak mementingkan kepentingan pribadi dan melupakan kepentingan rakyatnya.

4. Pengadilan

Dalam susunan suatu kenegaraan, tentu tidak luput dari masalah hukum, sedang Islam sendiri juga memiliki hukumnya tersendiri. Namun demikian, meski Khalifah menduduki Negara-negara Islam, Khalifah sendiri telah berdiri diantara beberapa kelompok yang bukan Islam. Hal ini pun terjadi pada keadaan Nabi Muhammad setelah memasiki Madinah, dimana Nabi Muhammad segera mengeluarkan perjanjian bersama Yahudi guna saling menjaga (meski pada akhirnya Yahudi menghianati perjanjian tersebut).

Islam sendiri dalam memutuskan suatu perkara, seperti saat Khalifah menempati kondisi yang membutuhkan sebuah jawaban dari permasalahan, maka diadakannya sebuah musyawarah guna mencari sebuah jawaban. Sedang dalam musyawarah tersebut, sebuah pimpinan sangat dibutuhkan sebagai penengah. Tentu saja hal ini sangat sulit dicapai dalam pengambilan suatu keputusan jika seorang pemimpin diantara pemusyawarah tersebut tidak dapat berlaku adil. Hal inilah kemudian yang menjadikan syarat wajib bagi siapa pun dan dimana pun dalam mengambil suatu kebijakan.

Dalam Islam, hukum diartikan sebagai sistem yang difungsikan guna memisahkan suatu perkara dan atau mendamaikan diantara dua atau lebih faham yang berselisih secara adil.

Dan hendaklah kamu mengadili perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu turuti hawa nafsu mereka. Dan waspadalah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak menyesatkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Alah kepadamu. Jika mereka tidak mengindahkan (keputusan yang telah diturunkan Allah) kepadamu, maka ketahuilah bahwa Allah bermaksud hendak menjatuji hukuman (di dunia ini) juga terhadap sebagian dosa-dosa mereka, (sebelum di akhirat kelak). Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (QS. Al Maidah: 49)


Sesungguhnya Allah telah menyuruhmu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. Dan bila kamu menetapkan hukum antar manusia, maka penetapan hukummu itu hendaklah adil. (Bahwa dengan itu) allah telah memberi pengajaran sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar dan melihat. (QS. An Nisaa’: 58)

Islam sendiri mengenalkan hukumnya yang terdiri dari beberapa tahapan, diantaranya meliputi wajib, sunnat, haram, makruh, dan mubah. Sedang dalam mengambil keputusan dalam hukum-hukum tersbut, Islam diwajibkan untuk melalui jalan Allah, yaitu dengan melihat kembali Al Quran, Hadis, Ijma’ Mujtahidin8, dan Qias9. Sedang beberapa ulama menambahkan dengan penguatnya melalui Istihsan10, Istidlal11, ‘Urf12, dan Istishab13. Berikut adalah penjelasan dari dasar hukum dalam Islam

Wajib, yaitu perintah yang harus dilakukan; jika perintah tersebut dilakukan, maka yang melakukannya akan mendapatkan pahala, sedang yang meninggalknannya akan mendapatkan dosa.

Sunnat, yaitu anjuran; jika perintah tersebut dilakukan, maka yang melakukannya akan mendapatkan pahala, sedang yang meninggalkannya pun tidak mengapa.

Haram, yaitu larangan; haram ini adalah kebalikan dari hukum wajib, dimana jika seseorang telah melakukannya, maka akan mendapatkan dosa, sedan yang meninggalkannya akan mendapatkan pahala.

Mubah, yaitu boleh; dalam hukum ini tidak diperkenalkan pahala dan dosa, sifatnya adalah memperbolehkan dan tidak melarang. Sedang bagi yang mengerjakan, tidak berdosa dan tidak pula mendapatkan pahala, sebaliknya demikian, jika meninggalkan tidak pula berdosa dan tidak mendapatkan pahala.

Dalam menentukan sebuah hukum dalam perkara, tidak mudah meski telah mengambil beberapa dalil dalam Al Quran dan Hadis. Hal ini dikarenakan banyak hukum-hukum yang terkandung di dalamnya tidak dikatakan secara jelas. Bersamaan dengan demikian, hukum pun kemudian dibedakan ke dalam empat macam14, yaitu:

  1. Hukum yang diambil dari nas yang tegas, yakni adanya dan yakin pula maksudnya menunjukkan kepada hukum; Hukum seperti ini tetap tidak berubah dan wajib dijalankan oleh seluruh Islam, tidak seorang pun berhak membantahnya, seperti shalat lima waktu, zakat, puasa ramadhan, haji dan syarat sah jual beli dengan rela

  2. Hukum yang diambil dari nas yang tidak yakin maksudnya terhadap hukum-hukum itu; Dalam hal seperti ini, terbukalah jalan bagi mujtahid untuk berijtihad dalam batas memahami nas itu. Para mujtahid tersebut boleh mewujudkan hukum atau menguatkan salah satu hukum dengan ijtihadnya.

  3. Hukum yang tidak ada nas, baik qat’i (pasti) maupun zanni (dugaan), tetapi pada suatu masa telah sepakat atas hukum-hukumnya; Sebuah keputusan yang diambil dari ulama yang telah menyepakati sebuah hukum dengan melihat kondisi waktu itu dan menjadikannya sebagai hukum lantaran tidak ada dalil yang pasti.

  4. Hukum yang tidak dari nas, baik qat’i ataupun zanni, dan tidak pula ada kesepakatan ulama hukum sebelum itu; Hukum-hukum seperti ini tidak tetap, melainkan selalu berubah dengan adanya melakukan penelitian kembali. Penerapan hukum seperti ini yang kemudian menjadi cercaan banyak masyarakat lantaran ingin menjadikan kesenangan pribadinya dengan mengatas namakan ketidak adaan dalil dalam kitab manapun. Sedang contoh yang sangat santer berkembang dalam Indonesia adalah penggunaan kondom, pemilihan anggota dewan (pemilu), dan larangan terhadap rokok.

Fungsi hukum-hukum tersebut adalah sangat diperlukan dalam menengahi suatu perkara. Itu sebabnya, dalam suatu perkara, hendaknya terdapat penengah. Sedang meliputi hukum yang lebih besar, masyarakat ditempatkan dalam kondisi forum atau sering disebut dengan pengadilan. Pada masa Khalifah Umar, hukum dalam peradilan sangat menekankan akan keadilan dan tidak memihak. Umar sendiri pada akhirnya mengonsep peradilannya agar dinilai adil bagi pendakwa maupun terdakwa. Perhatiakn kembali dalam pembahasan sebelumnya pada bab sebelumnya.

a. Hakim

Selain mengetahui dasar sebuah perkara, dalam menjatuhkan sebuah kebijakan dituntut bagi diantaranya untuk mempertanggung jawabkannya. Itu sebabnya, dalammemutuskan suatu perkara tersebut, pemimpin diantara mereka harus ada. Pemimpin diantara para pengambil keputusan itu kemudian disebut sebagai Hakim.

Pada dasarnya, selain berlaku adil, Hakim juga memilik beberapa syarat yang tidak dapat ditinggalkan. Dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa hakim sendiri harus mengetahui perbedaan antara hak dan batil.

Hakim-hakim itu ada tiga golongan, satu golongan akan masuk surga, dua golongan akan masuk neraka; 1. hakim yang masuk surga ialah hakim yang mengetahui hak (hukum yang sebenarnya menurut hukum Allah), dan dia menghukum dengan yang hak itu, 2. hakim yang mengetahui hak, tetapi ia menghukum dengan yang bukan hak, hakim ini akan masuk neraka, dan 3. hakim yang menghukum, sedangkan ia tidak mengetahui hukum Allah dalam perkara itu, hakim ini juga akan masuk neraka. (HR. Abu Dawud dan lainnya)15

Namun demikian, syarat-syarat lainnya yang harus dipenuhi antara lain:

  1. Islam,

  2. baligh16,

  3. berakal,

  4. merdeka,

  5. adil,

  6. lelaki17,

  7. mengerti dan memahami isi dan penjelasan Al Quran dan Hadis,

  8. mengetahui persoalan dan perselisihan pendapat mereka,

  9. pandai menjalankan hukum Islam,

  10. pendengaran dan penglihatannya cukup,dan

  11. sadar dan yang bukan lalai.

Sedang beberapa sikap dan perilaku hakim selama masa persidangan, hakim hendaknya beberapa sikap di bawah ini menjadi sebuah acuan.

  1. Bertutur sopan kepada kedua belah atau lebih pihak yang telah berselisih,

  2. tidak memutuskan perkara dalam kondisi marah18, lapar dan haus, bersedih dan terlalu bergembira, dan sakit atau lupa ingatan,

  3. tidak menerima pemberian berupa apapun dan dari siapapun kecuali dari seorang atau lebih yang sudah biasa telah memberinya sesuatu dengan tanpa imbalan dan tidak dalam sebuah perkara perselisihan,19

  4. memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk menyampaikan keluhan bagi pendakwah dan alibi bagi terdakwa,

  5. tidak memihak kepada salah satu diantara mereka dan tidak pula memihak kepada keduanya; sikapnya hendak lebih mementingkan hukum, dan

  6. perihal surat-menyurat, hendaknya menghadirkan saksi diantara yang berselisih.

Sedang dalam masa Khalifah Umar, Hakim sendiri ditekankan akan kesanggupannya dalam pengakuan akan keputusannya yang apabila salah dalam pengambilan keputusan tersebut, hakim sanggup mengakui kesalahannya.

b. Saksi

Pada dasarnya, dalam masalah hukum dan peradilan, kedatangan saksii sangat dibutuhkan, baik dari segi terdakwa maupun pendakwa. Hal ini tentu saja sebagai alibi pendukungnya yang dapat menguatkan untuk menjatuhkan terdakwa maupun membebaskan terdakwa itu sendiri.

Dalam suatu perkara persidangan, tentu saja seorang saksi tidak dapat diambil dengan seenaknya. Tentu ini akan menjadi berat bagi terdakwa apabila keduanya, yaitu antara pendakwa dan saksi sama-sama menaruh dendam kepada terdakwa. Itu sebabnya, syarat terpenting dalam menghadirkan saksi adalah seorang yang adil (tidak memihak).

Berikut adalah beberapa syarat-syarat sah yang menjadi saksi.

  1. Islam; dalam ketentuan hukum yang meliputi masalah hukum akhirat (yang melibatkan hukum Islam), sudah tentu seorang Islam adalah sangat diwajibkan.20 Hal ini ditujukan agar tidak ada kesalah pahaman antara hukum di dunia maupun di akhirat. Namun demikian, dalam urusan keduniaan, lantaran (sekarang) sudah menjadi global, syarat saksi bagi beragam lain sudah tidak dipermasalahkan (kecuali diantara kedua belah pihak dilibatkan dalam urusan agama).

  2. Balig; seorang anak di bawah umur atau anak kecil dilarang dihadirkan sebagai saksi. Tentu saja hal ini sangat berpengaruh pada kondisi si saksi yang (apabila masih anak-anak) masih tidak dapat dipercaya. Sedang ketentuan balig di sini, minimal 15 tahun.

  3. Berakal; seorang yang tidak berakal, sangat ragu dalam mengatakan hal yang sebenarnya, sedang keadaannya yang tidak berakal, tentu akan menjadikannya tidak dapat mengetahui dengan dengan jelas keadaan yang sebenarnya.

  4. Merdeka; seorang hamba sahaya tidak dapat dijadikan sebagai saksi lantaran dalam keadaan yang bukan miliknya. Namun demikian, yang dinamakan merdeka di sini bersifat umum, sedang pada zaman sekarang sudah tidak ada yang dapat dikatakan sebagai hamba sahaya (budak belian). Sedang pekerjaan yang dituntut untuk mengikuti perintah majikannya (baca; pembantu rumah tangga) bukanlah hamba sahaya.

  5. Adil; seperti yang dikatakan sebelumnya, hal ini sangat menentukan keputusan hakim dalam menyelesaikan suatu perkara, sedang adil sendiri berfungsi sebagai penengah diantara mereka yang berselisih. Seorang yang adil dalam Islam sendiri memiliki beberapa syarat yang harus diperhatikan, diantaranya adalah 1. mereka yang menjauhi segala dosa besar, dan tidak secara menerus melakukan dosa kecil, 2. baik hati, 3. baik dalam beretika (dapat dipercaya, bahkan dalam keadaan marah pun mampu mengatur emosinya), dan 4. selalu menjaga kehormatannya.

  6. Tidak sebagai musuh terdakwa dan atau yang berhubungan dengannya; hal ini juga menyangkup hubungan keluarga si saksi, jika dalam hubungannya ditemukan dalam kondisi berselisih pula dengan terdakwa, tidak layak dijadikan sebagai saksi lantaran akan memberatkan sepihak.

c. Pendakwa dan Terdakwa

Pendakwa adalah seorang yang dinilai dirugiakn oleh pihak lain yang telah melaporkan permasalahannya pada persidangan, sedang terdakwa adalah seorang atau lebih yang menerima tuduhan dari pendakwa.

Pada dasarnya, antara pendakwa dan terdakwa bukanlah merupakan diantara dua orang yang sedang dalam permasalahan benar atau bersalah, melainkan lebih tepat dalam kondisi berselisih guna menyelesaikan permasalahannya. Sedang bagaimanapun keputusan yang telah dilontarkan oleh hakim, merupakan suatu keputusan yang dinilai adil. Itu sebabnya, pada kedua penyelisih ini diharapkan untuk dapat membawakan saksi-saksinya sebagai bukti kuatnya.

Seperti kasus yang dialami oleh Nabi Yusuf, ketika sedang dihadapkan pada permasalahan benar-salah dengan Zulaikha, Nabi Yusuf sendiri adalah sebagai terdakwa, dan Zulaikha sebaliknya. Jika terdakwa memang selalu dianggap sebagai yang salah, tentu Nabi Yusuf adalah sangat bersalah, namun demikian, meski Nabi Yusuf sebagai terdakwa, pada akhirnya pun diketahui Nabi Yusuf sebagai pihak yang benar.

Pentingnya saksi dan bukti dalam persidangan bagi keduanya adalah menjadi penjembatan diantara mereka, sedang sayarat-syarat utamanya sudah dijelaskan. Hal ini dikarenakan agar tidak menjadi sangsi terhadapa hukuman yang akan dijatuhkan. Kisah Nabi Yusuf adalah salah satu diantara banyak kisah yang cenderung memihak. Hal ini lantaran kedua belah pihak tidak menghadirkan saksi dan bukti. Meski diketahui Nabi Yusuf benar, keputusan akhirnya pun tetap menyatakan Nabi Yusuf sebagai yang bersalah lantaran pendakwa (Zulaikha) adalah seorang istri dari pejabat pada masa itu.

Tentang penghadiran bukti dan saksi bagi kedua penyelisih sangat ditekankan pada masa Khalifah Umar. Namun demikian, pada masa sebelumnya sudah pernah dijelaskan perkaranya. Hanya saja, pada masa Nabi Muhammad dan Abu Bakar, penekanan sumpah kepada terdakwa adalah sudah menjadi bukti kuat dalam hal pelaporannya. Lantaran sepeninggal Nabi Muhammad, telah diketahui bahwa telah banyak pula yang kemudian berkhianat dan menjadikan sumpah sebagai jalan pintas dalam menjatuhkan pihak lainnya. Melihat hal yang demikian, Khalifah Umar kembali menekankan arti penting dari sebuah peradilan dengan menghadirkan bukati dan saksi diantara keduanya yang telah diberikan masa kepadanya. Sedang sumpah pu masih ditanggungkan kepada pendakwa.

Bagi kedua elah pihak yang sedang berselisih, dalam hukum Islam diperkenankan baginya untuk kemudian berdamai sebelum keputusan dijatuhkan maupun sudah dijatuhkan. Namun demikian, syarat menuju perdamaian tersebut tidak dapat dilakukan lantaran merasa iba atau mendapatkan tekanan dari pihak manapun. Syarat yang menjadi mutlak ini adalah jka keduanya telah bersepakat dan tidak menjadikannya sebagai yang dirugikan satu sama lainnya.

1 Lihat pula; Jamal al Din al Suyuthi dalam “Tarikh al Khulafa’”, h. 11.

2 Tim Penyusun PUSLIT IAIN Syarif Hidayatullah dalam “Pendidikan Kewargaan Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani”, h. 56-57.

3 Asosial adalah bertentangan satu sama lainnya, sedang antagonistis adalah sifat kerusuhan (dapat menuju anarkisme).

4 Pada masa pemerintahan Mamluk Bahriyah tahun 1250-1389 M; Sedang yang menjadi Khalifah adalah Musthansir, seorang dari Bani Abassiah yang dibaiat oleh Azh Zhafir Bibaris pada tahun 1260. Azh Zhafir Bibaris sendiri adalah Sultan kelima dari Bani Mamluk Bahriyah pada tahun pengangkatan 1259. Baca lagi pada bab sebelumnya.

5 H. Sulaiman Rasjid dalam “Fiqh Islam: Hukum Fiqh Islam”, h. 494.

6 H. Sulaiman Rasjid dalam “Fiqh Islam: Hukum Fiqh Islam”, h. 502-503.

7 Yang tergolong dalam golongan ulama, cerdik pandai, berpengatahuan luas, dan para pemimpin yang memiliki kedudukan dan dipercaya masyarakat, serta yang berlaku adil dalam segala keputusan (tidak memihak).

8 Sepakat ahli kitab, ulama, dan kaum cerdik pandai.

9 Menetap hukum yang tidak ada nashnya dalam Al Quran dan Hadis.

10 Pemindahan Qiyas yang pertama ke Qiyas yang lainnya dengan hukum yang lebi jelas.

11 Melalui media argumentasi yang masuk akal.

12 Ilmu pengetahuan

13 Menjalankan hukum sesuai mazhab tertentu.

14 H. Sulaiman Rasjid dalam “Fiqh Islam: Hukum Fiqh Islam”, h. 1-4.

15 Dikutip secara langsung dari H. Sulaiman Rasjid dalam “Fiqh Islam: Hukum Fiqh Islam”, h. 486.

16 Setidaknya minimal berumur lebih dari 15 tahun.

17 Tidak akan dapat kemenangan suatu kaum yang menguasakan urusan mereka kepada perempuan. (HR. Bukhari, Tirmizi, dan Nasai). Ayat ini dikutip secara langsung dari H. Sulaiman Rasjid dalam “Fiqh Islam: Hukum Fiqh Islam”, h. 487.

18 Janganlah seseorang memutuskan hukum diantara dua orang (yang bersengketa), sedang ia dalam keadaan marah (emosi). (HR. Jama’ah Ahli Hadis). Ayat ini dikutip secara langsung dari H. Sulaiman Rasjid dalam “Fiqh Islam: Hukum Fiqh Islam”, h. 488.

19 Allah mengutuk orang yang menyogok (menyuap) dan orang yang disuapnya dalam hukum. (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmizi). Ayat ini dikutip secara langsung dari H. Sulaiman Rasjid dalam “Fiqh Islam: Hukum Fiqh Islam”, h. 488.

20 Tidak diterima saksi pemeluk suatu agama terhadap yang bukan pemeluk agama mereka (Islam). (HR. Abd. Razzaq). Ayat ini dikutip secara langsung dari H. Sulaiman Rasjid dalam “Fiqh Islam: Hukum Fiqh Islam”, h. 490.

Konsepsi Tuhan dalam Islam

Konsepsi Tuhan dalam Islam



Sesungguhnya Allah tidak memandang rupa dan harta kalian, akan tetapi Dia hanya memandang hati dan amal perbuatan kalian. (HR. Muslim VIII/11)1

Hal tersebut di atas sudah selayaknya menjadi tanggung jawab masing-masing individu dalam berlomba menjalin kebaikan. Islam pun menerapkan hal demikian. Allah Swt., yang merupakan Tuhan bagi umat Islam tidak menginginkan kesempurnaan wujud maupun melimpahnya harta manusia. Hal ini disebabkan lantaran semuanya adalah kehendak Allah. Dan jika Allah menginginkan, maka dengan sekejap pun Allah dapat merubah seseorang dengan kehendaknya; baik-buruk, miskin-kaya, laki-perempuan, dan sebagainya.

Konsep ketuhanan yang ditawarkan dalam Islam berbeda dengan agama-agama besar dunia lainnya. Hal ini sudah nampak berbeda dengan sifat Tuhan sendiri yang menciptakan. Namun demikian, banyak diantara mereka yang meragukan keesaan Tuhan dalam Islam. Sedang beberapa konsep ketuhanan dalam agama lainnya adalah cenderung bukan Esa2. Dalam rukun Islam pun disebutkan sebagai rukun wajib yang pertama, yaitu dengan menyebut dua kalimat sahadat, itu menandakan pengakuan Islam akan satu Tuhan, dan Muhammad (hanya) sebagai rasul-Nya.

Jika demikian kebenarannya, layakkah sebuah agama mengadakan Tuhannya lebih dari satu? Dan jika benar demikian, diantara mereka, siapa yang lebih berkuasa?

Sebut saja Hindhu; dalam agama ini, Hindhu mengenalkan “Tuhan”nya dengan berbagai wujud dalam Dewanya. Meski mereka hanya mengakui satu Dewa Agung (Brahman), mereka masih saja memuja banyak Dewa. Itu sebab banyak kalangan menyebut Hindhu sebagai Politheisme. Hal serupa juga terjadi dalam Budha; mereka mentuhankan Budha sendiri. Padahal sudah diketahui bahwa Budha sendiri adalah manusia (yang meskipun dianggapnya sebagai manusia suci) yang sebelumnya telah beristri dan memiliki anak, dan jika benar Tuhan dapat menjalin kasih, itu menandakan Tuhan baginya adlah memiliki nafsu, sedang Tuhan sendiri tidak memiliki nafsu. Juga hal yang paling mencolok adalah konsep ketuhanan dalam Kristen yang menawarkan konsep Trinitas3. Hal ini tentu saja membuat kebingungan sendiri bagi mereka dalam membagi peran Tuhannya yang juga merupakan seorang anak bagi-Nya. Mereka mengajarkan (meski tidak secara langsung) bahwa Tuhan mereka memiliki anak melalui Maria (dalam Islam disebut Maryam) yang kemudian disebut dengan Anak Tuhan. Dan uniknya, yang telah disebutkan sebagai anak Tuhan, dianggap pula bagi mereka sebagai Tuhan. Sedang di sisi lain, jika benar Anak Tuhan tersebut dijadikan pula sebagai Tuhan mereka, tentu saja menjadi sah bagi manusia lainnya menjadi Tuhan. Hal ini tentu sudah diketahui dengan jelas bahwa Tuhan mereka ini dilahirkan dari Manusia yang sebenarnya diciptakan oleh Tuhannya. Tentu saja ini menjadi kompleksitas tersendiri bagi agama mereka dan agama yang lainnya.

Dan mereka berkata, “Tuhan yang maha pengasih itu mempunyai anak!” Sesungguhnya kamu (dengan sebab perkataanmu itu), telah memperbuat kemungkaran besar. Hampir saja langit menjadi runtuh, bumi terbelah dan gunung-gunung berguguran porak poranda. Karena mereka mendakwakan ‘Tuhan yang maha pengasih mempunyai anak’ itu. Padahal tidak seyogyanya bila Tuhan yang maha pengasih mempunyai anak. (QS. Maryam: 88-92)


Bahwasanya, maha tinggi kebesaran Tuhan kami, Dia tidak beristri dan tidak pula beranak. (QS. Al Jin: 3)4

Berbeda dengan Islam, Tuhan hanya satu, kekal dan tiada kematian bagi-Nya. Hal ini tentu saja sudah sangat jelas bagi manusia awam yang mengakui akan kekuasaan tunggal. Namun demikian, Tuhan dalam Islam ini pun kemudian sulit diterima oleh manusia awam. Hal ini dikarenakan mereka yang tidak dapat melihat langsung wujud Allah Swt, Tuhan dalam Islam. Sudah menjadi kebenaran bagi-Nya bahwa memang sifat-Nya yang tidak berwujud dan dapat mewujudkan, yaitu tidak diciptakan namun dapat menciptakan. Itu sebabnya dalam Islam, Allah Swt. ada dan tidak dapat ditiadakan5.

Allah, tidak ada Tuhan hanya Dia. Yang maha hidup dan maha penata. (QS. Ali ‘Imran: 2)


Allah, tidak ada Tuhan hanya Dia. Yang maha hidup dan maha penata, yang tidak pernah mengantuk dan tidak pernah tidur. Segala yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Siapakah yang dapat memberikan pembelaan di hadapan Tuhan tanpa izin-Nya? Dia mengetahui apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi, sedang mereka tidak ada yang mengetahui sedikitpun seperti ilmu Tuhan itu, kecuali apa yang dikehendaki-Nya. Kekuasaan-Nya meliputi langit dan bumi. Dan dia tidak merasa berat memelihara keduanya. Dia maha tinggi dan besar. (QS. Al Baqarah: 255)

Dalam sifat-Nya yang maha hidup inilah kemudian Allah menciptakan berbagai zat yang kemudian ditugasinya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Beberapa diantara zat tersebut adalah Malaikat, Setan, Jin, Manusia, dan beberapa diantaranya yaitu Ruang Angkasa, Langit, dan Bumi itu sendiri beserta isi-isinya. Namun meski hal ini sudah menjadi benar hukumnya, banyak diantara mereka yang enggan mengakui kebenaran keberadaan Allah Swt.

(Tantanglah mereka) dengan mengatakan, “Coba terangkan kepadaku, andaikata Allah menjadikan malam itu untukmu berkepanjangan (tanpa adanya siang) smapi hari kiamat, Tuhan manakah selain daripada Allah yang mampu mendatangkan cahaya siang? Apakah kalian tidak pernah mendengar (bahwa Allahlah yang kuasa berbuat demikian)?” Lalu (tantang pulalah) dengan mengatakan (sebaliknya), “Coba (pula) terangkan kepadaku, andaikata Allah menjadikan siang itu untuk kalian berketerusan sampai hari kiamat, Tuhan manakah selain daripada Allah yang sanggup mendatangkan malam, pada mana kalian dapat beristirahat? Apakah hal itu tidak kalian perhatikan?” (QS. Al Qashash: 71-72)

Berikut adalah dalil-dalil perihal kekuasaan Allah akan penciptaan zat-zat yang lainnya.

Ingatlah, ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: “Sesungguhnya Aku akan mengangkat Adam menjadi khalifah di muka bumi.” Para Malaikat bertanya: “Mengapa Engkau hendak menempatkan di permukaan bumi orang yang akan membuat bencana dan menumpahkan darah, sedang kami senantiasa bertasbih memuji dan menyucikan-Mu?” Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa-apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al Baqarah: 30)


Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, setelah mana kami perintahkan kepada Malaikat, “Sujudlah kalian kepada Adam!” Merekapun bersujud kecuali Iblis. Dia tidak termasuk (dalam golongan) mereka yang bersujud. (Allah) berfirman, “Apakah keberatanmu untuk bersujud (kepada Adam) ketika Aku menyuruhmu?” (Iblis) menjawab, “Saya lebih baik daripadanya, Engkau menciptakan saya dari api, sedang dia Engkau ciptakan dari tanah!” (QS. Al A’raaf: 11-12)


Dia menciptakanmu dari ‘satu diri’, lalu dijadikan-Nya istrinya daripadanya juga. Dan Dia menurunkan untukmu delapan ekor binatang ternak6 yang telah berpasangan. Dia menciptakanmu di dalam rahim ibumu, cipta demi cipta dalam tiga selubung gelap7. Itulah Allah! Tuhanmu yang mempunyai kekuasaan mutlak Tidak ada Tuhan selain Dia. Mengapa kamu dapat juga dipalingkan? (QS. Az Zumar: 6)8


Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa9 lalu Dia bersemayam di atas arasy.10 Ditutup-Nya malam dengan siang yang mengiringi (peredaran) dengan cepat. Dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan, dan bintang-bintang. Masing-masing tunduk di bawah pengaturan-Nya. Ingatlah bahwa mencipta dan menata adalah wewenang Tuhan. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam. (QS. Al A’raaf: 54)


Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan segala yang ada diantara keduanya dalam enam rangkaian masa, lalu Dia bertahta di atas Singgasana (Kekuasaan). Tiada pelindung, tiada pula pembela bagimu kecuali Dia. Apakah kamu tidak dapat menarik suatu pelajaran (daripadanya)?Dia mengatur segala urusan dari langit ke bumi, lalu semua urusan (dunia) naik kepada-Nya dalam jangka waktu 1000 tahun menurut ukuranmu.11 (QS. As Sajdah: 4-5)


Dia menciptakan langit tanpa penopang sebagaimana engkau lihat. Dia pun memancangkan gunung-gunung (sebagai pengaman dan penyeimbang) di permukaan bumi ini agar kamu tidak mengalami bahaya, lalu dikembangkan biakkannya bermacam-macam jenis makhluk bergerak dan diturunkan-Nya hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan di muka bumi ini segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik. (QS. Luqman: 10)


Dia menancapkan gunung-gunung yang menjulang tinggi di atasnya (sebagai pengaman dan penyeimbang), serta diberi-Nya berkah12, lalu diatur-Nya pula pengadaan bahan pangan penghuninya pada (penghujung) empat rangkaian waktu, sesuai dengan keperluan (penghuni-penghuni) yang membutuhkannya. Selanjutnya13 Dia menuju penciptaan langit, ketika itu masih merupakan gas seperti asap. Lalu Tuhan berfirman kepadanya dan kepada bumi sekaligus, “Datanglah kalian keduanya menjelma, baik dengan jalan patuh maupun dengan jalan paksa!” Keduanya menjawab, “Kami segera menjelma dengan patuh.” Lalu diselesaikan-Nya penciptaannya menjadi tujuh langit dalam dua rangkaian waktu (pula). Kepada setiap langit diwahyukan tentang jalan (perkembangan) masing-masing selanjutnya. Pada langit yang terdekat, Kami hiasi dengan Bintang-bintang Siarat14 yang merupakan lentera-lentera kawal-sambang15 yang berkelip-kelip. Demikianlah penataan Yang maha kuasa dan mengetahui. (QS. Fush Shilat: 10-12)16

Begitulah kuasa Allah akan penciptaan alam semesta ini, bukan hanya tentang penciptaan dalam wujud manusia saja melainkan mencakup seluruh yang pernah ditemukan manusia dalam wujud maupun yang belum diketemukan, dari yang besar hingga tidak tampak oleh mata. Selain dari kekuasaan tersebut, banyak sifat-sifat Allah yang patut diketahui. Sifat-sifat yang hingga mencapai 99 sifat ini kemudian dikenal dengan Asmaul Husna. Dengan mengenal sifat Allah Swt., maka sudah selayaknyalah manusia tidak mudah untuk mengatakan dirinya sebagai Tuhan dan mentuhankan yang lainnya. Karena selain tidak dapat disamakan dengan sifat mulia Allah, mereka (yang mengaku sebagai Tuhan dan yang dituhankan) juga merupakan ciptaan Allah itu sendiri. Berikut adalah sifat-sifat Allah Swt.

Katakanlah, “Dia adalah Tuhan Allah yang maha esa. Tuhan Allah tempat meminta. Dia tidak beranak, dan tidak pula dilahirkan sebagai anak. Dan tiada sesuatu apapun yang ada persamaannya dengan Dia.” (QS. Al Ikhlas: 1-4)


Allah mempunyai asmaul husna (nama-nama yang Agung). Bermohonlah (kepada-Nya) dengan nama-nama-Nya yang Agung itu. Biarkan sajalah orang-orang yang menyelewengkan nama Allah itu. (Biar) mereka nanti mendapat balsan menurut imbangan perbuatannya. (QS. Al A’raaf: 180)17

Asmaul husna secara harfiah ialah nama-nama, sebutan, gelar Allah yang baik dan agung sesuai dengan sifat-sifat-Nya. Nama-nama Allah yang agung dan mulia itu merupakan suatu kesatuan yang menyatu dalam kebesaran dan kehebatan milik Allah. Dalam agama Islam, asmaul husna adalah nama-nama Allah yang indah dan baik. Asma berarti nama dan husna berarti yang baik atau yang indah jadi Asmaul Husna adalah nama nama milik Allah yang baik lagi indah.


1 Dikutip secara langsung dari Ibrahim bin Fathi bin Abd Al Muqtadir dalam “Wanita Berjilbab vs Wanita Pesolek”, h. 251.

2 Dzat tunggal; tidak diciptakan dan dimatikan, tidak beranak dan dianakkan, tidak beristri dan diperistri, tidak berkelamin, dsb.

3 Allah (Bapa), Maria (Bunda), dan Yesus (Anak Allah). Dalam konsep Kristen, Yesus (yang merupakan anak Allah atau anak Tuhan) merupakan Tuhan pula bagi mereka.

4 Lihat pula; QS. Al Isra: 111.

5 Bandingkan dengan konsep Kristen yang menganggap Yesus sebagai Tuhannya dan telah mengalami kematian baginya; Islam tidak menawarkan kematian bagi Tuhannya, Allah Swt.

6 Kambing dan domba, jumlah masing-masing dari jenis hewan ternak tersebut adalah dua ekor, begitu pula pasangannya. Perhatikan perhitungannya; 2 ekor pejantan kambing & 2 ekor betina kambing = 4 ekor kambing dan 2 ekor pejantan domba & 2 ekor betina domba = 4 ekor domba, sehingga total dari keseluruhannya adalah 8 ekor hewan ternak. Lihat pula; QS. Al An’aam ayat 143.

7 Tiga lapisan kandungan meliputi 1. lapisan luar, yaitu selaput perut (peritoneum/perimetrium); 2. lapisan tengah yang tebal, yaitu lapisan otot-otot dan jaringan penigkat (myometrium); dan 3. lapisan dalam, yaitu lapisan selaput lender (endometrium). Lihat pula; Dr. S.A. Goelam dalam “Ilmu kebidanan; Jilid I”, h. 33.

8 Lihat pula; QS. At Taghabun: 14, Al Insaan: 1-3, Yunus: 34, dan Al Hajj:5-6.

9 Dalam “Terjemahan & Tafsir Alqur’an Huruf Arab & Latin” mencoba menyebutkan dengan hitungan 1 hari Tuhan = 1000 tahun bagi manusia. Sedang bilangan ‘1000’ adalah bukan sebuah bilangan yang pasti, Bilangan tersebut hanya disesuaikan dengan perhitungan manusia yang diambil dari kebiasaan orang Arab (pada waktu itu) dalam menunjukkan lamanya waktu. Sedang ‘masa’ yang ditentukan oleh Allah Swt. adalah sesuai dengan kehendak-Nya (tidak dapat diungkapkan selama apa dalam ‘masa’ bagi Allah –dalam hitungan hari-Nya).

10 Tuhan yang menciptakan langit dan bumi. Tuhan pula yang menguasai dan mengatur segala peredaran benda-benda angkasa itu. Hanya Tuhan yang mengetahui dimana Arasy itu berada.

11 Sesuai dengan ukuran (kebiasaan dalam mengukur lama) orang Arab pada waktu itu. Sedang surat ini sendiri diturunkan di Mekah.

12 Tanah pertanian, sungai, dan hasil alam lainnya.

13 Adalah tidak dapat diartikan sebagai penciptaan yang kedua (tapi penciptaan bumi ‘didahulukan’ lantaran dalam ayat ini menekankan perihal penciptaan akan bumi, sedang mana yang terlebih dahulu diciptakan adalah kuasa Allah saja yang mengetahuinya).

14 Planet-planet yang ada dalam susunan ruang angkasa (misalnya merkurius, mars, venus, dan sebagainya).

15 Satelit-satelit yang mengitari matahari, Bintang, Bulan, dan Planet-planet lainnya yang dapat memancarkan cahaya untuk bumi dari matahari itu sendiri.

16 Lihat pula; QS. Yunus 5-6.

17 Lihat pula; QS. Al Isra: 110 dan Thaha: 8.

Sang Nabi

Peradaban Nabi Dunia



A. Sang Nabi

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, manusia telah memiliki akal sejak lahirnya. Dan manusia bukan dari kebangsaan lainnya sepertia apa yang telah dipahami beberapa orang. Teori yang memojokkan orang tentang persamaannya akan makhluk lain (yaitu hewan) telah menjerumuskan ke dalam berbagai golongan. Meski begitu, dengan adanya teori yang diyakini telah dibawa oleh keluarga Darwin pun telah menyemangati banyak filusuf untuk mengembangkannya. Bukankah nabi juga memiliki teori-teori yang “tidak masuk akal”?

Begitulah sekiranya yang sering diungkapkan oleh para filusuf yang tidak mengakui adanya kekuasaan Tuhan. Jika para filusuf memberikan penghormatan khusus bagi Descrates dengan teorinya “aku ada maka aku ada”, maka Darwin juga mendapatkan penghormatan akan teorinya tentang “biara alam”.

Dari kesemuanya itu, teori-teori tersebut ternyata difungsikan sebagai penolakan atas ajaran-ajaran keagamaan. Itu sebabnya, mereka menolak adanya keesaan Tuhan. Di lain pihak, teori yang telah membanggakan evolusi alam telah membutakan manusia akan kehadiran “manusia suci” yang telah mengajarkan tentang kebenaran.

Teori evolusi, yang kemudian (sebagian orang) dianggap sebagai ajaran agama Darwinisme telah dibantah oleh beberapa peneliti yang akhirnya menggugurkan teori kealamannya. Namun bagi nabi, banyak yang masih mempertentangkan kebenaran dan keabsahannya. Itu sebab, manusia perlu mengetahui tentang sejarah perkembangan mereka. Berikut akan membahas sepenggal ringkasan cerita tentang para manusia (Nabi) dan ajaran keagamaannya.


B. Manusia Pilihan

Dalam kehidupan beragama, sudah menjadi kewajiban tersendiri untuk menyediakan tiga unsur pendukungnya, yaitu nabi, kitab suci, dan Tuhan itu sendiri. Namun demikian, yang menjadi manusia pilihan dalam meluruskan ajaran ketuhanan bukanlah sembaran orang. Mereka selain memberikan banyak contoh kebaikan, juga mengajarkan bagaimana cara menjalankan hidup ini dengan penuh kebenaran.

Manusia, yang dikenal dimulai sejak zaman Adam ini kemudian terpecah ke dalam berbagai wilayah di bumi ini. Dan diantara mereka, terpilih manusia yang mendapatkan rahmat dari Tuhan dan mengajarkan ajaran Tuhannya.

Berikut adalah manusia-manusia pilihan yang mengajarkan kebijakan dan kebajikan yang di torehkan dalam masing-masing kitab sucinya.

1. Wisnu

Ajaran agama yang mendasari adanya Wisnu adalah Hindhu. Wisnu dipercaya sebagai wujud Dewa yang melindungi dan memelihara Brahman (Sang Pencipta). Wisnu juga dipandang sebagai roh suci dan Dewa tertinggi. Namun, Wisnu bukanlah sebagai manusia pertama seperti yang disebutkan dalam Islam, Adam, atau bahkan sebagai Tuhannya. Hindu sendiri mempercayai adanya manusia pertama yang bernama Manu. Hal ini dipercaya akan sejarah nenek moyangnya akan peristiwa legenda banjir besar seperti yang disebutkan dalam Satapatha Brahmana. Di sini diceritakan:

Pada pagi hari mereka membawa air untuk mandi kepada Manu (nenek moyang umat manusia dan pemberi hukum yang pertama)…Ketika ia sedang mandi sendirian, seekor ikan (Wisnu dalam penjelmaannya sebagai Matsya) muncul di tangannya.

Ikan tersebut berkata kepadanya, ‘Peliharalah aku, aku akan menyelamatkanmu!’ ‘Dari apa engkau akan menyelamatkan aku?’ ‘Suatu banjir akan memusnahkan semua makhluk: dan aku akan menyelamatkanmu!’ ‘Bagaimana saya memeliharamu?’ ”

Ikan tersebut memberi petunjuk kepada Manu cara memelihara dia. “Lalu ikan tersebut berkata, ‘Pada tahun sekian banjir akan melanda. Lalu engkau datang kepadaku (sesuai nasihatku) dengan mempersiapkan sebuah perahu; dan apabila banjir tiba engkau harus masuk ke dalam perahu itu, dan aku akan menyelamatkan engkau.’ ”

Manu mengikuti petunjuk ikan tersebut, dan pada waktu banjir sang ikan menarik perahu itu ke gunung sebelah utara. Kemudian ia berkata, ‘Aku telah menyelamatkanmu. Tambatkanlah perahu ke sebuah pohon; tetapi jangan sampai air menghanyutkanmu pada waktu engkau ada di atas gunung. Bila air surut, engkau boleh turun perlahan-lahan!”1

Ajaran Hindu sendiri berasal dari sekelompok bangsa Aria yang kemudian menyetuh lembah Indus dan India. Dari sana, mereka (suku bangsa Aria) mengajarkan secara turun temurun tentang ajaran nenek moyangnya. Perlu diingat, meski Hindhu memiliki banyak Dewa yang dipercayai, namun Hindu bukanlah agama monotheisme. Hindu percaya bahwa hanya satu Tuhan yang Esa. Dan Tuhan inilah yang mengatur seluruh Dewa-dewanya. Dan sebagai Dewa yang tertinggi, dalam ajaran Hindu yang kemudian berkembang, telah mengenalkan wujud Wisnu yang terus berubah-ubah. Sebagai Dewanya yang telah menjelma sebagai manusia, Wisnu lebih dikenal dengan sebutan manusia unggul.

Konsep ketuhanan yang ditawarkan dalam ajaran Hindu adalah bersifat kekal, imanen, tak terbatas, tak berawal dan tak berakhir juga menguasai segala bentuk, ruang, waktu, energi serta jagat raya dan segala isi yang ada didalamnya. Dan sifat-sifat ini dimiliki oleh Brahman (Dewanagari) yang dipercayai sebagai penguasa tertinggi dalam konsep ketuhanan Hindu. Dalam kitab Bhagavad Gītā dan dijabarkan melalui perantara Sri Kresna,

Beliau memiliki tangan, kaki, mata, kepala, dan muka yang berada dimana-mana, dan Beliau memiliki telinga di segala penjuru. Ia berada dalam segala sesuatu dan meliputi alam semesta,

Beliau sumber asli segala indria, namun tanpa memiliki indria. Beliau tidak terikat, walau Beliau memelihara semua makhluk. Beliau melampaui sifat-sifat alam, dan pada waktu yang sama Beliau adalah penguasa semua sifat alam material,

Beliau berada di luar dan di dalam segala insan, tidak bergerak namun senantiasa bergerak, Beliau di luar daya pemahaman indria material. Beliau amat jauh, namun juga begitu dekat kepada semua makhluk,

Walaupun Beliau terbagi di antara insani, namun Beliau tidak dapat dibagi. Beliau mantap sebagai Yang Maha Tunggal. Beliau pemelihara segala makhluk, dan Beliau menciptakan sekaligus memusnahkan mereka,

Beliau adalah sumber dari segala benda yang bercahaya. Baliau di luar kegelapan alam dan tidak terwujud. Beliau adalah pengetahuan dan tujuan pengetahuan. Beliau bersemayam di dalam hati sanubari segala makhluk.2

Itu sebabnya, Wisnu sebagai roh suci yang melindungi dan memelihara ciptaan Brahman (Tuhan yang Esa), pada tugasnya berwujud selain sebagai Dewa itu sendiri juga sebagai hewan maupun manusia. Dalam Veda, Wisnu muncul tidak sebagai salah satu dari delapan Aditya, namun sebagai pemimpin mereka. Karena mampu melangkah di tiga alam, maka Wisnu dikenal sebagai “Tri-wikrama” atau “Uru-krama” untuk langkahnya yang lebar. Langkah pertamanya di bumi, langkah keduanya di langit, dan langkah ketiganya di dunia yang tidak bisa dilihat oleh manusia, yaitu di surga. Dan dalam kitab Purana, Dewa Wisnu sering muncul dan menjelma sebagai seorang Awatara, seperti misalnya Rama dan Kresna, yang muncul dalam Itihāsa. Dalam penitisannya tersebut, Wisnu berperan sebagai manusia unggul.

Awatara dalam Purana adalah Wisnu yang turun ke dunia untuk menyelamatkan dunia dari kejahatan dan kehancuran. Wujud dari penjelmaan Wisnu tersebut beragam, hewan atau manusia yang umum dikenal oleh umat Hindu berjumlah sepuluh yang disebut Dasa Awatara atau Maha Avatār. Berikut kesepuluh Awatara Wisnu:

  1. Matsya (Sang Ikan)
  2. Kurma (Sang Kuar-kura)
  3. Waraha (Sang Babi Hutan)
  4. Narasimha (Sang Manusia-Singa)
  5. Wamana (Orang Cebol)
  6. Parasurama (Sang Brahmana-Ksathriya)
  7. Rama (Sang Pangeran)
  8. Kresna (Sang Pengembala)
  9. Budha (Sang Pemuka Agama)
  10. Kalki (Sang Penghancur/Petunjuk Yang Maha Agung)

Di antara sepuluh awatara tersebut, sembilan di antaranya diyakini sudah menjelma dan pernah turun ke dunia oleh umat Hindu, sedangkan awatara terakhir (Kalki) masih menunggu hari lahirnya.

Keyakinan akan kesembilan Awatara ini telah diturunkan adalah dimulainya Wisnu dalam wujud ikan (Matsya). Dan hal ini dapat dilihat seperti yang dikutipkan dari Satapatha Brahmana sebelumnya. Sedang Awatara ke sembilan, di sana telah disebutkan Budha Awatara sebagai penjelmaan Wisnu sebagai manusia (selain Wamana hingga Kresna). Budha Awatara diyakini sebagai Sang Pemuka Agama. Dan hal ini mengingatkan akan kelahiran Budha yang sebagai manusia suci Budha dalam menyampaikan ajaran-ajarannya. Dan jika Budha dipercaya sebagai Awatara yang selanjutnya, mengapa Hindhu tidak mengikuti jejak Budha dengan ajarannya yang baru? Perhatikan pula dalam ajaran Budha yang juga akan dibahas.

Seperti yang disebutkan, Awatara yang kesepuluh diyakini Hindhu masih ditunggu. Mungkin itu sebab Hindhu tidak dapat mengikuti Budha dengan ajaran-ajarannya. Namun demikian, bagaimana jika Wisnu telah datang dan menjelam di Bumi ini? Apakah Hindu akan hilang dan berbondong-bondong mengikuti Wisnu dalam wujudnya sebagai Awatara yang kesepuluh, Kalky Awatara?


2. Musa

Nabi orang Yahudi, Nabi Musa, diperkirakan terkenal pada abad ke-13 SM, bersamaan dengan masa Ramses II dan dianggap pimpinan perpindahan besar-besaran bangsa Israel dari Mesir. Musa wafat pada tahun 1237 SM. Pada masa hidupnya, seperti dijelaskan dalam kitab Keluaran, ada kelompok orang Yahudi yang menentangnya. Akan tetapi, tidak kurang dari lima abad lamanya, Musa dipuja-puja oleh orang Yahudi. Mendekati tahun 500 M, kemasyuran dan nama baiknya menyebar luas ke seluruh Eropa bersamaan dengan agama Nasrani. Meski Musa dipercaya sebagai pembawa agama bagi Yahudi, tapi Musa sendiri bukan orang Yahudi, tapi dilahirkan sebagai orang Mesir. Nama Musa sendiri berarti “anak” atau “anak lelaki”.

Pada umumnya, ada tiga prestasi besar yang dihubungkan dengan tindakan Musa. Pertama, dia dianggap tokoh politik yang memimpin bangsa Yahudi melakukan perpindahan besar-besaran dari Mesir. Dalam hal ini, jelas memang dia layak mendapatkan penghargaan itu. Kedua, dia berhasil sebagai penulis jilid pertama dari lima buku Alkitab (Genesis, Exodus, Leviticus, Numbers, dan Deuteronomy), yang sering dikaitkan dengan “Lima Buku Musa” dan menyusun Taurat Yahudi. Buku ini termasuk kitab Musa, serangkaian hukum yang menjadi dasar tingkah laku kaum Yahudi dalam Alkitab, termasuk dalam “Sepuluh Perintah Allah”. Ketiga, Musa sebagai penegak monoteisme Yahudi. Meskipun masih diragukan (karena menurut Perjanjian Lama, Abraham (Ibrahim) adalah penegak monoteisme pertama), monoteisme Yahudi akan sirna tanpa Musa dan tidak perlu dipermasalahkan lagi.

Sepuluh Perintah untuk Ibadah dan Tingkah Laku menurut (yang diproduksi ulang sebagian besar) “Pencarian Manusia Akan Allah”:

      • “Jangan ada padamu Allah lain selain aku.

      • “Jangan membuat bagimu patung, atau yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau di bumi di bawah, atau di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya…

      • “Jangan engkau bersumpah palsu demi nama Tuhan Allahmu…

      • “Ingatlah hari Sabat (Kiamat) dan peliharalah suci. …Tuhan memberkati hari Sabat dan menyucikannya.

      • “Hormatilah ayah dan ibumu…

      • “Jangan membunuh.

      • “Jangan berzinah.

      • “Jangan mencuri.

      • “Jangan bersaksi dusta terhadap sesamamu.

      • “Jangan mengingini rumah sesamamu… istri… hamba laki-laki atau perempuan… lembu atau keledainya, atau apapun milik sesamamu. – Keluaran 20: 3 -17.


3. Zoroaster (+ 628 SM)

Zoroasterisme adalah suatu agama yang tergabung dalam kelompok agama non-Semitik, Arya, dan non-Vedic, berbeda dengan agama Hindu. Ia merupakan agama yang dibawa oleh seorang nabi. Zoroasterisme merupakan agama kuno di Persia yang telah berusia 2500 tahun yang memiliki kitab-kitab suci, kitab Dasatir dan kitab Avesta. Ajaran keagamaan ini didirikan oleh “Nabi”-nya, Zoroaster.

Kitab Dasatir terbagi ke dalam “Khurdadasatir” atau “Kalan Dasatir”. Sedangkan kitab Awesta bisa terbagi lagi ke dalam “Kurdha Awesta” atau “Kalan Awesta”, atau “The Maha Awesta” atau “Zendth Awesta”. Nama lain dari agama Zoroaster ini adalah Parisisme. Zoroaster, seorang Nabi pendiri agama Parsisme ini ternyata juga seorang penulis Gathas, yang bagian tertua dari Avesta sendiri.

Zoroaster (Zarathustra dalam sebutan Iran Kuno) sepertinya dilahirkan kira-kira pada tahun 628 SM di daerah yang masih termasuk Iran Utara. Menurut kisah tradisional Iran, Zoroaster hidup hingga umur 77 tahun; kematiannya dengan begitu diperkirakan terjadi pada tahun 551 SM. Ketika sesudah dewasa, dia mengkhotbahkan agama baru yang disusunnya sendiri. Pada awalnya, dia mendapatkan pertentangan, tetapi pada usia menginjak 40 tahun sudah mampu menarik penguasa di daerah utara Iran, Raja Vishtaspa.

Teologi Zoroaster merupakan campuran menarik antar monoteisme dan dualisme. Dalam ajaran Zoroaster, konsep monoteisme dikenalkan dengan adanya hanya ada satu Tuhan sejati yang disebut Ahura Mazda (dalam sebutan Iran modern: Ormudz). Ahura Mazda (Tuhan yang bijaksana) menganjurkan kejujuran dan kebenaran. Sedang dalam konsep dualismenya, penganut Zoroaster selain mempercayai kekuasaan Ahura Mazada, juga percaya pada Angra Mainyu (dalam istilah Persia modern: Ahriman) sebagai roh jahat yang mencerminkan kejahatan dan kepalsuan. Dalam dunia nyata, ini perlambang pertentangan abadi antara kekuatan Ahura Mazda (Tuhan) di satu pihak dan Angra Mainyu (Iblis atau Setan). Penganut Zoroaster percaya bahwa dalam jangka panjang kekuatan Ahura Mazda akan keluar sebagai pemenang. Teologi mereka juga termasuk keyakinan penuh adanya hidup sesudah kematian.

Dalam masalah-masalah etika, agama Zoroaster menekankan arti kejujuran dan kebenaran. Ascetisme (hidup membiara, membujang), zina, ditentang keras. Penganut Zoroaster melaksanakan berbagai ritual ibadah agama yang menarik, beberapa diantaranya dipusatkan pada pemujaan terhadap api. Misalnya, api suci senantiasa dibiarkan berkobar dalam kuil Zoroaster. Namun, yang paling nyata dalam ibadah mereka adalah cara melenyapkan jenazah, bukan dikubur atau dibakar, melainkan diletakkan di atas menara dibiarkan habis dimakan burung pemakan bangkai. (Perhatikan tentang adat upacara pemakaman Hindu kuno ketika tidak memiliki cukup biaya untuk membakarnya, mereka meleburkan ke sungai hingga menjadi bangkai yang kemudian juga dibiarkan dimakan oleh burung pemakan bangkai).

Zoroaster banyak memberikan pengaruhnya kepada agama lain seperti Yudaisme dan Nasrani yang lebih besar daripada Manichaeisme, agama yang didirikan Mani. Yaitu ajaran tentang pertentangan antara roh baik dan roh jahat. Dan sesuai dengan ajaran bangsa Aria, yang telah meluas hingga daratan India ini ternyata telah mendapatkan pembaruan dari Zoroaster


4. Vardhamana Mahavira

Agama yang dibawa dengan lambang swastika India kuno ini didirikan pada abad keenam SM oleh pangeran India yang kaya bernama Vardhamana Mahavira (gelar yang berarti “Orang Besar” atau “Pahlawan yang Besar”).

Vardhamana, yang memiliki nama Nataputta Vardhamana ini dilahirkan sekitar tahun 599 SM di India sebelah timur laut di daerah yang sama dengan Budha Gautama dilahirkan walaupun satu generasi lebih awal. Anehnya, kehidupan kedua orang itu banyak persamaannya yang menarik. Jika Gautama dibesarkan dalam kemewahan, maka Vardhamana adalah anak bungsu dari seorang pemimpin. Tetapi pada umur tiga puluh tahun, dia menjauhkan kekayaan, keluarga (istri dan anak perempuan), lingkungan yang nyaman, dan memutuskan mencari kebenaran dan kepuasan spiritual.

Vardhamana menjadi seorang pendeta aliran Parsvanatha yang meskipun kecil, tetapi aturannya sangat keras. Dia hidup dengan menyangkal diri dan bertapa. Dia benar-benar meninggalkan semuanya, bahkan sebuah cangkir untuk minum saja dia tidak punya. Meskipun pada awalnya dia memakai baju, tetapi kemudian dia menanggalkannya (telanjang bulat) dan membiarkan badannya dirayapi serangga walaupun digigitnya.

Dia mencari pengetahuan “melewati desa-desa dan dataran-dataran rendah di India Tengah dalam upaya mencari kelepasan dari siklus kelahiran, kematian, dan kelahiran kembali”. Dia percaya bahwa keselamatan jiwa hanya dapat diperoleh melalui penyangkalan diri dan disiplin diri yang ekstrem dan penerapan Ahimsa secara ketat, yaitu tidak melakukan kekerasan terhadap semua makhluk. Jain menegaskan bahwa Ahimsa termasuk sikap tanpa kekerasan terhadap binatang dan manusia. Akibat dari kepercayaan ini, mereka menjadi “vegetarian”. Namun, penganut yang taat pada agama Jain ini melakukan lebih ekstrem: sangat harfiah; walaupun lapar, tidak akan mau makan di tempat gelap. Mereka takut kalau makan di tempat yang gelap akan memakan lalat, dan berarti telah membunuhnya. Bahkan agama Jain sering menyuruh orang lain untuk membersihkan pekarangan dan jalan-jalan agar tidak terjadi pembunuhan pada serangga yang baik secara sengaja maupun tidak.

Dalam beberapa hal doktrin Mahavira sangat mirip dengan ajaran Budha dan Hindu. Kaum Jain percaya bahwa apabila jasad manusia mati, jiwanya tidaklah mati bersama jasad, tetapi beralih (inkarnasi) ke badan lain (tidak harus manusia). Doktrin perpindahan jiwa ini adalah salah satu dasar pemikiran paham Jainis. Jainisme juga percaya pada karma, doktrin tentang etika konsekuensi dari suatu perbuatan akan menimpanya pula di masa depan. Untuk mengurangi bertambahnya beban dosa dari suatu jiwa, yakni menyucikannya, merupakan tujuan utama dari ajaran agama Jain.

Dan sebagai perjalanannya, hanya perlu diingat bahwa Jain lahir di tengah-tengah peradaban Hindu. Hanya sasja Mahavira telah melakukan perubahan seperti apa yang telah dilakukan oleh Budha. Itu sebabnya, ajaran-ajaran yang diterapkan, hampir tidak ada perbedaannya. Dan jika ingin membenarkan adanya ajaran ini, bukankah baiknya mengenal Hindu terlebih dahulu? (Lihat perkembangannya hingga Budha-Islam).


5. Siddartha “Budha” Gautama

Nama asli Budha ini adalah Siddartha Gautama, Putra Raja Kapilavastu (Suddhodana) dan Ratu Mahamaya, kerajaan Sakya, negeri timur laut India, berbatasan dengan Nepal. Gautama dilahirkan pada tahun 563 SM ini dalam istana mewah. Pada umurnya yang ke enam belas tahun, Pangeran Sidharta menikah dengan sepupunya yang sebaya dan memiliki anak pertama pada umur sekitar 29 tahun. Meski Gautama hidup dalam lingkungan kerajaan yang penuh kemewahan, Gautama merasa tidak nyaman dan tidak puas sehingga Gautama meninggalkan kehidupannya setelah tidak lama putra pertamanya dilahirkan. Gautama menyadari bahwasanya banyak orang hidup miskin terkapar di jalan-jalan dan terus menerus menderita. Bahkan untuk makan saja mereka tidak mampu. Sedangkan pada kalangan atas, mereka sering frustasi dan tidak bahagia. Gautama berpikir, bahwasanya keadaan yang seperti ini harus segera dirubah.

Keunikan yang terjadi dalam diri Gautama sudah diketahui semenjak sebelum kelahirannya atau jauh sebelum sang Ibu melahirkan. Saat itu sang Ibu, Ratu Mahamaya menghadiri acara perayaan Asalha yang dilangsungkan selama tujuh hari. Dan setelah acara tersebut selesai, Ratu Mahamaya akhirnya membersihkan diri dengan air wewangian dan mengucap janji Uposotha.

Setelah mengucapkan janji dan selesai membersihkan diri tersebut, Ratu Mahamaya masuk ke dalam kamar tidur. Dalam tidurnya, Ratu Mahamaya menemui mimpi yang luar biasa, ditemui oleh empat Dewa Agung yang kemudian mengajaknya dengan menganggkat Ratu Mahamaya ke Himava (Gunung Himalaya) dan meletakkannya di bawah pohon Sala di lereng Manosilata.

Setelah tidak berapa lama Ratu Mahamaya akhirnya dimandikan di danau Anotata dengan diberinya wewangian pada tubuhnya yang digosok oleh keempat Dewa Agung tersebut. Setelah acara pemandian selesai, Ratu Mahamaya diberikan pakaian yang biasa dikenakan oleh Dewata dan segera menggiringnya ke dalam Istana Emas.

Setelah memasuki Istana Emas, Ratu Mahamaya direbahkan di atas kamar yang sangat indah, melebihi kamar yang dimilikinya dalam istananya. Tidak lama kemudian, seekor gajah putih dengan membawa sekuntum bunga teratai di belalainya mendatangi kamar yang di tempati Ratu Mahamaya. Gajah putih tersebut kemudian mengelilingi tempat tidur yang direbahi Ratu Mahamaya sebanyak tiga kali. Dan setelah itu, gajahputih tersebut memasuki perut Ratu Mahamaya.

Sebuah kejadian yang jarang terjadi bagi manusia kala itu, Ratu Mahamaya kemudian menceritakan mimpinya tersebut kepada Raja. Tidak lama setelah mendengarkan penjelasan istrinya, Raja Suddhodana mengundang para Brahmana untuk dapat mengartikan mimpi tersebut.

Dalam penjelasan mimpinya tersebut, Ratu Mahamaya akan mendapatkan seorang keturunan yang kelak menjadi seorang Cakkavati (Rajanya Raja) atau seorang Budha. Dan sejak itu Ratu Mahamaya dinyatakan telah hamil. Dan setelah menginjak bulan kesepuluh, Ratu Mahamaya memohon kepada suaminya untuk diberikan izin bersalin di rumah Ibunya di Devadaha.

Bulan Waisak, tepat setelah Raja Suddhodana memberikan izinnya, Ratu Mahamaya kemudian melakukan perjalanan. Di tengah perjalanannya, di Taman Lumbini (sekarang Rumminde di Pejwar Nepal), Ratu Mahamaya mengumumkan untuk beristirahat sejenak. Dalam taman tersebut, Ratu Mahamaya bersantai sejenak hingga menuju pohon Sala yang kemudian perut Ratu Mahamaya merasa kesakitan.

Tepat pada bulan purnama sidhi, bulan Waisak di bawah pohon Sala tahun + 563 SM (ada yang menyebutkan 623 SM; –tepatnya sekitaran abad ke-6 SM), seorang laki-laki dilahirkan oleh Ibunya dengan keadaan bukan terlentang (kondisi melahirkan, ibunya dalam posisi berdiri). Laki-laki itu kemudian dikenal sebagai Siddartha “Budha” Gautama.

Singkat sejarah, setelah kelahiran Gautama, seorang perta Asita (yang telah diberi petunjuk oleh Dewa atas kelahiran Budha) mendatangi kediaman Raja Kapilavastu untuk dapat bertemu dengan seorang bayi laki-laki titisan Dewa tersebut. Setelah bertemu, pertapa tersebut menaruh hormat dan menjelaskan kepada Raja Kapilavastu bahwa kelah Gautama akan menjadi seorang Budha. Itu sebabnya, pertapa tersebut memberikan amanah kepada Raja Kapilavastu untuk menjaga Gautama muda akan empat perkara, diantaranya adalah orang tua, orang sakit, orang mati, dan pertapa suci. Dan jika Gautama sampai bertemu dengan keempat peristiwa (orang tersebut), maka Gautama akan segera meninggalkan istana dan menuju ke pertapaan menuju Budha.

Meski Raja Suddhodana telah menyerukan amanah pertapa Asita tersebut (untuk menghindarkan Gautama akan keempat kejadian), pada akhirnya Gautama menemui kejadian tersebut. Melihat kejadian tersebut, seperti yang diramalkan pertapa asita tersebut, gautama akhirnya memilih jalannya menuju penerangan dengan harapan Gautama menemukan obat agar manusia tidak tua, sakit, dan mati seperti yang terjadi (terutama kematian ibunya, Ratu Mahamaya setelah tujuh hari kelahiran Gautama) dan kembali terjadi pada ayahnya yang dicintainya dan rakyatnya dikemudian hari.

Sesaat setelah meninggalkan kerajaan Kapilavastu, Gautama yang awalnya disertai oleh pengawalnya, Channa pada kahirnya melepaskan seluruh kemewahan kerajaan (termasuk perhiasan dan kuda yang ditunggangi) setelah melewati perbatasan sungai Anoma. Dan setelah itu, Gautama hanya berbekal jubah luar dan dalam, kain bawahan, ikat pinggang, mangkuk makanan, pisau, jarum, dan saringan air yang telah diberikan oleh Brahma Chatikara, kemudian melanjutkan perjalanannya sendiri (saat itu Gautama baru berusia 29 tahun).

Dalam perjalanannya, Sidharta menuntut ilmu pada orang-orang bijak pada saat itu dan menyimpulkan ajaran-ajaran mereka yang beranggapan bahwa bertapa dan puasa adalah jalan menuju kearifan. Akhirnya dia sadar, bahwa penyiksaan diri adalah mengaburkan pikiran dan bukan menuntun pada kebenaran sejati.

Dalam perenungannya (di bawah pohon bodhi), Gautama yang pada saat itu berusia 35 tahun telah menemukan titik persoalan pada manusia. Dan pada saat itulah, dia memulai memberanikan menyebut dirinya Budha atau “orang yang diberi pencerahan”. Pokok ajaran Budha dapat diringkas di dalam apa yang menurut istilah penganutnya “Empat Kebajikan Kebenaran”. Pertama, kehidupan manusia itu pada dasarnya tidak bahagia; kedua, sebab-sebab ketidak bahagiaan ini adalah memikirkan kepentingan diri sendiri serta terbelenggu oleh nafsu; ketiga, pemikiran kepentingan diri sendiri dan nafsu dapat ditekan habis jika segala nafsu dan hasrat dapat ditiadakan, dalam ajaran Budha disebut Nirvana (padam atau punah); keempat, menimbang benar, berpikir benar, mengingat benar, berbicara benar, berbuat benar, mencari nafkah benar, berusaha benar, dan bermeditasi benar.

Selain hal itu, konsep yang di tawarkan dalam ajaran Budha adalah konsep Ketuhanan Yang Mahaesa. Ketuhanan Yang Mahaesa dalam bahasa Pali adalah Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang yang artinya “Suatu yang tidak dilahirkan, tidak dijelmakan, tidak diciptakan dan yang mutlak”. Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi (asamkhata) maka manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.

Berikut adalah pernyataan dari Sang Budha yang terdapat dalam Sutta Pitaka, Udana VIII: 3,

Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.3

Dengan membaca konsep Ketuhanan Yang Mahaesa ini, kita dapat melihat bahwa konsep ketuhanan dalam agama Budha adalah berlainan dengan konsep ketuhanan yang diyakini oleh manusia belakangan ini yang menganggap Budha adalah sebagai Tuhannya.

Seperti yang diketahui, agama Budha lahir di negara India, lebih tepatnya lagi di wilayah Nepal sekarang, sebagai reaksi terhadap agama Brahmanisme. Agama Budha berkembang dengan unsur kebudayaan India, ditambah dengan unsur-unsur kebudayaan Helenistik (Yunani), Asia Tengah, Asia Timur dan Asia Tenggara. Dalam proses perkembangannya, agama ini praktis telah menyentuh hampir seluruh benua Asia dan telah menjadi agama mayoritas di beberapa negara Asia seperti Thailand, Singapura, Kamboja, Myanmar, Taiwan, dan sebagainya. Pada tahun 399 M, ajaran Budha sampai ke negara Tiongkok yang dibawa oleh seorang bhiksu bernama Fa Hsien. Masyarakat Tiongkok mendapat pengaruhnya dari Tibet disesuaikan dengan tuntutan dan nilai lokal.

Setiap aliran Budha berpegang kepada Tripitaka sebagai rujukan utama karena dalamnya tercatat sabda dan ajaran sang hyang Budha Gautama. Pengikut-pengikutnya kemudian mencatat dan mengklasifikasikan ajarannya dalam 3 buku yaitu Sutta Piaka (kotbah-kotbah Sang Budha), Vinaya Piaka (peraturan atau tata tertib para bhikkhu) dan Abhidhamma Piaka (ajaran hukum metafisika dan psikologi).

Ajaran Budha sendiri terbagi menjadi tiga aliran; Budha Theravada, Budha Mahayana: Zen, dan Budha Vajrayana.

1. Budha Theravada

Aliran Theravada adalah aliran yang memiliki sekolah Budha tertua yang sampai kini menyebar hingga Sri Langka, wilayah Asia Tenggara (sebagian dari Tiongkok bagian barat daya, Kamboja, Laos, Myanmar, Malaysia, Indonesia, dan Thailand) dan juga sebagian Vietnam.

Istilah Theravada muncul sebagai salah satu aliran agama Budha dalam Dipavamsa dan Mahavamsa. Dipavamsa adalah catatan awal sejarah Sri Lanka pada abad ke-4 M, dan Mahavamsa adalah sebuah catatan sejarah penting yang berasal dari abad ke-5. Dalam Dipavamsa dan Mahavamsa, Theravada merupakan wujud lain dari salah satu aliran agama Budha terdahulu, Sthaviravada (dalam bahasa Sanskerta: Ajaran Para Sesepuh), sebuah aliran Budha awal yang terbentuk pada Sidang Agung Sangha ke-2 (443 SM). Dan juga merupakan wujud dari aliran Vibhajjavada yang berarti Ajaran Analisis (Doctrine of Analysis) atau Agama Akal Budi (Religion of Reason).

Theravada diambil dari bahasa Pali yang terdiri dari dua kata yaitu thera dan vada. Thera berarti sesepuh khususnya sesepuh terdahulu, dan vada berarti perkataan atau ajaran. Jadi Theravada berarti Ajaran Para Sesepuh.

Sejarah Theravada tidak lepas dari sejarah diadakan Sidang Agung Sangha (Sangha Samaya). Sidang ini diadakan pada tahun 543 SM (3 bulan setelah bulan Mei) yang berlangsung selama 2 bulan dipimpin oleh Y.A. Maha Kassapa dan dihadiri oleh 500 orang Bhikhu yang semuanya Arahat. Sidang ini diadakan di Goa Satapani di kota Rajagaha dengan didukung Raja Ajatasatu. Sidang ini didirikan dengan tujuan untuk menghimpun ajaran Sang Budha yang diajarkan kepada orang yang berlainan, di tempat yang berlainan dan dalam waktu yang berlainan dengan mengulang Dhamma dan Vinaya agar ajaran Sang Budha tetap murni dan kuat. Dalam siding ini, Y. A. Upali dipercaya untuk mengulang ajaran Vinaya sedangkan Y. A. Ananda mengulang Dhamma.

Setelah mengalami perkembangan dalam beberapa periode, ternyata dalam ajaran Budha menemukan perbedaan pendapat tentang ajaran Vinaya. Oleh sebab itu, agama Budha akhirnya menggelar Sidang Agung Sangha yang kedua pada tahun 443 SM. Pada Sidang Agung Sangha yang kedua inilah awal terbaginya ajaran Budhisme menjadi dua. Di satu sisi kelompok menginginkan perubahan di beberapa peraturan minor dalam Vinaya, dan di sisi lain mempertahankan Vinaya apa adanya. Setelah tidak ada kesepakatan diantara keduanya, kelompok yang menginginkan adanya perubahan dalam Vinaya akhirnya memisahkan diri yang kemudian dikenal dengan “Mahasanghika” (yang merupakan cikal bakal Mahayana). Sedangkan yang masih menginginkan untuk tetap mempertahankan Vinaya disebut “Sthaviravada”.

Dengan adanya dua aliran yang menyebar dalam masyarakat (antara Mahasanghika dan Sthaviravada), Sidang Agung Sangha ketiga pun dilaksanakan kembali pada 313 SM untuk menetapkan bahwa tidak akan ada perubahan terhadap Vinaya. Dalam sidang ini, kelompok Mahasanghika tidak mau mengikutinya, sehingga hanya diikuti oleh kelompok Sthaviravada. Setelah menemukan kata kesepakatan, Moggaliputta Tissa sebagai pimpinan sidang akhirnya menyelesaikan buku Kathavatthu yang berisi tentang penyimpangan-penyimpangan dari aliran lain. Saat itu pula Abhidhamma dimasukkan. Setelah itu ajaran-ajaran ini di tulis dan disahkan oleh sidang. Kemudian Y. M. Mahinda (putra Raja Asoka) membawa Tipitaka (Vinaya, Abhidamma, dan Sutta) ini ke Sri Lanka tanpa ada yang hilang sampai sekarang dan menyebarkan Budha Dhamma di sana. Di sana ajaran ini dikenal sebagai Theravada.

2. Budha Mahayana

Lotus Sutra merupakan rujukan sampingan penganut Budha aliran Mahayana. Tokoh Kuan Yin yang bermaksud “maha mendengar” atau nama Sansekertanya “Avalokiteśvara” merupakan tokoh Mahayana dan dipercayai telah menitis beberapa kali dalam alam manusia untuk memimpin umat manusia ke jalan kebenaran. Dia diberikan sifat-sifat keibuan seperti penyayang dan lemah lembut. Menurut sejarahnya Avalokitesvara adalah seorang lelaki murid Budha, akan tetapi setelah pengaruh Budha masuk ke Tiongkok, profil ini perlahan-lahan berubah menjadi sosok feminin dan dihubungkan dengan legenda yang ada di Tiongkok sebagai seorang dewi.

Penyembahan kepada Amitabha Budha (Amitayus) merupakan salah satu aliran utama Budha Mahayana. Surga Barat merupakan tempat tujuan umat Budha aliran Sukhavati selepas mereka meninggal dunia dengan berkat kebaktian mereka terhadap Budha Amitabha dimana mereka tidak perlu lagi mengalami proses inkarnasi dan dari sana menolong semua makhluk hidup yang masih menderita di bumi.

Mereka mempercayai mereka akan lahir semula di Surga Barat untuk menunggu saat Budha Amitabha memberikan khotbah Dhamma dan Budha Amitabha akan memimpin mereka ke tahap mencapai “Buddhi” (tahap kesempurnaan dimana kejahilan, kebencian dan ketamakan tidak ada lagi). Ia merupakan pemahaman Budha yang paling disukai oleh orang Tionghoa.

Seorang Budha bukannya dewa atau makhluk suci yang memberikan kesejahteraan. Semua Budha adalah pemimpin segala kehidupan ke arah mencapai kebebasan daripada kesengsaraan. Hasil amalan ajaran Budha inilah yang akan membawa kesejahteraan kepada pengamalnya.

Menurut Budha Gautama, kenikmatan Kesadaran Nirwana yang dicapainya di bawah pohon Bodhi, tersedia kepada semua makhluk apabila mereka dilahirkan sebagai manusia. Menekankan konsep ini, aliran Budha Mahayana khususnya merujuk kepada banyak Budha dan juga bodhisattva (makhluk yang tekad “committed” pada Kesadaran tetapi menangguhkan Nirvana mereka agar dapat membantu orang lain pada jalan itu). Dalam Tipitaka suci, intipati teks suci Budha, tidak terbilang Budha yang lalu dan hidup mereka telah disebut “spoken of”, termasuk Budha yang akan datang, Budha Maitreya .

3. Budha Vajrayana

Ajaran Vajrayana secara umum di berbagai negara lebih dikenal sebagai ajaran agama Budha Tibet.

Vajrayana adalah suatu ajaran Budha yang di Indonesia lebih sering dikenal dengan nama Tantra atau Tantrayana. Namun banyak juga istilah lain yang digunakan, seperti misalnya: mantrayana, ajaran mantra rahasia, ajaran Budha eksoterik. Vajrayana adalah merupakan ajaran yang berkembang dari ajaran Budha Mahayana, dan berbeda dalam hal praktek, bukan dalam hal filosofi.

Budhadharma atau Buddhisme mulai masuk ke Tibet sekitar abad ketujuh pada masa pemerintahan Raja Songtsen Gampo. Pada abad kedelapan, Buddhisme mulai berakar di Tibet, yaitu pada masa pemerintahan Raja Trisong Detsen. Acharya Padmasambhava dan Abbot Shantirakshita membantu Raja untuk membawa dharma ke Tibet dan menerjemahkan ajaran-ajaran Budha ke dalam bahasa Tibet. Semua ajaran dan praktek Buddhisme Tibet berasal langsung dari Budha Sakyamuni. Tidak dapat dipungkiri bahwa ajaran yang berada di Tibet mempunyai hubungan ke suatu tradisi di India. Vajrayana memiliki 4 tradisi atau silsilah, yakni: Silsilah Nyingmapa, Silsilah Sakyapa, Silsilah Kagyudpa, dan Silsilah Gelugpa.


6. Isa (+ 6 SM)

Isa dikenal oleh seluruh hamper belahan dunia, baik bersifat religius maupun non religius. Itu sebabnya Isa menjadi bahan pembicaraan (selain Muhammad). Isa sendiri dilahirkan pada abad + 6 SM di tengah-tengah bangsa Israel. Isa dipercaya sebagai Nabi bagi umat Kristiani. Tidak hanya itu, bahkan Isa dinilai sebagai “Anak Tuhan” atau bahkan “Tuhan” itu sendiri.

Pengaruh Nabi Isa terhadap sejarah kemanusiaan begitu jelas dan begitu besar. Tidak perlu diragukan lagi, Kristen, dalam perjalanan waktu, agama ini sudah memperoleh pemeluk lebih besar daripada agama lain yang manapun juga. Namun, di sisi lain, Isa bukanlah satu-satunya “Anak Tuhan” yang menyebarkan ajaran Kristen ini. Isa dinilai “dibantu” oleh Paulus.

Dalam penyebarannya, Isa hanya meletakkan dasar-dasar pokok gagasan etika kekristenan termasuk pandangan spiritual serta ide pokok mengenai tingkah laku manusia. Sedangkan teologi Kristen dibentuk dasar-dasarnya oleh Paulus.

Isa masih berusia muda ketika “wafat”, dan yang ditinggalkannya hanya sejumlah terbatas pengikut. Ketika wafatnya Isa, pengikutnya hanya terdiri dari sejumlah kecil sekte Yahudi. Baru melalui tulisan-tulisan Paulus dan kegigihan khotbahnya yang tak kenal lelah, sekte kecil itu diubah menjadi kekuatan dinamis dan merupakan gerakan yang lebih besar, yang terdiri dari orang Yahudi maupun non-Yahudi. Dari situlah tumbuh menjadi salah satu agama besar di dunia.

Isa pada dasarnya mengajarkan satu Tuhan yang Esa, namun dengan banyaknya kesalah pahaman konsepsi dan pandangan awam, ajaran Isa dinilai sebagai ajaran yang membingungkan, yaitu Isa yang sebagai nabi Kristen juga dianggap sebagai anak Tuhan. Terlebih dari itu, Isa juga dianggap sebagai Tuhan.


7. Mani (216 M)

Mani dilahirkan pada tahun 216 di Mesopotamia yang pada saat itu menjadi bagian Kekaisaran Persia di bawah kekuasaan dinasti Arsacid atau Parthian. Mani sendiri keturunan Persia dan punya hubungan dengan penguasa Arsacid. Agama yang didirikan Mani (216-276 M) merupakan campuran menarik dari berbagai macam agama yang sudah ada sebelumnya. Mani mengakui Zoroaster, Budha, dan Isa sebagai nabi sejati. Namun, dia mengaku mendapat “wahyu” yang paling akhir dari mereka semua yang telah disebut terlebih dahulu.

“Nabi” Mani dari abad ke-3 M adalah pendiri Manichaeisme, semacam “agama” yang walaupun sudah lenyap sekarang ini, pada zamannya punya banyak sekali pengikut. Dan agama ini mampu bertahan hingga ribuan tahun.

Beberapa sejarawan berpendapat bahwa ia adalah keturunan Persia. Ayah Mani yang bernama Fatik atau Pattig, berasal dari Hamadan, dan ibunya Maryam berasal dari sebuah keluarga yang tinggal di Kamsaragan, yang masih bersaudara dengan keluarga Kekaisaran Parthia. Namun demikian, nama kedua orang tuanya adalah dari bahasa Suryani.

Mani diperkirakan menguasai bahasa Persia Tengah dan bahasa Suryani sebagai bahasa ibu. Mani pertama kali mengenal religiusitas di awal masa mudanya ketika hidup bersama suatu kelompok asketik Yahudi, yaitu kelompok Elkasit. Kira-kira saat ia berusia dua puluh lima tahun, Mani mulai mempercayai bahwa 'Keselamatan' dapat diperoleh melalui pendidikan, penolakan diri, vegetarianisme, berpuasa dan menjaga kesucian diri. Ia selanjutnya menyatakan dirinya sebagai Parakletos yang dijanjikan dalam Perjanjian Baru, Nabi Terakhir atau Penutup Para Nabi, yaitu sebagai penutup dari berbagai manusia yang dibimbing oleh Tuhan, yang meliputi tokoh-tokoh seperti Seth, Nuh, Abraham, Shem, Nikotheos, Henokh, Zoroaster, Buddha, dan Yesus.

Peranan pribadi Mani dalam mendirikan hal agama baru sangat luar biasa. Dia yang mendirikannya, merancang teologi, dan menyusun aturan-aturan moralnya. Memang benar, banyak dari ide-idenya berasal dari para pemikir terdahulu, tetapi Mani-lah yang menghimpun berbagai aliran pemikiran ini menjadi sistim baru yang jelas. Menyusun organisasi keagamaan dan kitab-kitab suci.

Mani mengajarkan bahwa dunia tidaklah diperintah zat kekuasaan tunggal, melainkan bagian dari pertarungan yang terus-menerus antara dua kekuatan. Diantaranya adalah pokok-pokok kejahatan-kebaikan yang oleh Mani diidentifikasikan antara kegelapan dan benda dengan sinar terang dan jiwa.

Dalam paham Manichaeisme, kejahatan dan kebaikan dianggap pada dasarnya punya kekuatan berimbang. Konsekuensi kepercayaan ini adalah paradoks filosofis terhadap eksistensi kejahatan, yang membingungkan filsuf Kristen dan Yahudi, tetapi tidak ada masalah sama sekali dalam ajaran filosofi Manichaeisme.

Konsekuensi dari identifikasi mereka bahwa jiwa manusia itu pokok kebaikan dan tubuh manusia itu pokok kejahatan, penganut Manichaeisme percaya bahwa semua hubungan seksual (meskipun untuk tujuan keturunan) harus dijauhi. Juga ada larangan makan daging dan minum anggur.

Larangan-larangan itu tidaklah berlaku bagi anggota penganut biasa dari gereja Manichaeisme, melainkan hanya berlaku bagi sekelompok kecil orang yang disebut “Orang-orang Pilihan”. Anggota biasa yang disebut “Pendengar” diizinkan punya istri atau simpanan, boleh beranak, boleh makan daging, boleh minum anggur, dan seterusnya.

Selama Mani masih hidup, agamanya punya banyak pemeluk mulai dari India hingga Eropa. Sesudah Mani meninggal dunia, agama itu masih berlanjut penyebarannya, meluas ke barat sampai Spanyol dan ke timur sampai Cina di bagian barat: Puncak kejayaannya pada abad ke-4, yang saat itu bersaing dengan Kristen (Agustinus merupakan pemeluk agama ini selama sembilan tahun). Namun, sesudah Kristen menjadi agama resmi Romawi, Manichaeisme dihabisi dan hampir lenyap sekitar tahun 600.

Meski di Romawi ajaran Mani telah lenyap, Manicheisme mulai menyebar di daerah Asia Tengah, Turkestan, dan sebelah barat China. Bahkan pada abad ke-8, agama Mani telah menjadi agama resmi Uighurs yang membawahi sejumlah daerah barat China dan Mongolia. Di sisi lain, agama ini pun kembali lenyap di daerah Mesopotamia dan Iran dengan adanya pelenyapan yang dilakukan umat Islam yang menganggapnya sebagai ajaran sesat.

Berikut adalah perkembangan ajaran Nabi Mani (kebanyakan kawasan Eropa):

Abad 7; sebagai sekte Paulician di daerah kekaisaran Byzantium, Abad 10; sebagai sekte Bogomil di daerah Balkan, Abad 12; sebagai sekte Chatari (dapat pula disebut sebagai sekte Albigensian, yang diambil dari nama kota Albi di Prancis) di daerah selatan Perancis, dan Abad 13; daerah bagian timur China dengan menggunakan Manicheisme (dan bukan merupakan sekte lagi seperti yang tersebar di kebanyakan Eropa).

Uniknya, meski ajaran Mani telah terpecah dalam kelompok (sekte) di daerah Eropa, namun sebagian diantaranya menyatakan alirannya sebagai aliran Kristen. Itu sebabnya, aliran ini mendapat perlawanan yang serius oleh Paus Innocent III. Penyerangan yang terjadi pada tahun 1209 yang kemudian pada tahun 1244, sekte tersebut musnah keseluruhannya. Sekte yang disebut-sebut menjadi “murtad” oleh Kristen adalah sekte Albigensian.

Mani menulis tujuh kitab sucinya dalam bahasa Suryani (yaitu bahasa utama di Timur Dekat sebelum masa penaklukan Arab Islam). Arjang adalah nama kitab Mani yang paling utama. Ia disebutkan penuh dengan ilustrasi berwarna-warni, dan Mani juga dianggap sebagai pelukis yang hebat. Selama masa hidupnya, para misionaris Manikheisme aktif menyebarkan ajarannya di Mesopotamia, Persia, Palestina, Suriah, dan Mesir.

1 Dikutip secara langsung dari Watch Tower Bible and Track Society of Pennsylvania dalam “Pencarian Manusia akan Allah”, h. 120.

2 Dikutip secara langsung dari http://id.wikipedia.org/wiki/Brahman.

3 Dikutip secara langsung dari http://id.wikipedia.org/wiki/Buddhisme.