Selasa, 28 Juli 2009

PENGENALAN AGAMA PADA DUNIA

PENGENALAN AGAMA PADA DUNIA


A. Konsep Agama
Agama adalah sebuah kompas manusia menuju Ilahi. Namun, agama sering mendapatkan halangan karena kelompok ini berada dalam jalan teologi, sebuah mata rantai yang menghubungkan antara ”ada” dan ”tiada” dalam alam bawah sadar. Itu sebabnya, banyak manusia yang sulit untuk menerima adanya jalan agama. Para pemikir, atau yang sering disebut seorang filusuf, (banyak) diantara mereka yang secara terang-terangan menolak kehadiran ajaran agama yang mengenalkan sistim penyembahan terhadap zat tak terlihat ”yang bukan berupa wujud nyata”.
Filusuf-filusuf ini akhirnya melahirkan doktrin-doktrin yang merugikan ajaran agama. Dilain fihak, agama justru dinilai dilahirkan atas doktrin-doktrin tersebut. Mereka (para filusuf) beranggapan, apa yang mereka pikirkan tidak ubahnya dengan apa yang sang ”Pembawa Pesan Tuhan” uraikan kepada umat-umatnya. Hanya saja, mereka memiliki jalan yang berbeda. Jika para filusuf menyuguhkan sistim rasio, tapi sang ”Pembawa Pesan Tuhan” menyuguhkan imbalan dosa-pahala.
Pemikiran-pemikiran yang lebih mengandalkan rasio, berupa pemikiran wajar dan masuk akal adalah benar mengatakan bahwa agama tidak lain adalah rekaan manusia yang hanya menginginkan ketenaran. Sebuah ketingkatan suci-bermartabat-panutan yang menjadikannya nabi dari para pemeluknya, dianggapnya sebagai kodrat manusia yang menginginkan ”keunggulan” diantara mereka. Mungkin saja mereka telah lama dan jenuh berada dalam ruang tertutup yang tidak mendapatkan perhatian diantara sesamanya. Atau bahkan mereka hanya ingin mendapatkan jasa-jasa dalam bidang lain yang bukan berupa ilmu pengetahuan.
Disebutkan dari beberapa agama (atau kaum Atheis mengatakan sebagai kepercayaan) yang menjadi tidak asing bermula dari Musa, Isa, hingga Muhammad. Atau (mungkin) ada yang menyebutkan Adam adalah manusia pertama yang ”seharusnya” menjadi Nabi.
Pemikiran dari pemikir Atheis sangat wajar dan mendekati kebenaran. Bagaimana tidak, sebuah pendapat dan hingga kesepakatan diantara (bukan kelompok Atheis) tidak mendapatkan kesepakatan yang serasi tentang adanya zat ”yang bukan berupa wujud nyata”. Malahan, diantara mereka lebih cenderung mengutamakan agama-agamanya masing-masing dan berebut untuk menafikkan yang cenderung menjatuhkan satu sama lain.
Rene Descartes mengatakan, ”Cogito ergo sum” – ”aku berpikir, maka aku ada”. Satu pernyataan yang cukup mewakili banyak pemikir untuk beralih menuju ”tidak bertuhan”, atau diantaranya untuk lebih memilih tidak membahas Tuhan (meski mereka ada yang bertuhan dan tidak).
Pembatasan antara dua dunia, antara di bawah alam sadar/roh dan wujud dari materi sering menjadi topik hangat. Hal ini sebenarnya adalah hal yang bahkan dapat dikatakan basi jika membahasnya kembali. Namun, dari pemikiran-pemikiran ini (yang menolak tentang ketuhanan —zat ”yang bukan berupa wujud nyata”), sedikit demi sedikit akan membuka wawasan dan wacana manusia dikemudian hari tentang adanya kebenaran.
Agama, suatu kepercayaan mistis, sering pula dijadikan senjata ampuh bagi manusia untuk melakukan kejahatan. Hal ini bukan berarti mengutuk agama sebagai ”hal” yang tidak patut dipercaya, namun lebih memperhatikan manusianya dalam menanggapi dan menjalankan prosesi keagamaan tersebut.
Perlu diingat, agama sebenarnya adalah merupakan suatu kelompok atau organisasi yang membentuk sebuah format keyakinan terhadap kitab suci, sang ”Pembawa Pesan Tuhan”, dan tentunya Tuhan itu sendiri. Oleh karenanya, jika agama sudah menjadi bagian dari keegoan, maka fungsi dari agama tersebut sudah tidak berarti. Maka hal yang demikian akan sulit menentukan kepercayaan yang sebenarnya dan buatan manusia.
Dalam menyikapi hal yang demikian, David Hume membagi agama ke dalam dua keyakinan, yaitu agama rakyat dan agama natural.
Agama Rakyat: Suatu kepercayaan yang datang dari luar dirinya yang kemudian di format/di wadahi. Agama rakyat ini pada akhirnya akan menjadi sebuah kultur keagamaan gusualasis. Maka dengan kata lain, agama ini lebih merujuk kepada sebuah teologi yang dianut oleh manusia secara turun temurun dari orang tua, keluarga, masyarakat setempat, dan atau organisasi-organisasi tertentu.
Agama Natural: dapat pula disebut sebagai agama alam. Agama ini lebih merujuk kepada suatu aliran kepercayaan yang terjadi dalam potensial riligiusitas pada masing-masing individu/manusia. Konsep ini berasal dari kesadaran dan pengakuan yang muncul dalam kalbu atau hati kecil tentang kekerdilan manusia dan keagungan serta kekuasaan di luar dirinya yang supranatural. Dalam hal ini, sesuatu yang dianggapnya supranatural dapat berupa zat ”yang bukan berupa wujud nyata” yang tidak dapat dihitung secara rasio seperti yang diungkapkan oleh pemikir barat Atheis. Hal ini merujuk untuk Tuhan, Dewa, Sang Hyang Widhi, dan sebagainya
Agama, sebagai wujud aslinya adalah sebagai perjuangan teologi murni yang dimana hanya memperjuangkan kepentingan keagamaan dan menolak segala kepercayaan akan berhala, baik berupa Politheisme (menyembah banyak Tuhan/Dewa —Hindhu) maupun Monotheisme (menyembah hanya satu Tuhan). Selain itu, keagamaan difungsikan khususnya kepada kaum-kaum Atheis.
KH. Agus Miftach mengungkapkan pendapatnya bahwa agama-agama bisa saja timbul tenggelam, karena agama adalah bagian dari peradaban manusia, akan senantiasa mencari bentuk yang lebih maju. Pada dasarnya agama adalah duniawi sebagaimana ideologi sosial, tumbuh dan berkembang sesuai dengan tuntutan peradaban sejak 6500 th yang lalu hingga masa mainstream ideologi sosial dewasa ini. Suatu peradaban agama bisa saja berakhir seperti agama-agama purba dan muncul agama-agama baru yang lebih modern dan seterusnya hingga masa sekarang.
Agama sendiri, secara tidak sadar, yang hingga kini dipercayai sebagian besar orang berawal ketika Hindhu mulai menyebar ke seluruh belahan dunia. Hindhu dipercaya sebagai agama tertua yang menjadi cikal bakal maraknya agama-agama baru dunia. Hindhu sendiri menawarkan sistim Politheisme.
Hindhu, sebagai agama tertua, menawarkan lebih dari 330 juta dewa yang dipuja. Namun demikian tidak dapat dipastikan dengan jelas kapan dan dimana agama ini pertama kali muncul. Sebagian pendapat beranggapan bahwa Hindhu pertama kali muncul di tanah India, bahkan ada pula yang mengatakan di Pakistan. Tentang kapan Hindhu mulai diciptakan, juga tidak mendapatkan kesepakan bersama diantaranya, namun dalam catatan sejarah, Hindhu dapat dikatakan lahir pada sekitaran 3500 SM – 1200 SM.
Namun pendapat lain mengatakan bahwa agama tertua adalah agama Aria yang dimulai pada 4500 SM. KH. Agus Miftach pun mengelompokkan kedalam 3 golongan agama sesuai dengan peradaban zamannya, yaitu peradaban agama Aria, peradaban agama Tiongkok (3000 SM) dan peradaban agama Semit (2100 SM).
Agama yang difungsikan sebagai perjuangan teologi murni selalu mendapat ganjalan dari kaum-kaum Atheis yang beranggapan bahwa Tuhan sebenarnya tidak ada. Tidak hanya itu, mereka selalu mengait-kaitkan bahwa pengajaran teologi hanya untuk kepentingan politik saja. Itu sebabnya mereka (kaum Atheis dan filosof Yunani) menolak dengan kehadiran mereka.
Sebagai konsep dasar agama yang lainnya adalah dijadikannya agama sebagai komoditas politik. Dengan adanya pengarahan agama terhadap politik, maka agama pun terbagi menjadi dua kelompok yang berbeda, kelompok menengah-atas dan menengah-bawah, yaitu kaum elit politik-organisasi keagamaan-pribadi.
Kelompok menengah-atas, yang dikuasai kaum elit politik dan organisasi besar keagamaan, pada akhirnya menjual agamanya demi kepentingan ”tersembunyi” yang pada akhirnya menjadikan agama bukan sebagai perantara ”manusia-Tuhan” melainkan sebagai pekerjaan rutin sehari-hari seperti makan, minum, mandi, dan sebagainya. Dalam kelompok ini, tidak sedikit kasus yang membuat dunia tercengang tentang adanya doktrin pembenaran berjalan dalam agama Tuhan dalam merebut satu kekuasaan atas kelompok lain.
Sebuah kasus manipulasi agama mungkin sudah banyak didengarkan dengan terlibatnya komunitas keagamaan dengan politik seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Namun, bagaimana dengan kemajuan teknologi? Salah satu yang dianggap riskan adalah hal tersebut. Kemajauan pengetahuan, meski juga memajukan individunya, justru dinilai merugikan beberapa komunitas agama tertentu. Sebut saja beberapa kasus tersebut meliputi: program KB (Keluarga Berencana) yang membatasi banyaknya keturunan-keturunan bagi sebuah keluarga, operasi ganti kelamin bagi yang menghendaki, cloning manusia, transplatasi organ, dan sebaginya.
Agama, Nabi, dan Tuhan memang sulit untuk dijabarkan bagi mereka yang tidak mempercayainya. Mereka, bagaimanapun juga tidak akan setuju dengan kehadiran Tuhan. Sehingga menjadi sebuah tugas berat bagi kaum agamawan untuk membuktikan kebenaran-kebenarana Ilahi yang mereka peroleh dengan kepercayaan dan keyakinannya. Meski begitu, sebuah pandangan bebas akan mengotakkan agama dalam beberapa sifat yang terlekat pada kaum agamawan sendiri. Beberapa sifat-sifat tersebut dapat digolongkan menjadi:
1. Eksklusif; mengagungkan sistim kepercayaan sendiri, menonjolkan hak pribadi agamanya, menyebarkan agamanya dan selalu merasa haknya selalu terganggu oleh agama lain. Akibat yang akan diterima dari sfat ini adalah Sektarianis (semangat membela agamanya sendiri dan cenderung menyalahkan agama lain), Perang Suci (Paus Urban II), Terorisme, dan sebagainya.
2. Apologetic; mempertahankan doktrim, menunjukkan konsistensi dan menonjolkan doktrimnya, serta bagi keegoisannya sebagai individu personal. Sifat inipun pada akhirnya akan menimbulkan sikap sektarianisme dan sebainya.
3. Sinkreatik; sifat yang mengakui atas keberagaman. Hanya saja sifat ini akan menimbulkan beberapa sikap yang pada akhirnya akan menimbulkan beberapa sekte-sekte dan kepercayaan baru. Atas kejadian ini, Jepang menjadi Negara yang mengkonsumsi banyaknya agama-agama baru yang tercipta. Bahkan kini, banyak agama-agama baru yang kembali bermunculan dengan mengatas namakan ”mendapatkan wahyu dari Tuhan”.
4. Inklusif; menegaskan seperioritas kepercayaan sendiri atau menerima agama lain untuk berkembang meski (agama lain) dianggap tidak sempurna.
5. Pluralis; sebuah sifat yang berasal dari inklusif, namun lebih menuju kepada inklusif umum. Yaitu sebuah sifat yang mengakui bahwa kebenaran (agama lain) itu bermacam-macam dan bersikap positip. Sifat ini lebih membuka wawasan dan sadar bahwa tujuan dan fungsi seluruh agama adalah seiring dan tidak saling bertentangan. Saling menghormati perbedaan dan hidup damai dengan agama lain sehingga menciptakan kesolidaritasan social.
Dengan adanya sifat-sifat tersebut, maka banyak bermunculan agama-agama baru pada akhir-akhir ini. Namun, bagaimanakah sebuah agama baru tersebut bermunculan? Lantas, bagaimana pula awal dari pembentukan agama ini?

B. Awal Pembentukan Agama
Seperti yang disebutkan sebelumnya, banyak orang berpendapat bahwa Hindhu merupakan agama yang tertua. Agama Hindhu diyakini telah ada semenjak orang-orang Aria bermigrasi menuju lembah Indus yang kemudian menyebar ke dataran sungai Gangga dan melintasi India. Ajaran-ajaran yang mereka bawa merupakan ajaran masyarakat Iran.
Dalam ajaran agama Aria, diajarkan tentang adanya tuhan tertinggi yang disebut Dyaus Pytr dan Perdana Menterinya yang operasional disebut Dewa Indra. Dewa Indra adalah dewa perang yang memimpin rejim dewa-dewa. Dalam agama ini dikembangkan dikemudian hari dengan datangnya Zoroaster, yang dikenal sebagai seorang Nabi dari Iran dengan ajaran barunya, Zoroatrianisme.
Zoroaster membawa kebudayaan baru bagi kepercayaan-kepercayaan lama yang masih berbau mistis dengan cara menyembah berhala dan arwah nenek moyang. Kebudayaan yang dibawanya adalah berupa kebudayaan agraris dan kehidupan setelah kematian.
Jika Zoroaster dianggap sebagai Nabi yang pertama kali mengajarkan keagamaan dengan satu Tahun, maka tidak bagi Islam. Dalam ajaran Islam, Adam dinyatakan sebagai manusia yang pertama yang diturunkan dari surga Tuhan. Adam menjadikan alam sebagai tempatnya menjalankan sebuah rantai kehidupan dan Tuhan adalah penciptanya. Itu sebabnya, Adam pun mengakui adanya satu Tuhan.
Namun demikian, tidak diketahui dengan jelas kapan Adam diturunkan di bumi. Itu sebabnya banyak ilmuwan-ilmuwan yang mengatakan bahwa manusia berasal dari kera. Sudah jelas bahwa pendapat ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang berpendapat bahwa adamlah manusia pertama. Selain itu, sulit pula untuk menentukan kapan agama mulai diciptakan.
Meski agama Aria yang telah ada sejak 4500 SM dapat dikatakan sebagai agama pertama, namun tidak dijelaskan dengan pasti pokok ajarannya. Itu sebabnya, sesuai dengan alur penyebaran agama Aria, maka Hindhu dapat dikatakan sebagai agama pertama yang hingga kini masih memiliki banyak pengikut. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dalam penyebaran agama Aria, disebutkan bahwa bangsa Aria telah melakukan migrasi hingga ke lembah Indus dan menyebar ke dataran sungai Gangga hingga India.
Jika demikian, bagaimana dengan ajaran Adam yang menawarkan konsep ketuhanan Allah Swt sebagai satu-satunya Tuhan baginya dan umat sesudahnya. Dalam pokok ajaran Islam dijelaskan dalam Al-Quran bahwa memang Adam sebagai manusia pertama dan meyakini Allah Swt sebagai Tuhannya. Perhatikan ayat berikut ini:
Ingatlah, ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: ”Sesungguhnya Aku akan mengangkat Adam menjadi khalifah di muka bumi.” Para Malaikat bertanya: ”Mengapa Engkau hendak menempatkan di permukaan bumi orang yang akan membuat bencana dan menumpahkan darah, sedang kami senantiasa bertasbih memuji dan menyucikan-Mu?” Allah berfirman: ”Sesungguhnya Aku mengetahui apa-apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al Baqarah: 30)
Kami berfirman: Hai Adam! Diamlah di Surga ini beserta istrimu Hawa, dan makanlah makanan-makanannya sepuas hati kalian, namun janganlah kalian dekati pohon ini (pohon yang dilarang Allah Swt.), nanti kalian terbilang orang-orang yang zalim. Lalu keduanya didaya sikut oleh setan dari mengikuti perintah itu sehingga keduanya tersingkir dari tempat dimana mereka telah berada. Kami berfirman: ”Enyahlah kalian semua. Sebagian kalian menjadi musuh bagi yang lain, dan untuk kalian di Bumi itu, ada tempat kediaman dan kesenangan, sampai waktu yang ditentukan. (QS. Al Baqarah: 35-36)
Kami berfirman: ”Berangkatlah kalian semuanya dari Surga ini! Manakalah datang kepada kalian petunjuk-Ku, barangsiapa yang mengikutinya, niscaya mereka tidak akan merasa ketakutan dan dukacita. (QS. Al Baqarah: 38)
Itu sebabnya, bagaimanapun dan apapun pendapat yang telah ada, yang tidak menyebutkan ajaran Islam sebagai ajaran yang pertama, adalah tidak dapat dibenarkan. Terlebih lagi manusia dipercaya sebagai wujud evolusi manusia dari kera. Sedang di sisi lain, manusia adalah makhluk yang dilengkapi dengan kesempurnaan.
Kaum evolusionis menyatakan bahwa manusia dan era berevolusi dari nenek moyang yang sama. Mereka berusaha menunjukkan bahwa manusia dengan nilai-nilai rohani yang luhur setingkat dengan hewan. (Harun Yahya dalam ”Agama Darwinisme”, h. 71)
Sesungguhnya manusia itu telah Kami ciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (QS. At Tin: 4)
Dari kisah dalam kitab suci Al-Quran tersebut, sudah jelas bahwa manusia bukan berasal dari kera seperti apa yang disebutkan oleh Darwin dalam teori evolisinya, melainkan Allah menciptakannya lebih dari apa yang dimiliki makhluk lainnya. Dan Adam, selain menjadi manusia pertama juga telah mengamalkan seluruh ajaran Allah Swt.

C. Corak Agama & Kepercayaan
Seperti yang disebutkan sebelumnya, agama dan kepercayaan telah terbagi-bagi setelah Adam memiliki banyak keturunan. Terbaginya agama-agama (yang pada akhirnya memiliki banyak perbedaan atas Tuhannya) ini dimulai sejak terbaginya manusia ke dalam dua golongan. Antara baik dan buruk.
Sejarah buruknya sifat manusia sudah dicerminkan sejak manusia itu sendiri diciptakan pertama kali, yaitu Adam dan Hawa (lihat QS. Al Baqarah ayat 35-37). Diceritakan dalam ayat tersebut bahwa Adam dan Hawa telah mengikuti bisikan setan yang hingga akhirnya Adam dan Hawa pun mendapatkan hukuman. Lihatlah pula ayat berikut ini:
Maka kami berfirman: ”Hai Adam! Sesungguhnya iblis ini adalah musuhmu dan musuh istrimu. Karena itu, janganlah sampai dia mengeluarkan kaliand dari Surga ini, nanti kalian menderita sengsara. (QS. Thaaha: 117)
Lalu setan memperdayakan seraya berkata: ”Hai Adam! Maukah engkau kutunjukkan pohon Khuldi, dan sebuah kerajaan yang tidak akan pernah runtuh?” Lalu keduanya Adam dan Hawa memakan buah pohon itu, maka terbukalah kemaluannya, lalu keduanya menutupinya dengan daun-daun kayu Surga. Adam tidak mematuhi pesan Tuhannya, karena itu dia tersesat. (QS. Thaaha: 120-121)
Jika Adam dan Hawa telah diyakini menjadi sepasang manusia yang telah lalai dalam mengemban tugas Allah, lain lagi bagi keturunannya, Qabil dan Habil. Kisah tentang keduanya ini dipercaya sebagai peristiwa kriminalitas (pembunuhan) pertama yang terjadi dalam bumi, sehingga manusia memang telah terbagi dalam dua golongan sejak dimulainya peradaban manusia. Terlebih lagi, kasus pembunuhan yang pertama ini melibatkan saudaranya sendiri.
Ceritakanlah kepada mereka kisah yang sebenarnya tentang peristiwa dua putra adam, tepatnya Habil dan Qabil, ketika masing-masing mempersembahkan kurban. Kurban dari salah seorang diantara keduanya, tepatnya Habil, diterima, sedang dari yang lain ditolak oleh Tuhan. Qabil berkata: ”Aku pasti akan membunuhmu!” Jawab Habil: ”Sesungguhnya kurban yang akan diterima Allah ialah kurban dari orang-orang yang bertakwa. Demi (Allah) kalau kamu mengacaukan tanganmu untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan mengacaukan tanganku untuk membunuhmu. Karena aku takut kepada Allah, Tuhan semesta alam.”.... Maka meluaplah nafsu Qabil untuk membunuh saudaranya. Lalu dibunuhnya, maka jadilah ia orang yang merugi. (QS. Al Maidah: 27-30)
Seperti yang telah dibahas, manusia pada akhirnya menjadi dua (atau lebih) golongan. Sesuai dengan kodratnya, manusia telah terbagi menjadi lelaki dan wanita. Dan setelah kejadian Qabil-Habil, maka manusia kembali terbagi ke dalam golongan baik dan buruk. Itu sebabnya, peradaban yang terjadi semakin meluas dan melahirkan beberapa peradaban yang berbeda. Hal ini tidak luput akibat migrasi yang dilakukan oleh keturunan Adam-Hawa setelah beranak turun banyak. Berikut akan dijabarkan satu persatu ayat yang menyatakan rangkaian manusia akan perkembangannya dan budayanya.
Manusia dibedakan dalam dua golongan, lelaki dan wanita, yang kemudian mendapatkan keturunan:
Hai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari satu diri yaitu Adam, dan diri padanya Allah menciptakan istrinya yaitu Hawa. Dan dari keduanya Allah mengembang-biakkan banyak lelaki dan perempuan. Bertakwalah kepada Allah dimana kalian saling pinta meminta sesame kalian dengan mempergunakan nama-Nya, lagi pula peliharalah hubungan kasih sayang antara kalian. Sesungguhnya Allah itu adalah pengawas kalian. (QS. An Nisa: 1)
Manusia terbagi menjadi dua (lebih dari dua) golongan, antara yang baik dan yang buruk:
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya. Dan kami lebih dekat kepadanya dari urat nadinya. Ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya: yang seorang berada di sebelah kanan dan yang lain berada di sebelah kiri. (QS. Qaaf: 16-17)
Justru itu arahkanlah wawasanmu kepada agama yang lurus ini, sebelum datang suatu masa yang telah ditetapkan oleh Allah dan tak dapat ditolak! Pada masa itu manusia terpecah dalam dua golongan. (QS. Ar Rum: 43)
Pada hari terjadinya kiamat itu, saat itulah terpecahnya manusia menjadi dua golongan. Adapun orang-orang yang beriman dan berbuat baik, mereka berada di Taman Surga bersuka ria. Adapun orang-orang yang mengingkari keimanan pada keesaan Tuhan, serta mendustakan ayat-ayat Kami dan mendustakan hari akhir, mereka senantiasa berada di tengah-tengah siksaan. (QS. Ar Rum: 16)
Kamu menjadi tiga golongan. Golongan kanan. Bagaimana hakikatnya orang-orang golongan kanan itu? Golongan kiri. Bagaimana hakikatnya orang-orang golongan kiri itu?.... Golongan ketiga itu terdiri dari sebagian besar orang-orang purbakala (umat Nabi sebelum Nabi Muhammad) dan sebagian orang-orang yang belakangan (umat Nabi Muhammad). (QS. Al Waqiah: 7-14)
Golongan kanan. Apa golongan kanan itu? Mereka menempati Surga, yang di sana ada pohon bidara tak berduri,... Golongan kiri. Apa golongan kiri itu? Mereka disiksa dalam Neraka, dalam hembusan angina panas, dalam gelagak air mendidih,… dan selalu mengerjakan dosa besar. (QS. Al Waqiah: 27-46)
Manusia terbagi dalam berbagai golongan dalam peradaban-peradaban beraneka macam:
Hai manusia! Kami menciptakanmu dari seorang lelaki dan seorang perempuan. Lalu Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Yang teramat mulia di antaramu di sisi Allah, ialah orang yang lebih bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Mengenal. (QS. Al Hujarat: 13)
Itu sebabnya, manusia kini telah terbagi dalam kelompok-kelompoknya dan menempati daerah-daerah yang telah disediakan oleh Allah Swt. Bahkan di sisi lain, Allah juga telah menurunkan Rasulnya sesuai dengan peradaban dan kebutuhannya. Dan seandainya diantara dari manusia yang tidak mempercayainya, maka bagaimana mereka membantah perihal tersebut? Sedangkan sejarah sangat mahal dibandingkan dengan ucapan-ucapan isapan jempol belaka seperti yang diucapkan para kaum Atheis, yang hanya mengandalkan prinsip Rene Descartes, ”Cogito ergo sum” – ”Aku berpikir, maka aku ada”. Bahkan mereka tidak segan-segan mengatakan bahwa ayat yang dibawa sang Nabi adalah karangan pembawanya saja. Berikut adalah ayat-ayat yang membenarkan adanya keaslian ayat-ayat Tuhan dan para Nabi/Rasulnya dalam berbagai peradaban.
Tidaklah mungkin Al-Quran ini dibuat-buat saja oleh siapapun selain Allah. Bahkan Ia membenarkan kitab-kitab wahyu yang sebelumnya dan lebih memperjelas lagi hokum-hukum yang telah disyariatkan di dalamnya. Tidak ada keragu-raguan dalam isinya, betul-betul datangnya dari Tuhan semesta alam. (QS. Yunus: 37)
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul kepada tiap-tiap umat untuk menyampaikan seruan: ”Sembahlah Allah, dan jauhilah Thagut (selain Allah). Diantara umat itu ada yang mendapat petunjuk Allah, dan ada pula yang kukuh dalam kesesatan. Cobalah mengembaraa di persada bumi, dan perhatikanlah bagaimana akibatnya orang yang mendustakan Rasul. (QS. An Nahl: 36)
Kami tidak pernah mengutus seorang Rasulpun, kecuali dengan bahasa bangsanya sendiri, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan mudah terhadap mereka. Namun, Allah membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya, dan menunjuki orang-orang yang dikehendaki-Nya pula. Dialah yang Maha Kuasa dan Bijaksana. (QS. Ibrahim: 4)
Dengan adanya penyebaran dan perluasan daerah migrasi oleh (yang awalnya hanya dua orang saja) Adam dan Hawa menjadi sebuah kelompok menuju perkenalan peradaban dunia yang bermacam-macam.
Dari itu pulalah, banyak sekelompok manusia dari pengikut sebelum Nabi Muhammad yang awalnya sebagai pengikut di jalan Allah, kemudian menjadikan ajaran Nabinya sebagai ajaran yang terbaik (sehingga pada akhirnya menolak ajaran dari Nabi baru yang diturunkan Allah untuk meluruskan jalannya). Bahkan, tidak jarang diantara mereka ada yang menjadikan Nabinya sebagai Tuhannya.
Perihal ajaran agama yang menolak dengan adanya ajaran baru (sebagai pelurus) berawal ketika Yahudi menolak kehadirian Isa sebagai ajarannya yang telah diluruskan. Bukan hanya itu saja, bahkan pengikut Isa pun (yang tergolong dalam kelompok ajaran Nasrani) menolak adanya Muhammad sebagai Nabi selanjutnya yang meluruskan ajaran-ajaran sebelumnya.
Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab Taurat kepada Musa lalu Kami iringi sesudahnya dengan beberapa orang Rasul dan Kami berikan kepada Isa putra Maryam beberapa keterangan-keterangan mukjizat, serta Kami perkuat dia dengan roh suci. Apakah patut setiap datang kepadamu seorang Rasul membawa pelajaran yang tidak sesuai dengan keinginanmu, lalu kamu berlaku sombong? Yaitu sebagian mereka kamu dustakan seperti Isa dan Muhammad, dan sebagiannya lagi kamu bunuh seperti Zakaria dan Yahya. (QS. Al Baqarah: 87)
Orang-orang Yahudi berkata: ”Uzair itu putera Allah” dan orang-orang Nasrani berkata: ”Al-Masih itu putera Allah”. Itulah ucapan yang keluar dari mulut mereka, meniru ucapan orang-orang kafir dahulu kala. Allah mengutuki mereka. Menganggap mereka sampai mengingkari keesaan Tuhan. Mereka mentaati pendeta-pendeta dan paderi-paderinya sebagai Tuhan selain Allah, sementara orang-orang Nasrani menuhankan Al-Masih putera Maryam, Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali menyembah Tuhan yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan kecuali Dia! Maha Suci Tuhan dari apa yang mereka persekutukan. (QS. Bara-ah: 30-31)
Ada pula sebagian lagi dari kalangan ulama mereka yang memutar lidah memutarbalikkan isi Al Kitab dengan maksud supaya kamu menyangka bahwa yang dibacanya itu betul dari Al Kitab. Padahal bukan dari Allah. Begitu berani mereka memuat kebohongan terhadap Allah, padahal mereka mengetahui…. Dan tidak layak pula baginya menyuruhmu mempertuhankan Malaikat dan para Nabi. Apakah patut ia menyuruh kamu menjadi kafir, setelah kamu menganut agama Islam? (QS. Ali Imran: 78-80)
Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, yang menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyikan. Dan banyak pula yang dibiarkan. Sesungguhnya telah datang kepadamu suatu cahaya (Nur/Muhammad) dan satu Kitab yang jelas dan nyata (Al-Quran). (QS. Al Maidah: 15)
Namun, meski telah didatangkan ajaran baru yang menjadi pelurus ajaran lama, banyak diantara mereka yang menolak dan tetap pada ajaran lamanya. Seperti yang disebutkan dalam ayat-ayat sebelumnya, mereka lebih cenderung memutarbalikkan fakta dalam kitabnya. Itu sebabnya, banyak ajaran-ajaran keagamaan yang tersebar di seluruh dunia sesuai ajaran terdahulunya.

D. Awal Penyebaran Ajaran Keagamaan
Sebuah kemajuan pemikiran manusia, telah dibuktikan Adam sesaat setelah diciptakan Allah. Namun demikian, banyak diantaranya yang menyalahgunakan pemikiran mereka kepada sesuatunya yang salah setelah manusia telah mengalami perkembang biakan secara meluas. Para pemikir Yunani dianggap sebagai pahlawan yang dianggap sebagai pencetus pemikiran benar tentang kesalahan dalam ajaran keagamaan. Sehingga, bagi mereka yang tidak mengetahui (atau hanya sebagian mengetahui) dasar-dasar keagamaan akan menerima konsep baru ini yang ditawarkan para pemikir Yunani.
Para pemikir Yunani lebih senang memakai rasio ketimbang mempercayai hal-hal yang tidak berwujud. Padahal, banyak diantara mereka yang menyembah para Dewa. Di sisi lain, Dewa pun tidak berwujud.
Pemujaan Dewa bagi kaum Yunani sebenarnya tidak luput dari cerita-cerita yang terkandung dalam ajaran Hindhu. Meski demikian, mereka masih lebih senang menjatuhkan ajaran keagamaan ketimbang menjatuhkan para Dewanya.
Para pemuja Dewa Yunani nyatanya telah lupa akan sejarah yang mereka keluarkan sebelumnya. Dalam catatan sejarahnya, Dewa Yunani dilahirkan pada abad ke-8 SM oleh Hiseod dalam karyanya yang bertajuk Theogony. Ini menunjukkan bahwa konsep yang pada akhirnya dijadikan sebagai kepercayaan tersebut, jauh setelah agama Hindhu menyebar. Menurut penelitian para sejarahwan dan beberapa data yang dikumpulkan, Hindhu dapat dikatakan telah ada sejak 4500 SM. Namun, seperti sebelumnya dibahas, Hindhu bukanlah ajaran yang pertama. Sudah disebutkan tentang adanya agama Aria sejak 6500 SM.
Seperti yang diungkapkan oleh KH. Agus Miftach, peradaban agama dibagi menjadi 3 periode, yaitu Agama Aria, Tiongkok, dan Semit. Ketiga periode peradaban keagamaan ini menyuguhkan konsep yang berbeda dengan daerah dan masa yang berbeda pula. Jika konsep ajaran agama Aria dan Tiongkok lebih menuju ke ajaran Politheisme (dan Dualisme), maka agama Semit menawarkan konsep Monotheisme. (Baca selanjutnya, ”Para Nabi dan Peradabannya”)
Sebuah peradaban tidak akan ada sebelum manusia menginjakkan kakinya di tempat yang sebagai ”Negara Nabi”. Sebut saja Arab, Irak, Iran, India, China, dan Yerussalem. Di tempat-tempat inilah para Nabi mulai menyebarkan ajaran-ajaran keagamaan. Adapun migrasi yang dilakukan setelah keturunan Adam beranak pinang, mereka menuju ke beberapa titik yang dinilai sangat bersejarah bagi perkembangan agama. Daerah-daerah tersebut meliputi:
1. Timur laut; Migrasi yang dilakukan ini pada akhirnya menuju Irak dan akhirnya menuju Asia dan Amerika.
2. Utara; Jalur migrasi ke Syam yang kemudian diteruskan hingga ke Laut Tengah.
3. Selatan; Jalur migrasi ke Yaman yang kemudian diteruskan hingga ke Afrika dan India.

Negara Islam Indonesia

Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/NII)


Negara Islam Indonesia (disingkat NII) dikenal juga dengan nama Darul Islam atau DI yang berarti “Rumah Islam”. Gerakan memerdekakan diri menjadi Negara Islam ini adalah sebuah gerakan politik yang diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 (12 Sjawal 1368) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di desa Cisampah, kecamatan Ciawiligar, kawedanan Cisayong, Tasikmalaya-Jawa Barat.

Pergerakan ini dimulai dengan adanya penandatanganan persetujuan Reville pada 8 Desember 1947. Setelah penandatanganan tersebut, seluruh pasukan TNI segera meninggalkan Jawa Barat. Namun demikian, SM Kartosoewirjo beserta pasukannya (yaitu Hisbullah dan Sabilillah) tidak segera meninggalkan wilayah Jawa Barat. Dengan menempati dan menguasai Gunung Cepu, pasukan yang dipimpin oleh SM Kartosoewirjo ini kemudian dikenal dengan sebutan Tentara Islam Indonesia. Itu sebabnya, SM Kartosoewirjo kemudian menginginkan sebuah Negara yang berlandaskan Islam.

Tujuan utama dari gerakan ini adalah menjadikan Indonesia sebagai negara teokrasi dengan Islam sebagai dasar negaranya. Dalam proklamasinya disebutkan bahwa hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam, lebih jelas lagi dalam undang-undangnya dinyatakan bahwa Negaranya berdasarkan Islam dan hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan Hadits. Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk memproduk undang-undang yang berlandaskan syariat Islam, dan penolakan yang keras terhadap ideologi selain Al Quran dan Hadits Shahih, yang mereka sebut dengan “hukum kafir”.
Dalam perkembangannya, DI/NII kemudian menyebar hingga di banyak wilayah, terutama Jawa Barat (berikut dengan daerah yang berbatasan di Jawa Tengah), Sulawesi Selatan dan Aceh. Lantaran tidak sepaham dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, gerakan ini kemudian disebut sebagai pemberontakan. Namun Indonesia tidak langsung menghakimi melainkan melalui permusyawaratan terlebih dahulu. Dengan tidak adanya kesepakatan diantara keduanya, TNI kemudian melakukan penyerangan yang dimulai pada tahun 1960 yang dikenal dengan “Operasi Pagar Betis”. Dengan terpojoknya pasukan SM Kartosoewirjo, menjadikannya menyerah dan pimpinannya kemudian ditangkap TNI dan dieksekusi pada 4 Juni 1962 di Gunung Geber Jawa Barat. Dengan adanya kematian SM Kartosoewirjo tidak menjadikan mati pergerakannya dalam mendirikan Negara Islam Indonesia. Itu sebab gerakan ini masih terus bekerja meski secara diam-diam.

a. Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Amir Fatah
Dengan adanya proklamasi Negara Islam Indonesia di Jawa Barat, menjadikan Jawa Tengah yang memiliki misi yang sama bergabung dengan pasukan SM Kartosoewirjo. Pergerakan mendirikan Negara Islam Indonesia di Jawa Tengah ini dipimpin oleh Amir Fatah, seorang Komandan Laskar Hizbullah untuk wilayah Tulangan-Sidoarjo dan Mojokerto.
Penggabungan pasukannya tersebut kemudian diproklamirkan pada 23 Agustus 1949 di Pangarasan, Tegal dan mengakui bahwa SM Kartosoewirjo sebagai Imam (pimpinan pusat) mereka. Tentu saja, gerakan ini kemudian digagalkan oleh pemerintahan Indonesia. Sehingga pada tahun 1954, pemerintahan Indonesia kemudian mendirikan “Operasi Guntur” dan mampu menghentikan sikap yang dianggap sebagai separatis ini.

b. Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Kahar Muzakar
Gerakan pendirian Negara Islam Indonesia ini juga berlangsung di wilayah Timur Indonesia, yaitu Sulawesi Selatan. Pergerakan mendirikan Negara Islam Indonesia ini dipimpin oleh Kahar Muzakar. Sedang pergerakan ini dimulai ketika Kahar Muzakar beserta pasukannya yang tergabung dalam Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) tidak mendapatkan perhatian pemerintah Indonesia dalam penyampaian seluruh aspirasinya. Itu sebabnya, Kahar Muzakar kemudian mendeklarasikan Negara Islam Indonesia di bawah pimpinan SM Kartosoewirjo pada tahun 1952 lantaran lebih memperhatikan seluruh anggotanya.
Hanya saja, gerakan ini kemudian juga dapat ditumpaskan oleh pemerintahan Indonesia pada tahun 1965. Sedang dalam operasi militer Indonesia, Kahar Muzakar kemudian tewas dan menghentikan gerakan Negara Islam Indonesia di Sulawesi Selatan ini.

c. Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Daud Beureuh
Pemberontakan DI/TII di Aceh dimulai dengan adanya “Proklamasi Daud Beureuh” yang menyatakan bahwa Aceh merupakan bagian “Negara Islam Indonesia” di bawah pimpinan Imam Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada tanggal 21 September 1953.
Daued Beureueh sendiri adalah mantan Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh sewaktu agresi militer pertama Belanda pada pertengahan tahun 1947. Sebagai Gubernur Militer, Daud Beureuh berkuasa penuh atas pertahanan daerah Aceh dan menguasai seluruh aparat pemerintahan baik sipil maupun militer. Sebagai seorang tokoh ulama dan bekas Gubernur Militer, Daud Beureuh tidak sulit memperoleh pengikut. Daud Beureuh juga berhasil mempengaruhi pejabat-pejabat Pemerintah Aceh, khususnya di daerah Pidie. Untuk beberapa waktu lamanya Daud Beureuh dan pengikut-pengikutnya dapat mengusai sebagian besar daerah Aceh termasuk sejumlah kota.
Namun demikian, sesudah bantuan datang dari Sumatera Utara dan Sumatera Tengah, operasi pemulihan keamanan TNI segera dimulai. Setelah didesak dari kota-kota besar, Daud Beureuh meneruskan perlawanannya di hutan-hutan. Penyelesaian terakhir Pemberontakan Daud Beureuh ini dilakukan dengan suatu “Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh” pada 17-28 Desember 1962 atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M. Jassin.
Dengan berakhirnya Negara Islam Indonesia, tidak menjadikan Islam kembali dalam keterpurukan, malahan selalu aktif dalam urusan kepemerintahan. Salah satu penyebabnya adalah mayoritasnya Islam di Indonesia dan posisi kepartaian di Indonesia semenjak pemilu pertama hingga kini.

Wali Songo

WALI SONGO


Islam di Indonesia sangat identik dengan jejak penyebaran para tokoh Islam di Jawa yang kemudian disebut dengan Wali Songo. Meski demikian, bukan berarti Islam baru dikenalkan setelah para wali ini datang ke tanah Jawa. Sedang Islam sendiri diketahui telah menyebar ke Indonesia melalui kerajaan Pasai (Sematera). Hanya saja, Islam pada masa wali ini memiliki corak yang berbeda, yaitu menjadikan Islam di Jawa memiliki dua pandangan, yaitu antara Islam abangan dan Islam putihan.
Islam abangan inilah yang kemudian menjadikan banyak masyarakat Jawa yang beraliran Hindhu-Budha menjadi Islam. Hal ini dikarenakan dalam ajarannya, Islam abangan mengenalkan ajarannya sesuai dengan apa yang disenangi masyrakatnya, yaitu seni dan pewayangan. Sedang Islam putihan hanya tertuju pada ajaran Islam yang tidak mengambil cara demikian.
Wali songo sendiri diyakini sebuah majelis (organisasi) Islam saat itu dengan anggotanya yang berjumlah hingga sembilan orang, sedang pendirinya adalah Raden Rahmad (Sunan Ampel). Pendapat lain menyebutkan bahwa kata “songo” berasal dari kata “tsana” yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata “sana” berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat. Hanya saja wali songo dikenal sebagian besar masyarakat dikarenakan masa-masa tersebutlah Islam kemudian menjadi semakin luas, yaitu tidak hanya melalui perdagangan dan dakwah, melainkan pula melalui kesenian tradisional masing-masing masyarakat Jawa. Selain tersebut, para wali ini juga dapat digunakan sebagai symbol kebesaran Islam dalam Indonesia, terutama di Jawa. Berikut adalah susunan wali songo yang menjadi perdebatan diantara kalangan umum saat ini.
Pendapat pertama, yaitu yang menyebutkan wali songo sebagai majelis Islam adalah terdiri dari:
1. Raden Rahmad (Sunan Ampel)
2. Raden Hasan (Pangeran Bintara)
3. Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang)
4. Raden Qasim (Sunan Drajat)
5. Utsman Haji (Sunan Ngudung)
6. Raden Paku (Sunan Giri)
7. Syekh Suta Maharaja
8. Raden Hamzah (Pangeran Tumapel)
9. Raden Mahmud
Sedang pendapat berikutnya, yaitu kebanyakan datang dari kalangan Jawa Timur beranggapan bahwa wali songo terdiri dari:
1. Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)
2. Raden Rahmad (Sunan Ampel)
3. Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang)
4. Raden Qasim (Sunan Drajat)
5. Raden Paku (Sunan Giri)
6. Jakfar Shadiq (Sunan Kudus)
7. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)
8. Raden Said (Sunan Kalijaga)
9. Raden Umar Said (Sunan Muria)
Pendapat yang lainnya, yang kebanyakan diyakini dari kalangan Jawa Tengah, yaitu wali songo terdiri dari:
1. Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)
2. Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang)
3. Kyai Bah Tong (Sunan Bentong)
4. Raden Burereh (Pangeran Majagung)
5. Raden Qasim (Sunan Drajat)
6. Raden Paku (Sunan Giri)
7. Jakfar Shadiq (Sunan Kudus)
8. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)
9. Syekh Siti Djenar (Syekh Lemah Abang)
Sedang di Jawa Barat, terdapat pendapat yang lainnya pula, yaitu wali songo terdiri dari:
1. Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)
2. Raden Burereh (Pangeran Majagung)
3. Kyai Bah Tong (Sunan Bentong)
4. Raden Rahmat (Sunan Ampel)
5. Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang)
6. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)
7. Syekh Siti Djenar (Syekh Lemah Abang)
8. Raden Paku (Sunan Giri)
9. Raden Said (Sunan Kalijaga)
Dengan beragamnya nama-nama dalam susunan wali songo, adalah tidak menjadi masalah karena yang telah para wali ini memiliki jasa yang besar dalam penyebaran Islam.


1. Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)
Dalam penyebutan nama Maulana Malik Ibrahim adalah sangat banyak dalam susunan wali songo meski banyak pula yang tidak memasukkannya. Maulana Malik Ibrahim juga diyakini salah satu keturunan Nabi Muhammad dari Husain bin Ali dan dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa. Maulana Malik Ibrahim memiliki banyak nama sebutan, diantaranya dikenal sebagai Sunan Gresik, Syekh Maghribi, Makhdum Ibrahim as Samarqandy, dan atau Kakek Bantal.
Maulana Malik Ibrahim diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah pada paruh awal abad ke-14. Sebagian ada pula yang mengatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim berasal dari Persia. Berikut adalah silsilah Maulana Malik Ibrahim hingga Nabi Muhammad, yaitu putra dari Zainal Alam Barakat (Barokah Zainul Alam) bin Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar) bin Ahmad Syah Jalal bin Abdullah (al-Azhamat) Khan bin Abdul Malik (Ahmad Khan) bin Alwi Ammi al Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi ats Tsani bin Muhammad Sahibus Saumiah bin Alwi Awwal bin Ubaidullah bin Ahmad al Muhajir bin Isa ar Rummi bin Muhammad al Naqib bin Ali al Uraidhi bin Ja’far ash Shadiq bin Muhammad al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Pada awal penyebaran Islamnya, Maulana Malik Ibrahim Ibrahim dan Maulana Ishaq berpisah setelah datang di pulau Jawa. Maulana Ishak mengislamkan Samudera Pasai, sedang Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan
Maulana Malik Ibrahim disebutkan bermukim di Champa selama tiga belas tahun. Di sana Maulana Malik Ibrahim menikahi putri raja yang memberinya dua putra; yaitu Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha atau Raden Santri. Setelah cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, ia hijrah ke pulau Jawa dan meninggalkan keluarganya.
Daerah yang ditujunya pertama kali ialah desa Sembalo, sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan Manyar (9 kilometer ke arah utara kota Gresik). Dalam dakwahnya, Maulana Malik Ibrahim kemudian mendirikan mesjid pertama di desa Pasucinan, Manyar.
Dengan maraknya perdagangan yang melibatkan masyarakat banyak, termasuk raja dan para bangsawan, pemilik kapal atau pemodal, Maulana Malik Ibrahim pun melakukan usaha berdagang. Sedang daerah yang dipilihnya adalah di tempat pelabuhan terbuka, yang sekarang dinamakan desa Roomo, Manyar. Selain dalam hal berdagang, Maulana Malik Ibrahim juga melakukan kunjungan ke ibukota Majapahit di Trowulan guna mengajak raja Majapahit masuk dalam Islam. Hanya saja, raja Majapahit tidak masuk Islam. Meski demikian, dia menerimanya dengan baik dan bahkan memberikan sebidang tanah di pinggiran kota Gresik kepada Maulana Malik Ibrahim. Wilayah itulah yang sekarang dikenal dengan nama desa Gapura.
Dalam hal penebaran Islam, Maulana Malik Ibrahim juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan sering mengobati masyarakat sekitar tanpa biaya. Itu sebabnya, ajaran Islam yang dibawa Maulana Malik Ibrahim dengan cepat memasyarakat. Setelah selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419, Maulana Malik Ibrahim kemudian wafat dan kini makamnya dapat ditemui di desa Gapura Wetan, Gresik-Jawa Timur.

2. Raden Rahmad (Sunan Ampel)
Maulana Malik Ibrahim setelah menikahi putri Champa, telah meninggalkan dua anaknya, yaitu Sayyid Ahmad Rahmatillah dan Sayid Ali Murtadha. Sayyid Ahmad Rahmatillah inilah ketika dewasa menyusul Maulana Malik Ibrahim ke tanah Jawa yang kemudian dikenal dengan Raden Rahmad pada tahun 1443. Dalam penyebaran Islamnya, Raden Rahmad kemudian memilih Ampel Denta, Surabaya sebagai pijakan pertamanya. Itu sebab, Raden Rahmad kemudian disebut pula Sunan Ampel dan dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya.
Lantaran sebagai putra Maulana Malik Ibrahim, Raden Rahmad pun juga keturunan Nabi Muhammad, sedang namanya adalah Sayyid Ahmad Rahmatillah bin Maulana Malik Ibrahim bin Zainal Alam Barakat bin Jamaluddin Akbar al Husain (Maulana Akbar) bin Ahmad Syah Jalal bin Abdullah (al-Azhamat) Khan bin Abdul Malik (Ahmad Khan) bin Alwi Ammi al Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi ats Tsani bin Muhammad Sahibus Saumiah bin Alwi Awwal bin Ubaidullah bin Ahmad al Muhajir bin Isa ar Rummi bin Muhammad al Naqib bin Ali al Uraidhi bin Ja’far ash Shadiq bin Muhammad al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Raden Rahmad termasuk seorang yang mulia, ini dikarenakan bahwa pendirian majelis ulama pertama kali adalah berkat usahanya, yaitu yang sekarang dikenal sebagai wali songo. Sedang pendirian majelis ini adalah guna menyebarkan Islam secara menyeluruh hingga pelosok Nusantara (Indonesia). Majelis wali songo inilah yang kemudian masih dalam perdebatan hingga kini, yaitu tentang siapa anggotanya dan kebenaran keberadaan majelis ini. Sedang Raden Rahmad sendiri membagi wilayah penyebaran Islam kepada seluruh murid-muridnya yang dinyatakan telah siap. Itu sebab, Raden Rahmad yang dijuluki sebagai Sunan Ampel kemudian menjadikan Ampel sebagai pusat dari penyebaran Islam saat itu.
Diantara banyak murid Raden Rahmad adalah keturunannya sendiri yang kemudian juga termasuk dalam susunan wali songo. Diantaranya adalah:
1. Dari pernikahannya dengan Dewi Candrawati, seorang putri dari kerajaan Majapahit. Sedang beberapa sejarah mengarah bahwa istri Raden Rahmad tersebut adalah Nyai Ageng Manila, putri dari Adipati Tuban (Arya Teja).
a. Raden Makdum Ibrahim, yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Bonang.
b. Raden Qasim Syarifudin, yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Drajat.
c. Raden Rahmad, yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Lamongan.
d. Nyai Ageng Maloka (Siti Muthmainah), yang kemudian menjadi istri dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
e. Siti Syariah (Syarifah), yang kemudian menjadi menjadi istri dari Raden Usman Haji atau Sunan Ngudung. Sedang keturunannya kemudian dikenal sebagai Sunan Kudus (Raden Jakfar Shadiq).
f. Siti Khafshah, yang kemudian menjadi istri dari Raden Said (Sunan Kalijaga).

2. Dari pernikahannya dengan Siti Karimah, seorang putri dari Ki Ageng Supa yang juga merupakan murid Raden Rahmad yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Bungkul.
a. Dewi Murthasiah, yang kemudian menjadi menjadi istri pertama dari Raden Paku atau Sunan Giri.
b. Dewi Murthasimah, yang kemudian menjadi istri dari Raden Hasan (Raden Patah/Sultan Demak).
Selama dalam penyebaran Islamnya, Raden Rahmad berhasil membangun sebuah masjid di Demak pada tahun 1479 yang kemudian dikenal dengan Mesjid Agung Demak. Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.

3. Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang)
Dari pasangan Raden Rahmad dan Dewi Candrawati (Nyai Ageng Manila) inilah Raden Makdum Ibrahim dilahirkan. Dalam dakwahnya, Raden Makdum Ibrahim menggunakan kesenian sebagai media pengenalan pengamalan dari agama Islam terhadap masyarakatnya. Salah satu kesenian yang dikaryakannya dan hingga kini masih dikenal adalah tembang “tombo ati” dan rabab dalam gamelan. Sedang daerah yang menjadi siar Islamnya adalah Bonang, kabupaten Rembang.
Raden Makdum Ibrahim dilahirkan sekitar tahun 1465. Sedang kematiannya adalah sekitar tahun 1525. Sedang kematiannya adalah sebuah keajaiban, yaitu terdapat dua makam di tempat yang berbeda, antara Tuban dan Bawean. Raden Makdum Ibrahim sendiri meninggal di Bawean, sedang muridnya yang berasal dari Tuban mengetahui perihal kematian Raden Makdum Ibrahim kemudian segera menjemput dan berniat membawa jenazah Raden Makdum Ibrahim ke Tuban, sedang yang berhasil dibawa oleh para muridnya hanya pakaian dan kain kafannya saja. Sedang data lain menyebutkan bahwa yang memperebutkan jenazah Raden Makdum Ibrahim dari bawean tersebut adalah murinnya yang berasal dari Madura. Hanya saja, di tengah perjalanan, jenazah Raden Makdum Ibrahim kemudian dapat diambil oleh para murid lainnya yang berasal dari Tuban.
Bagaimanapun sejarah tersebut menyebutkan, kini makam Raden Makdum Ibrahim terdapat di dua tempat, yaitu Bawean dan Tuban. Sedang yang sering dikunjungi sebagai ziarah para wali adalah di Tuban. Kebenaran akan kedua makam tersebut adalah dari kejadian yang meninggalkan masing-masing diantara jenazah tersebut adalah masing-masing mengenakan selembar kain kafan. Sedang jenazahnya yang sebelum diperebutkan mengenakan dua lembar kain kafan.

4. Raden Qasim Syarifudin (Sunan Drajat)
Setelah Raden Makdum Ibrahim dilahirkan, Raden Rahmad dan Dewi Candrawati (Nyai Ageng Manila) kemudian diberikan keturunan kembalai, yaitu Raden Qasim Syarifudin. Dalam dakwahnya, Raden Qasim syarifudin menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam.
Raden Qasim Syarifudin diperkirakan dilahirkan pada tahun 1470. Sedang daerah yang menjadi dakwahnya adalah desa Drajat, Paciran-Lamongan. Itu sebab Raden Qasim Syarifudin juga dikenal sebagai Sunan Drajat. Daerah yang dijadikan dakwahnya adalah daerah pemberian Raden Patah, kerajaan Demak. Setelah memberikan daerah tersebut dan menilai Raden Qasim Syarifudin telah berhasil membangun akhlak dan ekonomi daerahnya, Raden Patah kemudian menyebutnya sebagai Sunan Mayang Madu pada tahun saka 1442 atau bertepatan dengan tahun 1520.
Seperti saudaranya, Raden Qasim Syarifudin juga menggunakan kesenian sebagai media dakwahnya. Hal ini dapat diketahui dengan peninggalannya yang berupa tembang “macapat pangkur” dan gamelan Singomengkok yang kini masih ada peninggalannya di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan ayng telah diresmikan oleh Gubernur Jawa Timur pada 1 Maret 1992.
Raden Qasim Syarifudin diperkirakan wafat pada tahun 1522. Sedang dalam kompleks makamnya terdapat tujuh filosofi yang telah diajarkan meluas di masyarakatnya. Diantara ketujuh filosofi tersebut adalah sebagai berikut.
1. Memangun resep teyasing Sasomo (kita selalu membuat senang hati orang lain)
2. Jroning suko kudu eling Ian waspodo (di dalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada)
3. Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah (dalam perjalanan untuk mencapai cita - cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan)
4. Meper Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu)
5. Heneng - Hening - Henung (dalam keadaan diam kita akan mem­peroleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita - cita luhur).
6. Mulyo guno Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan salat lima waktu)
7. Menehono teken marang wong kang wuto, Menehono mangan marang wong kang luwe, Menehono busono marang wong kang wudo, Menehono ngiyup marang wongkang kodanan (Berilah ilmu agar orang menjadi pandai, Sejahterakanlah kehidupan masya­rakat yang miskin, Ajarilah kesusilaan pada orang yang tidak punya malu, serta beri perlindungan orang yang menderita)

5. Raden Paku (Sunan Giri)
Kelahiran Raden Paku atau Raden ‘Ainul Yaqin dengan tanpa kehadiran bapaknya disampingnya. Hal ini lantaran Maulana Ishaq, bapaknya memilih berhijrah ke kerajaan Pasai dua bulan sebelum kelahirannya. Sedang kepergian ini diaksudkan demi keselamatan Raden Paku dari keganasan Patih Bajul Seggara yang memang menginginkan kematian Maulana Ishaq.
Pada dewasanya, Raden Paku pun lebih memilih dibuang oleh ibunya, Dewi Sekardadu juga demi keselamatan Raden Paku dari percobaan pembunuhan akibat hasutan Patih Bajul Senggara kepada sultan Blambangan, yang merupakan kakek Raden Paku. Dalam pembuangan Raden Paku tersebut, Raden Paku dibuang melalui lautan yang kemudian ditemukan oleh pelaut yang hendak berdagang di Jawa atas perintah Nyai Gede Pinatih. Melihat sebuah kotak di lautan bebas, pelaut tersebut kemudian menyerahkan kotak tersebut beserta isinya yang berisi bayi kepada Nyai Gede Pinantih.
Karena bayi tersebut ditemukan di lautan bebas, Raden Paku pun kemudian dinamai sebagai Jaka Samudra. Nyai Gede Pinantih kemudian mengirim Jaka Samudra ke Ampeldenta guna mendalami Islam. Sedang berita pembuangan Raden Paku ke lautan pun akhirnya terdengar oleh Maulana Ishak. Dan berita adanya Raden Paku di tangan Nayai Gede Pinantih pun terdengar hingga pengirimannya ke Ampeldenta. Itu sebab, Maulana Ishaq kemudian menaruh pesan kepada Raden Rahmad (Sunan Ampel) yang merupakan anak dari kakaknya, Maulana Malik Ibrahim agar kembali menamainya sebagai Raden Paku dan segera memberitakan kebenaran silsilahnya.
Adapun Raden Paku selain dikenal sebagai Raden ‘Ainul Yaqin, beberapa nama lainnya juga dikenal sebagai Prabu Satmata dan Sultan Abdul Faqih. Sedang silsilah keluarganya adalah Raden Paku putra dari Maulana Ishaq bin Zainal Alam Barakat bin Jamaluddin Akbar al Husaini (Jumadil Qubro) bin Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan) bin Abdullah (al Azhamat) Khan bin Abdul Malik (Ahmad Khan) bin Alwi Ammi al Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi ats Tsani bin Muhammad Sahibus Saumiah bin Alwi Awwal bin Ubaidullah bin Ahmad al Muhajir bin Isa ar Rummi bin Muhammad al Naqib bin Ali al Uraidhi bin Ja’far ash Shadiq bin Muhammad al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (sepupu Nabi Muhammad).
Dalam mendalami ajaran Islam di Ampeldenta, Jaka Samudra berahabat dengan Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), anak Raden Rahmad. Lantaran Jaka Samudra telah cukup mendalami Islam, Jaka Samudra kemudian menemui Maulana Ishaq bersama Raden Makdum Ibrahim ke kerajaan Pasai.
Setelah bertemu dengan Maulana Ishak, Raden Paku kemudian mendirikan sebuah pesantrenan yang kemudian dinamakan Pesantren Giri di sebuah perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas. Sejak itulah, ia dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Giri.
Pesantren Giri kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa, bahkan pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan kecil yang disebut Giri Kedaton, yang menguasai Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi sampai akhirnya ditumbangkan oleh Sultan Agung. Seperti Raden Makdum Ibrahim, Raden Paku juga mengajrkan kesenian yang hingga kini dapat ditemui, diantaranya yaitu permainan-permainan anak seperti Jelungan, Lir-ilir dan Cublak Suweng; serta beberapa gending (lagu instrumental Jawa) seperti Asmaradana dan Pucung.

6. Jakfar Shadiq (Sunan Kudus)
Sama halnya wali-wali sebelumnya yang juga merupakan satu keturunan dengan Nabi Muhammad, juga terjadi pada Jakfar Shadiq (Raden Amir Haji). Hanya saja silsilah keturunan ini berasal dari ibunya yang merupakan anak dari Raden Rahmad, Siti Syariah (Syarifah). Sedang bapaknya sendiri juga dipercaya sebagai salah satu wali songo, Raden Usman Haji (Sunan Ngudung). Jakfar Shadiq sendiri diperkirakan wafat pada tahun 1550.
Sebagai salah seorang tokoh penyebar Islam, Jakfar Shadiq memiliki peran yang besar dalam pemerintahan kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima perang dan hakim peradilan negara. Dengan adanya jabatan yang diperolehnya tersebut, maka dengan mudah berdakwah di kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa. Diantara yang pernah menjadi muridnya, ialah Sultan Prawoto (penguasa Demak) dan Arya Penangsang (adipati Jipang Panolan).
Dalam hal kesultanan, Jakfar Shadiq adalah seorang yang berhasil menumbangkan kadipaten Pengging yang juga merupakan kekuasaan kesultanan Demak. Disebutkan bahwa kadipaten ini telah dikuasai seorang murid dari Syekh Siti Djenar yang dianggap bias. Dalam perlawanan terhadap kadipaten Pengging, Jakfar Shadiq tidak terlalu banyak mengalami kesulitan lantaran pimpinan kadipaten Pengging, Ki Ageng Penggeng sendiri telah menyerahkan nyawanya. Hingga akhirnya, kadipaten Pengging pun kemudian kembali pada kesultanan Demak.
Selain hal tersebut, Islam di tangan Jakfar Shadiq terbilang sangat mudah lantaran Jakfar Shadiq sendiri seorang yang selalu menghargai masyarakat dan budayanya. Salah satu peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara Kudus yang arsitekturnya bergaya campuran antara Hindu dan Islam. Sehingga masyarakat hindhu saat itupun tidak merasa ditindas dan mengenal Islam yang saling menghormati. Selain itu, keunikan yang terjadi pun pada saat Hari Raya Kurban, yaitu pengalihan hewan kurban dari sapi ke kerbau. Hal ini tentu saja dilakukan lantaran menjaga ketersinggungan Hindhu yang menganggap sapi adalah hewan suci.
Pada tahun 1530, Jakfar Shadiq mendirikan sebuah mesjid di desa Kerjasan, Kudus Kulon, yang kini terkenal dengan nama Masjid Agung Kudus dan masih bertahan hingga sekarang. Sekarang Masjid Agung Kudus berada di alun-alun kota Kudus, Jawa Tengah. Masjid yang dibangun oelh Jakfar Shadiq ini di dasari oleh batu yang sengaja diambil dari Baitul Maqdis setelah berhasil menyelesaikan masalah yang menimpa kawasan Baitul Maqdis.

7. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)
Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar 1450, namun ada juga yang mengatakan bahwa beliau lahir pada sekitar 1448. Nama Syarif Hidayatullah sebenarnya adalah Syarif Hidayatullah al Khan bin Sayyid ‘Umadtuddin Abdullah al Khan bin Sayyid ‘Ali Nuruddin al Khan (Ali Nuralam Akbar) bin Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar) bin Ahmad Syah Jalal bin Abdullah (al-Azhamat) Khan bin Abdul Malik (Ahmad Khan) bin Alwi Ammi al Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi ats Tsani bin Muhammad Sahibus Saumiah bin Alwi Awwal bin Ubaidullah bin Ahmad al Muhajir bin Isa ar Rummi bin Muhammad al Naqib bin Ali al Uraidhi bin Ja’far ash Shadiq bin Muhammad al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Dalam hal silsilah keluarganya, Syarif Hidayatullah bukan seorang yang biasa, lantaran dari keturunan bapaknya manjadikan sebagai salah seorang juga keturunan Nabi Muhammad, Syarif Hidayatullah juga merupakan keturunan kesultanan Sunda yang berasal dari ibunya. Yaitu Rara Santang (Syarifah Muda’im) binti Raden Pamanah Rasa (Prabu Jaya Dewata atau Prabu Siliwangi II) bin Prabu Dewa Niskala (Raja Galuh/Kawali) bin Niskala Wastu Kancana (Prabu Siliwangi I) bin Prabu Linggabuana (Prabu Wangi).
Memasuki usia dewasa sekitar diantara tahun 1470-1480, beliau menikahi adik dari bupati Banten yang bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini beliau mendapatkan seorang putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan Mawlana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten I.
Syarif Hidayatullah sangat erat hubungannya dengan berdirinya kesultanan Cirebon. Yaitu sebagai pendiri kesultanan Cirebon setelah kesultanan Demak mengalami perpecahan dari masing-masing daerah yang ditaklukkannya. Sedang dalam hubungannya dengan kesultanan Demak, Syarif Hidayatullah adalah seorang tata Negara yang ahli di bidangnya, itu sebab, Patih Unus kemudian mengirim Syarif hidayatullah ke wilayah Cirebon untul mengatasi masalah yang ada setelah kembali dari kesultanan Pasai.
Dalam hal perluasan wilayah kesultanan Cirebon, Syarif Hidayatullah banyak dibantu oleh Tubagus Pasai yang kemudian dapat mengambil alih kekuasaan di Sunda Kelapa yang sebelumnya dikuasai oleh kerajaan Hindhu (Pakuan) dan protugis.

8. Raden Said (Sunan Kalijaga)
Wayang yang kini dikenal masyarakat adalah salah satu peninggalan sejarah dari Sunan Kalijaga atau Raden Said. Raden Said adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Dalam hal belajar Raden Said menjadi murid dari Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang).
Raden Said diperkirakan lahir pada tahun 1450, sedang sebutan lain dari Raden Said antara lain dikenal dengana Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman. Ketika wafat, beliau dimakamkan di Desa Kadilangu, dekat kota Demak (Bintara). Makam ini hingga sekarang masih ramai diziarahi orang.
Masa hidup Raden Said diperkirakan mencapai hingga lebih dari 100 tahun. Ini berarti bahwa masa-masanya melalui masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Sedang yang kemudian menjadi istri Raden Said adalah Dewi Saroh binti Maulana Ishaq, yang kemudian mempunyai tiga putra: Raden Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh, dan Dewi Sofiah.
Raden Said sendiri pada awalnya dikenal sebagai perampok dan pencuri dari orang-orang yang kaya, salah satunya tidak luput adalah gudang milik keluarganya yang hendak dikirimkan kepada kerajaan Majapahit. Tentu saja ini membuat kadipatenan geram atas ulahnya, terlebih lagi setelah mendapatkan berita bahwa Raden Said terlibat pemerkosaan. Pada kasus tersebut, Raden Said adalah seorang yang telah berada di tempat dan waktu yang salah, yaitu pencuri lainnya yang hendak meniru perbuatan Raden Said dengan tanpa diketahui perbuatannya. Sedang Raden Said dalam hal perampokan adalah agar rakyatnya tidak terbelenggu kemiskinan.
Meski demikian, dengan adanya bukti kesalahan terhadap Raden Said, dia kemdudian diusir oleh kadipaten. Dengan pengusiran tersebut, Raden said kemudian bertemu dengan Raden Makdum Ibrahim. Tentu saja niatan untuk membantu rakyatnya masih ada, yaitu hendak pula meminta tongkat pada Raden Makdum Ibrahim guna diberikan kepada yang lebih membutuhkan. Melihat keinginan Raden Said yang mulia, membuat Raden Makdum Ibrahim kecewa akan sikapnya, yaitu meski mulia namun cara tersebut adalah salah dalam Islam. Setelah mengetahui keutamaan Raden Makdum Ibrahim, Raden Said pun kemudian ingin menimba ilmu padanya. Hanya saja, Raden Makdum Ibrahim yang saat itu ingin menguji kesetiaan Raden Said, meminta kepada Raden Said agar menjaga tongkatnya hingga sekembalinya.
Raden Makdum Ibrahim lupa akan janjinya untuk kembali kepada Raden Said yang menjaga tongkatnya. Di sisi lain, Raden Said setia menunggu Raden Makdum Ibrahim di tepi sungai. Itu sebab, Raden Said kemudian juga dikenal sebagai Sunan Kalijaga yang dalam bahasa Jawa berarti sunan yang menjaga kali.
Dalam hal berdakwah, Raden Said memiliki kesamaan dengan guru yang sekaligus menjadi sahabat dekatnya, Raden Makdum Ibrahim. Sedang paham keagamaannya cenderung sufistik berbasis salaf, bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Raden Said menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk (Lir-ilir dan Gundul-Gundul Pacul dianggap sebagai hasil karyanya).
Raden Said sangat toleran pada hal kebudayaan setempat. Dengan jalan melalui seni dan kebudayaan, Raden Said berharap tidak membuat hal yang salah, sedang jalan tersebut dianggap sebagai jalan yang efisien. Raden Said berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama akan hilang. Tidak mengherankan, ajaran Raden Said terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dalam dunia perwayangan, Raden Said sering melakonkan carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu (Petruk Jadi Raja). Selain hal tersebut, Raden Said juga menggagas adanya baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud.
Meski pada dasarnya jalan yang dilalui oleh Raden Said cenderung mendapat perlawanan dari para wali lainnya, metode dakwah tersebut malah sangat efektif. Hal ini terbukti dengan sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Raden Said, di antaranya adalah adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang. Dalam hal peninggalan yang lainnya, Raden Said terlibat pula dalam merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Sedang salah satu tiang dari Masjid Agung Demak sendiri terdapat tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.

9. Raden Umar Said (Sunan Muria)
Raden Umar Said atau yang sering dikenal sebagai Sunan Muria adalah putra Raden Said (Sunan Kalijaga) juga merupakan cucu dari Raden Usman Haji (Sunan Ngudung). Sedang daerah yang kemudian menjadi daerah penyebarannya adalah Gunung Muria.
Raden Umar Said, selain mendapatkan ajaran Islam dari bapaknya, juga berguru pada Ki Ageng Ngerang. Dalam usahanya mengajarkan Islam, Raden Umar Said tidak jauh berbeda dengan Raden Said yang juga menggunakan kesenian adat daerah. Salah satu peninggalannya dalam bidang kesenian adalah penciptaan gemelan gending sinom dan kinanti.
Diceritakan bahwa saat Ki Ageng Ngerang mengadakan acara, seluruh murid dan mantan muridnya kembali dikumpulkan, tidak luput juga Raden Umar Said dan Adipati Pathak Warak menghadiri acara tersebut. Pada acara tersebut, salah seorang putri Ki Ageng Ngerang, Dewi Roroyono pada akhirnya diculik oleh Adipati Pathak Warak yang tergoda akan kecantikannya. Lantaran dengan kejadian tersebut, membuat Raden Umar Said mencoba membantu gurunya tersebut sehingga pada akhirnya, Dewi Roroyono pun dapat diselamatkan. Setelah dapat diselamatkan, Dewi Roroyono pun kemudian dinikahkan oleh bapaknya kepada Raden Umar Said.

10. Kyai Bah Tong (Sunan Bentong)
Kyai Bah Tong, yang masih merupakan keturunan Tiongkok ini merupakan kakek dari Raden Patah. Dengan pelafalan dan logat masyarakat Jawa yang saat itu tidak begitu paham dengan pelafalan huruf China, membuat nama Bah Tong pun seperti “Bentong”, itu sebabnya namanya kemudian dikenal sebagai Sunan Bentong. Kyai Bah Tong masuk ke Jawa juga melakukan hal yang sama yaitu melalui perdagangan, dia pun juga menyebarkan agama Islam. Sedang daerah penyebaran Islamnya melalui Lasem.

11. Raden Burereh (Pangeran Majagung)
Sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa Raden Rahmad sebenarnya memiliki darah Tionghoa, yaitu berasal dari Tiongkok. Sedang nama Raden Rahmad menurut sejarah masuknya Islam dari Tionghoa adalah Bong Swi Hoo.
Saat Raden Rahmad datang ke Jawa, dia juga ditemani oleh sepupunya yang bernama Raden Burereh atau Abu Hurairah. Saat menyebarkan Islam, Raden Burereh kemudian bertempat di Majagung dan kemudian menjadi tokoh Islam besar di sana. Itu sebabnya, Raden Burereh juga dikenal sebagai Pangeran Majagung.

12. Raden Hasan/Raden Fatah (Pangeran Bintara)
Dalam susunan kerajaan Majapahit, Raden Hasan adalah seorang keturunan raja Majapahit dan raja Palembang, Arya Damar. Sedang dalam susunan kerajaan Majapahit, Raden Hasan merupakan putra dari Raden Alit (Prabu Brawijaya) bin Bra Tanjung bin Lembu Amisani bin Hayam Wuruk. Sedang dalam susunan kerajaan Palembang, Raden Hasan merupakan anak dari istri Raden Alit yang kedua (berasal dari China) yang kemudian diperistri Arya Damar sewaktu mengandung Raden Hasan. Singkatnya, Raden Hasan adalah anak tiri dari Arya Damar.
Dalam kisah percintaan Raden Alit, telah menikah dengan putri raja Champa (kakak dari istri Maulana Malik Ibrahim) dan putri China. Hanya saja, dalam pernikahan tersebut, putri raja Champa (istri pertama Raden Alit) pun merasa cemburu dan meminta Raden Alit untuk mengembalikannya ke asalnya, China. Meski menyanggupinya, Raden Alit ternyata lebih memilih Patih Gajah Mada untuk menyerahkan putri China tersebut kepada Arya Damar (sebelumnya bernama Jaka Dilah yang karena pengabdian pada Majapahit, Jaka Dilah diangkat kedudukannya menjadi raja di Palembang dengan gelar Arya Damar).
Dalam perjalanannya, Patih Gajah Mada bertemu dengan Arya Damar di Gresik. Dan saat pertemuan tersebut, Patih Gajah Mada kemudian menyampaikan maksudnya, yaitu melaksanakan perintah raja serta menyerahkan surat yang berisi tentang keadaan istri keduanya yang telah mengandung, namun Raden Alit meminta Arya Damar bersedia menerima putri China tersebut untuk diperistri, sedang putir China tersebut tidak boleh digauli sebelum bayi dalam kandungannya dilahirkan.
Dalam usianya yang terbilang dewasa, Raden Hasan atau Raden Fatah (al Fatah) diminta oleh ayah tirinya, Arya Damar guna menggantikan posisinya sebagai raja di Palembang, sedang di sisi lain, Raden Hasan dengan Raden Husen (anak kandung dari Arya Damar, seibu dengan Raden Hasan) memilih untuk meninggalkan Palembang dan menuju Jawa. Raden Hasan dan Raden Husen kemudian belajar agama pada Raden Rahmad (Sunan Ampel). Bahkan dalam pernikahannya pun, Raden Hasan Kemudian menikah dengan putri Raden Rahmad, Dewi Murthasimah.
Dalam menyebarkan Islam secara besar-besaran di tanah Jawa, Raden Rahmad kemudian membagi-bagi wilayah pada murid-muridnya, termasuk Raden Hasan dan Raden Husen. Raden Hasan kemudian ditempatkan di wilayah Lasem guna berdakwah menggantikan kakeknya, Syekh Bah Tong (Syekh Bentong). Sedang penyebaran Islamnya berpusat di Bintara. Itu sebabnya, Raden Hasan kemudian dikenal pula dengan sebutan Pangeran Bintara. Sedang Raden Husen di tempatkan di ibukota Majapahit. Oleh Prabu Brawijaya Kertabumi, Raden Husen kemudian dijadikan sebagai abdi kerajaan dan mendapat gelar Adipati Terung. Daerah Bintara inilah yang selanjutnya menjadi pusat pemerintahan Negara Islam Demak.
Raden Fatah berhasil merubah Bintara yang asalnya hutan belantara yang tumbuh pohon yang wangi sehingga dikenal dengan pedukuhan Glagahwangi Bintara menjadi kawasan yang ramai dan terkenal. Letaknya geografisnya yang sangat menguntungkan untuk perdagangan dan pertanian. Dari hutan belantara berubah menjadi gudang padi dan kota pelabuhan yang berdatangan kapal-kapal dagang yang berlayar lewat pantai utara Jawa menuju Maluku. Bintara Demak juga menjadi penghubung antara Jawa Tengah dengan Jawa Timur.
Dengan adanya penyebaran Islam oleh Raden Hasan, membuat Prabu Brawijaya Kertabumi menjadi senang akan adanya Raden Hasan dengan pengikutnya yang banyak, terlebih lagi merupakan saudara dari Raden Husen yang telah diangkatnya menjadi Adipati Terung. Itu sebab, Raden Hasan kemudian diangkat pula sebagai Adipati Bintara dan diakui pula sebagai anak dari Prabu Brawijaya Kertabumi. Selanjutnya Raden Fatah kembali ke pedukuhan Bintara yang selanjutnya dikenal pula dengan nama Demak dengan membawa satu laksa abdi (10.000 tentara), serta di beri gajah, kapal, tandu, dan pedati.

13. Raden Usman Haji (Sunan Ngudung)
Sunan Ngudung sering pula disebut-sebut sebagai anggota wali songo. Nama aslinya adalah Raden Usman Haji, putra dari Maulana Malik Ibrahim yang juga sebagai kakak dari Raden Rahmad. Dalam kehidupannya, Raden Usman Haji menikah dengan Siti Syariah (Syarifah) binti Raden Rahmad. Sedang dari perkawinan tersebut kemudian lahir Raden Amir Haji, yang kemudian juga dikenal dengan nama Jakfar Shadiq (Sunan Kudus).
Pada pemerintahan Sultan Trenggana, Raden Usman Haji diangkat sebagai imam Masjid Demak menggantikan Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) pada tahun 1520. Selain tersebut, Raden Usman Haji juga dijadikan pula sebagai panglima perang di kesultanan Demak melawan kerajaan Majapahit.
Dalam peperangan tersebut, Raden Usman Haji menghadapi musuh yang dipimpin oleh Raden Husen (adipati Terung, sebuah wilayah yang terletak di dekat Krian, Sidoarjo). Saat memimpin perang, Raden Usman Haji mengenakan baju pusaka yang diperoleh dari Raden Qosim (Sunan Kalijaga) yang (menurut cerita) merupakan baju perang yang bernama Kyai Antakusuma (sekarang disebut Kyai Gondil) milik Nabi Muhammad. Namun demikian, Raden Usman kemudian menjadi lengah dan akhirnya kalah melawan Raden Kusen.

14. Syekh Suta Maharaja
Semasa Raden Rahmad menyebarkan Islam melalui murid-muridnya di seluruh pelosok Nusantara. Wilayah Islam di Nusantara (Indonesia) pun kemudian semakin meluas. Hanya saja, di wilayah Pajang tidak terjadi perubahan, sedang yang menempati wilayah tersebut adalah Syekh Suta Maharaja.

15. Raden Hamzah (Pangeran Tumapel)
Menurut cerita tradisi, Raden Hamzah juga merupakan keturunan dari Raden Rahmad (Sunan Ampel). Raden Hamzah kemudian menuju wilayah Tumapel setelah dipilih Raden Rahmad guna menyebarkan Islam. Di Tumapel, Raden Hamzah kemudian memiliki gelar baru yaitu Pangeran Tumapel. Selain terbilang muda, Raden Hamzah juga gigij dalam menyebarkan Islam. Itu sebab, Raden Hamzah juga dikenal sebagai anggota wali bersama para anggotanya yang bersamaan dikirim oleh Raden Rahmad ke berbagai wilayah di tanah Jawa.

16. Raden Mahmud (Pangeran Kahuripan)
Raden Mahmud (dalam cerita Babad disebut Syekh Mahmud) ditempatkan di sepanjang Kahuripan dengan gelar Pangeran Kahuripan.

17. Syekh Siti Djenar (Syekh Lemah Abang)
Pada dasarnya, Syekh Siti Djenar tidak dimasukkan dalam susunan Wali Songo lantaran sikapnya yang dinilai murtad oleh sebagai banyak wali yang ada di Indonesia. Namun demikian, dengan Syekh Siti Djenar adalah seorang yang juga mengamalkan Islam di Indonesia (Nusantara). Bahkan tidak sedikit pula yang mengatakan bahwa Syekh Siti Djenar adalah bukan sesat lantaran dianggap sebagai pembawa ajaran Sufi di Indonesia.
Syekh Siti Djenar yang juga dikenal sebagai Sitibrit atau Lemahbang atau Lemah Abang adalah seorang tokoh tidak ada yang mengetahui secara pasti asal-usulnya. Di masyarakat terdapat banyak varian cerita mengenai asal-usulnya. Sedang anggapan sesat pada diri Syekh Siti Djenar ini dengan menganggap ajarannya yaitu “Manunggaling Kawula Gusti”.
Dalam hal penyebaran Islam oleh Syekh Siti Djenar, adalah ketika kerajaan Demak dalam kejayaannya. Tentu saja Raden Patah yang ketika itu telah memeluk Islam, menjadikan para wali lainnya menganggap Syekh Siti Djenar adalah sesat. Meski pada dasarnya para pendukungnya berpendapat bahwa Syekh Siti Djenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan, ajaran ini lebih diartikan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan bukan dianggap sebagai bercampurnya Tuhan dengan Makhluknya. Hanya saja, dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah menjadi sangat dekat dengan Tuhannya.
Bahkan Syekh Siti Djenar pun menganggap ajaran Syariat yang di bawa oleh para wali lainnya adalah tidak spenuhnya mengingat kepada Tuhannya lantaran dalam beribadah masih memikirkan hal keduniawian. Berbeda dengan ajaran Syekh Siti Djenar yang berdzikir dengan sepenuh hati yang yang dapat menghadirkan Allah Swt. Mengingat bahaya akan ajaran Syekh Siti Djenar, para wali pun kemudian merencanakan satu tindakan bagi Syekh Siti Djenar agar segera menghadap Demak Bintoro.
Perbedaan pendapat akan tata cara beribadah antara Syekh Siti Djenar dengan para wali lainnya adalah terlihat jelas dalam penyebutan nama Tuhan. Para wali yang mengajarkan Islam dengan Tuhannya yaitu Allah Swt., tidak demikian dengan Syekh Siti Djenar. Syekh Siti Djenar lebih menekankan adanya zikir dan wirid lebih utama ketimbang menyebut “Allah” hanya di bibir saja. Melihat ajaran Syekh Siti Djenar ini, para wali tidak menyalahkan, hanya saja para wali lebih menekankan agar ajaran ini tidak disampaikan terlebih dahulu lantaran takut akan penyelah tafsiran saja. Dalam ajaran Syekh Siti Djenar yang lainnya, memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai kematian. Sebaliknya, yaitu apa yang disebut sebagai kematian adalah sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi. Dengan ajaran ini, tentu saja manusia tidak dapat dikenai hukum yang bersifat keduniawian (hukum negara dan lainnnya). Lebih parahnya, Syekh Siti Djenar kemudian dijadikan sesat lantaran inti ajarannya adalah ketidak harusan manusia memenuhi rukun Islam. Baginya, syariah itu baru berlaku sesudah manusia menjalani kehidupan setelah kematiannya.
Mengingat kondisi manusia yang meski sebagai manusia sempurna, namun manusia sendiri juga dibatasi oleh kelemahan pemikiran. Dan apabial ilmu Syekh Siti Djenar diterapkan, kegilaan berlebihan terhadap Illa yang maha Agung atau Allah hanya akan menjadikan kufur saja. Para Wali dan pihak kerajaan sepakat untuk menjatuhkan hukuman mati bagi Syekh Siti Djenar dengan tuduhan telah membangkang kepada raja. Maka berangkatlah lima wali yang diusulkan oleh Syekh Maulana Maghribi ke Desa Krendhasawa. Kelima wali itu adalah Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Pangeran Modang, Sunan Kudus, dan Sunan Geseng.
Dalam hal penghakiman terhadap Syekh Siti Djenar menjadi sebuah kisah yang menarik, yaitu sebuah kisah yang menyebutkan bahwa ketika jenazah Syekh Siti Djenar disemayamkan di Masjid Demak, menjelang salat Isya, semerbak beribu bunga dan cahaya kilau kemilau memancar dari jenazah Syekh Siti Djenar. Sedang dalam hal makam Jenazah Syekh Siti Djenar sendiri mendapatkan berbagai versi. Salah satu pendapat mengatakan bahwa jenazah Syekh Siti Djenar dikuburkan di bawah Masjid Demak oleh para wali. Sedang pendapat lain mengatakan bahwa jenazah Syekh Siti Djenar dimakamkan di Masjid Mantingan Jepara. Hanya saja, di makamnya disebutkan dengan menggunakan nama makam orang lain.

Tokoh Islam Nusantara

Tokoh Islam Nusantara



Seperti diketahui, dalam hal penyebaran Islam ke seluruh wilayah Indonesia, tidak luput dari para pejuangnya, yaitu mereka yang menyebarkan agama Islam tersebut. Meski begitu, banyak diantara masyarakat mengenal pejuang wali songo adalah yang pertama. Padahal, sebelum dikenalkan wali songo, para tokoh penyebar Islam ini juga telah ada dan meluas di kawasan Indonesia. Itu sebab, dalam hal ini akan dibagi menjadi dua bagian, diantaranya adalah sejarah pejuang bukan termasuk wali songo (Pejuang Islam Nusantara) dan wali songo itu sendiri.

Pejuang Islam Nusantara
Zaman ini disebut dengan zaman para pejuang bukan wali songo, dimana Islam telah dikenalkan pertama kali dengan Islam yang kental. Pada masa-masa inilah kemudian Indonesia menjadi satu rangkaian jalur perdagangan bagi muslim. Berikut adalah tokoh-tokoh Islam yang tidak termasuk dalam wali songo yang kemudian dapat dikatakan sebagai Pejuang Islam Nusantara. Adapun sebutan Pejuang Islam Nusantara karena mereka tidak termasuk dalam jajaran Wali Songo yang menjadi tokoh penyebar Islam di Jawa. Sedang tokoh penyebar Islam ini juga banyak andil dalam menyebarkan Islam hingga pelosok Nusantara (Indonesia).

1. Cheng Ho
Cheng Ho memiliki nama asli Ma Sanbao. Dia sebenarnya berasala dari provinsi Yunnan yang kemudian dikenal sebagai Ma He. Dia adalah seorang kasim Muslim yang menjadi orang kepercayaan kaisar ketiga dari Dinasti Ming, Tiongkok yang bernama Kaisar Yongle (1403-1424). Pengangkatan Cheng Ho sebgai kasim Istana diawali dengan pasukan Ming yang menaklukkan Yunnan. Pada saat itullah Cheng Ho ditangkap dan kemudian dijadikan orang kasim.
Pada dasarnya, Cheng Ho adalah bukan seorang penyebar Islam di Indonesia, namun demikian, dengan adanya jasa Cheng Ho inilah banyak tokoh Islam yang kemudian menetap di Indonesia. Cheng Ho sendiri tercatat hampir dari keseluruhan pelayarannya adalah mengunjungi Indonesia, yaitu daerah Sumatera dan Jawa. Kedatangannya ke Nusantara ini lantaran urusan kedua Negara dan berdagang. Berikut adalah bukti-bukti kedatangan Cheng Ho ke Indonesia, diantaranya adalah lonceng raksasa “Cakra Donya” yang kini tersimpan di museum Banda Aceh, sebuah piring yang bertuliskan ayat Kursi yang kini masih tersimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon, dan Kelenteng Sam Po Kong (Gedung Batu) serta patung yang disebut Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong di pantai Simongan, Semarang.
Berikut adalah daerah-daerah yang pernah menjadi persinggahan Cheng Ho.

Pelayaran ke-1 (1405-1407): Champa, Jawa, Palembang, Malaka, Aru, Sumatra, Lambri, Ceylon, Kollam, Cochin, dan Calicut.
Pelayaran ke-2 (1407-1408): Champa, Jawa, Siam, Sumatra, Lambri, Calicut, Cochin, dan Ceylon.
Pelayaran ke-3 (1409-1411): Champa, Jawa, Malaka, Sumatra, Ceylon, Quilon, Cochin, Calicut, Siam, Lambri, Kaya, Coimbatore, dan Puttanpur.
Pelayaran ke-4 (1413-1415): Champa, Java, Palembang, Malaka, Sumatra, Ceylon, Cochin, Calicut, Kayal, Pahang, Kelantan, Aru, Lambri, Hormuz, Maladewa, Mogadishu, Brawa, Malindi, Aden, Muscat, dan Dhufar.
Pelayaran ke-5 (1416-1419): Champa, Pahang, Jawa, Malaka, Sumatra, Lambri, Ceylon, Sharwayn, Cochin, Calicut, Hormuz, Maldives, Mogadishu, Brawa, Malindi, dan Aden.
Pelayaran ke-6 (1421-1422): Hormuz, Afrika Timur, dan negara-negara di Jazirah Arab (perjalanan kali ini diyakini saat Cheng Ho hendak berhaji).
Pelayaran ke-7 (1430-1433): Champa, Jawa, Palembang, Malaka, Sumatra, Ceylon, Calicut, Hormuz, dan beberapa Negara lainnya.


2. Syekh Yusuf Tajul Khalwati
Muhammad Yusuf atau Syech Yusuf Tajul Khalwati termasuk Pejuang Islam Nusantara. Dia dilahirkan di Gowa, Sulawesi Selatan pada 3 Juli 1626. Sedang wafatnya berada di Cape Town, Afrika Selatan pada 23 Mei 1699 pada umurnya yang ke-72 tahun. Nama Muhammad Yusuf adalah nama pemberian dari Sultan Alauddin, sultan Gowa yang merupakan kerabat ibunda Syekh Yusuf, Aminah.
Syekh Yusuf menempuh pendidikan agamanya sejak berusia 15 tahun di Cikoang dari Daeng Ri Tassamang, guru kerajaan Gowa. Itu sebabnya, setelah dewasa nama Muhammad Yusuf pun menjadi Tuanta’ Salama’ Ri Gowa Syekh Yusuf Abul Mahasin al Taj al Khalwati al Makassari al Banteni. Selain menempuh pendidikan tersebut, Yusuf juga berguru pada Sayyid Balawi bin Abdul al Allamah Attahir dan Jalaludin al Aydit. Selain tersebut, Syekh Yusuf juga sempat mencari ilmu ke Yaman dan Damaskus. Di Yaman, Syekh yusuf berguru pada Syekh Abdullah Muhammad bin Abdul al Baqi, sedang di Damaskus berguru pada Syekh Abu al Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al Khalwati al Quraisyi.
Setelah menyelesaikan pendidikan agamanya dari Cikoang, Syekh Yusuf menikah dengan putri Sultan Gowa, lalu pada usia 18 tahun, Syekh Yusuf pergi ke Banten dan Aceh. Di Banten ia bersahabat dengan Pangeran Surya (Sultan Ageng Tirtayasa), yang kelak menjadikannya mufti Kesultanan Banten. Di Aceh, Syekh Yusuf berguru pada Syekh Nuruddin ar Raniri dan mendalami tarekat Qodiriyah.
Kematiannya di Afrika adalah akibat penguasaan Belanda di Gowa dan hampir diseluruh kawasan Nusantara. Sedang dalam kekuasaan Belanda di Gowa, menyebabkan kepindahannya di kerajaan Banten dan meneruskan penyebaran Islam di sana pada masa kesultanan Sultan Ageng Tirtayasa. Pada periode inilah kesultanan Banten menjadi pusat pendidikan agama Islam, sedang Syekh Yusuf memiliki murid dari berbagai daerah, termasuk 400 orang asal Makassar yang dipimpin oleh Ali Karaeng Bisai.
Dengan adanya kekuasaan Islam di daerah ini, menyebabkan Belanda memusatkan perhatiannya dan segera menghancurkan kesultanan Banten. Pada tahun 1682, ketika Belanda berhasil menguasai kesultanan Banten dan menggulingkan kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa, Syekh Yusuf yang dianggap sebagai penyebar Islam terbesar, yaitu sebagai Mufti kemudian ditangkap dan diasingkan ke Srilangka pada bulan September 1684.
Namun demikian, saat di Sri Lanka, Syekh Yusuf tetap aktif menyebarkan agama Islam, sehingga memiliki murid ratusan yang umumnya berasal dari India Selatan. Salah satu ulama besar India, Syekh Ibrahim ibn Mi’an. Sedang hubungannya dengan Nusantara masih berlanjut dengan melalui jamaah haji yang singgah di Sri Lanka. Melihat perjuangan Syekh Yusuf terhadap Nusantara belum terputus, Belanda akhirnya mengasingkan Syekh Yusuf ke tempat yang lebih jauh, Afrika Selatan pada bulan Juli 1693.
Di Afrika Selatan, Syekh Yusuf tetap mengajarkan Islam dan memiliki banyak pengikut hingga wafatnya. Itu sebabnya, Nelson Mandela, mantan presiden Afrika Selatan juga mengakui kehebatan Syekh Yusuf dan menyebutnya sebagai “Salah Seorang Putra Afrika Terbaik”.

3. Abdurrauf Singkil
Aminuddin Abdul Rauf bin Ali al Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili atau yang dikenal dengan Syekh Abdurrauf Singkil atau Teungku Syiah Kuala (Syekh Ulama di Kuala) adalah seorang tokoh yang memiliki pengaruh besar dalam penyebaran Islam di Sumatera dan Nusantara pada umumnya. Keluarga Abdurrauf Singkil dipercaya berasal dari Persia atau Arabia yang datang dan menetap di Singkil, Aceh pada akhir abad ke-13. Sedang kelahirannya sendiri diyakini pada tahun 1615. Dan dia kemudian wafat pada tahun 1693 dan dimakamkan di samping masjid yang dibangunnya di Kuala Aceh, desa Deyah Raya Kecamatan Kuala (sekitar 15 Km dari Banda Aceh).
Perihal penyebaran Islam, Abdurrauf Singkil juga banyak terlibat dalam membukukan ajaran-ajaran Islam. Salah satu diantaranya adlaah terjemahan dan tafsir Al Quran bahasa Melayu atas karya al Baidhawi yang berjudul Anwar at Tanzil Wa Asrar at Ta’wil, yang pertama kali diterbitkan di Istanbul tahun 1884. Sedang beberapa karya lainnya adalah sebagai berikut:
1. Mir’at al Thullab fî Tasyil Mawa’iz al Badî’rifat al Ahkâm al Syar’iyyah li Malik
al Wahhab. Buku ini membahas di bidang fiqh atau hukum Islam (buku ini ditulis
atas permintaan Sultanah Safiyatuddin).
2. Tarjuman al Mustafid. Merupakan naskah pertama Tafsir Al Quran yang lengkap
berbahasa Melayu.
3. Terjemahan Hadits Arba’in karya Imam al Nawawi (buku ini ditulis atas permintaan
Sultanah Zakiyyatuddin).
4. Mawa’iz al Badî’. Buku ini membahas tentang nasehat penting dalam pembinaan
akhlak.
5. Tanbih al Masyi. Buku ini merupakan naskah tasawuf yang memuat pengajaran tentang
martabat.
6. Kifayat al Muhtajin ilâ Masyrah al Muwahhidin al Qâilin bi Wahdatil Wujud. Buku
ini memuat tentang penjelasan konsep wahadatul wujud.
7. Daqâiq al Hurf. Buku ini mengajarkan tentang ilmu tasawuf dan teologi.

Sekitar tahun 1662 Abdurrauf Singkil kembali ke Aceh setelah melakukan ibadah haji dan banyak berilmu di sana. Dan dalam kembalinya di Aceh, Abdurrauf mengajarkan serta mengembangkan tarekat Syattariah yang diperolehnya. Menurut Syed Muhammad Naquib al Attas, Ahmad al Qusyasyi adalah salah satu gurunya tentang tarekat Syattariyah. Dalam pengajarannya tersebut, Abdurrauf Singkil memperoleh banyak murid yang berasal dari Aceh dan wilayah Nusantara lainnya. Beberapa yang menjadi ulama terkenal ialah Syekh Burhanuddin Ulakan dari Pariaman, Sumatera Barat dan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan dari Tasikmalaya, Jawa Barat.

4. Syekh Nuruddin Muhammad Ar Raniri
Salah satu tokoh Islam yang juga menjadi penasehat bagi kesultanan Aceh (masa kesultanan Iskandar Tsani) adalah Ar Raniri. Nama lengkapnya adalah Syeikh Nuruddin Muhammad bin ‘Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid ar Raniri al Quraisyi. Dia diperkirakan lahir sekitar akhir abad ke-16 di kota Ranir, India.
Dalam hal keagamaan, Ar Raniri memiliki pengetahuan yang sangat luas meliputi tasawuf, kalam, fikih, hadis, sejarah, dan perbandingan agama. Selama masa hidupnya, ia menulis kurang-lebih 29 buku, dan yang paling terkenal adalah “Bustanus al Salatin”.
Ar Raniri datang ke Aceh pada tahun 1637 dan kemudian menjadi penasehat kesultanan di sana hingga tahun 1644. Dalam hal penyebaran Islam, Ar Raniri sangat berperan penting dalam memimpin ulama Aceh menghancurkan ajaran Tasawuf Falsafinya Hamzah al Fansuri. Sedang Tasafuw ini cenderung sesat dan dikhawatirkan dapat merusak akidah umat Islam awam terutama yang baru memeluknya. Sedang aliran ini adalah tidak salah jika benar dalam penafsirannya. Yaitu hanya mencintai Allah dan bukan menjadikan dirinya sebagai Allah itu sendiri.
Dengan hancurnya ajaran Tasawuf Falsafi Hamzah al Fansuri, Ar Raniri kemudian kembali ke India meninggal di India pada 21 September 1658.

5. Syekh Burhanuddin Ulakan Pariaman
Syeikh Burhanuddin Ulakan Pariaman adalah seorang ulama yang menyebarkan Islam di Kerajaan Pagaruyung, Ulakan Pariaman-Sumatera. Syekh Burhanuddin pernah menimba ilmu kepada Syekh Abdurrauf Singkil, yang pernah menjadi murid dan penganut setia ajaran Syekh Ahmad al Kusyasi di Madinah. Oleh Syekh Ahmad keduanya diberi wewenang untuk menyebarkan agama Islam di daerahnya masing-masing. Selain sebagai penyebar Islam, dia juga terkenal sebagai pahlawan pergerakan melawan penjajahan Belanda.

6. Syekh Abdul Muhyi Pamijahan
Syekh Abdul Muhyi dilahirkan di Mataram tahun 1650 dari seorang Ibu yang bernama Rd. Ajeng Tanganjiah sebagai keturunan dari Sayidina Husen dan ayahnya bernama Sembah Lebe Wartakusumah keturunan dari raja Galuh. Dia tidak lama hidup di Mataram tapi beralih ke Gresik dengan orang tuanya.
Dalam ajaran agamanya, Syekh Abdul Muhyi selalu dididik orang tuanya dan ulama-ulama di Gresik. Dalam usianya yang muda, dia kemudian melanjutkan pendidikannya ke Kuala Aceh pada gurunya yang bernama Syekh Abdurrouf bin Abdul Jabar selama 8 tahun.
Pada waktu berumur 27 tahun, Syekh Abdul Muhyi bersama teman-temannya sepesantren dibawa ke Bagdad oleh gurunya untuk menjiarahi makam Syekh Abdul Qadir Jaelani. Syekh Abdul Muhyi kemudian tinggal selama 2 tahun untuk menerima ajaran Islam yang lebih mendalam. Setelah itu oleh gurunya dibawa ke Mekah untuk ibadah Haji. Ketika berada di Baitullah, tiba-tiba Abdurrouf Singkil mendapatkan petujuk bahwa diantara santrinya itu ada yang mendapat pangkat kewalian.
Dalam petunjuk tersebut, dinyatakan bahwa manakala tanda itu telah nampak olehnya, maka ia harus segera menyuruh orang itu pulang dan terus mencari gua di Pulau Jawa bagian barat untuk menetap disana. Gua itu sebenarnya bekas Syekh Abdul Qodir Jaelani menerima ilmu agama Islam dari Gurunya (Imam Sanusi).
Setelah kejadian tersebut, Adurrauf segera membawa pulang Syekh Abdul Muhyi ke Kuala tahun 1677 M yang kemudian disuruh pulang ke Gresik dan ditugaskan untuk mencari gua dan menetap di sana. Setelah mengetahui bahwa Syekh Abdul Muhyilah yang dimaksudkan.
Sebelum melaksanakan perintah gurunya, Syekh Abdul Muhyi menikahi seorang perempuan yang bernama Ayu Bakta. Setelah menikah berangkatlah bersama istrinya meninggalkan Gresik menuju ke arah barat dan sampailah di daerah yang bernama Darma Kuningan. Di sana dia kemudian disuruh oleh penduduk setempat untuk memberikan ajaran Islam. Hingga akhirnya Syekh Abdul Muhyi menetap selama 7 tahun guna mengajarkan Islam dan kembali melanjutkan tugas gurunya yaitu mencari gua. Dalam perjalanan selanjutnya, Syekh Abdul Muhyi melewati beberapa tempat yang kemudian juga menyebarkan ajaran Islam, diantara daerah yang kemudian dilewatinya adlah Pameungpeuk (Garut Selatan), Batuwangi, Lebaksiuh, dan gunung Kampung Cilumbu (Gunung Mujarod).
Di daerah Gunung Mujarod itulah, Syekh Abdul Muhyi kemudian menemukan gua yang dimaksudkan Abdurrauf Singkil. Sedang saat itu usaianya mencapai 40 tahun. Di gua tesebut, Syekh Abdul Muhyi kemudian mendidik murid-muridnya dengan penuh ketekunan dan kesabaran sehingga mereka benar-benar sudah menjadi muslim yang penuh dengan ilmu pengetahuan agama Islam.
Dalam ajarannya, Islam akhirnya menyebar hingga ke daerah Priangan selatan, lalu masuk ke daerah Sukapura juga ke daerah Ciamis bekas kerajaan Galuh. Dengan meluasnya ajaran yang disampaikan Syekh Abdul Muhyi hingga ke Bandung, Cirebon, Surabaya, dan Mataram, membuat Sultan Adipati Ngalanga tertarik. Oleh karena itu ia dipanggil untuk mengajar para putranya dengan menjanjikan akan memerdekakan daerah Pamijahan.
Setelah Pamijahan dimerdekakan oleh Sultan Adipati Ngalanga, Belanda yang telah menguasai Tasikmalaya bagian selatan pun ingin pula menguasai Pamijahan. Belanda meminta kepada Syekh Abdul Muhyi untuk menyerahkan Pamijahan kepadanya dengan pajak tiap tahun dibebankannya. Namun demikian, Syekh Abdul Muhyi menolak dengan keras dan mengharamkan beban pajak atas daerahnya lantaran Belanda bukan Negara Islam dan Pamijahan sendiri adalah daerah yang sudah dimerdekakan oleh kesultanan Mataram, itu berarti Pamijahan memiliki kawasan kekuasaan sendiri dan bukan lagi merupakan kekuasaan manapun. Perlawanannya terhadap Belanda inipun terus dilaksanakan hingga wafatnya pada usianya yang ke-80 tahun yang bertepatan pada tanggal 8 Jumadil Awal tahun 1151 H atau 1730 M.

7. Syekh Datuk Kahfi
Syekh Datuk Kahfi termasuk ke dalam kelompok Pejuang Islam Nusantara karena merupakan leluhur dari raja-raja Sumedang dan menjadi guru dari Pangeran Walangsungsang dan Nyai Rara Santang (Syarifah Muda’im), yaitu putera dan puteri dari Sri Paduga Maharaja (Prabu Siliwangi), raja Kerajaan Pajajaran, Jawa Barat. Nyai Rara Santang sendiri adalah ibu dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Syekh Datuk Kahfi dikenal juga dengan nama Syekh Idhofi atau Syekh Nurul Jati. Syekh Datuk Kahfi juga merupakan buyut dari Pangeran Santri (Ki Gedeng Sumedang), penguasa di Kerajaan Sumedang Larang, Jawa Barat.
Dalam silsilah keluarganya, Syekh Datuk Kahfi merupakan keturunan dari Nabi Muhammad yang juga keturunan Khalifah Ali. Dengan begitu, nama Syekh Datuk Kahfi berdasarkan silsilahnya adalah Syekh Datuk Kahfi bin Syekh Datuk Ahmad bin Maulana Isa bin Sayid Abdul Kadir bin Sayid Amir Abdullah Khan (Azamat Khan) bin Sayid Abdul Malik bin Sayid Alwi bin Muhammad Sahib Mirbath bin Ali Khali’ Qosam bin Alawi bin Muhammad bin Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa al Rumi bin Muhammad al Naqib bin Ali al Uraidhi bin Imam Ja’far ash Shadiq bin Muhammad al Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Sedang Ali bin Abi Thalib menikah dengan Fatimah az Zahra binti Muhammad.
Lantaran termasuk keturunan Nabi Muhammad, Syekh Datuk Kahfi pun juga bukan orang Indonesia asli. Syekh Datuk Kahfi adalah seorang pejuang Islam yang datang dari Baghdad dan pertama kali menyebarkan ajaran Islam di daerah Amparan Jati (Muara Jati), Cirebon. Lantaran ingin mengajarkan Islam di wilayah tersebut, Syekh Datuk Kahfi akhirnya menetap dan kemudian wafat dan dimakamkan di Gunung Jati. Sedang makamnya tersebut kini dapat ditemui bersamaan dengan makam Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), Pangeran Pasarean, dan raja-raja Kesultanan Cirebon lainnya.

8. Ki Gedeng Tapa
Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang saudagar kaya di pelabuhan Muarajati, Cirebon. Ia mulai membuka hutan ilalang dan membangun sebuah gubug dan sebuah tajug (Jalagrahan) pada tanggal 1 Syura 1358 (tahun Jawa) bertepatan dengan tahun 1445 Masehi. Sejak saat itu, mulailah para pendatang mulai menetap dan membentuk masyarakat baru di desa Caruban.

9. Ki Gedeng Alang-Alang
Kuwu atau kepala desa Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak lain adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.

10. Hasanuddin (Syekh Quro)
Pengenalan Islam oleh Hasanuddin ini dimulai pada tahun 1428. Sedang daerah penyebaran Islamnya di Tanjungpura, Kerawang. Adapun usaha yang dilakukan olehnya adalah dengan mendirikan pesantren yang dinamai Pesantren Quro. Itu sebabnya, Hasanuddin kemudian dikenal sebagai Syekh Quro. Sedang setelah sepeninggalnya, dia kemudian dimakamkan di desa Pulo Kalapa, Lemahabang-Karawang.
Hasanuddin atau Syekh Quro dipercaya sebagai pejuang Islam yang berasal dari Mekah. Diperkirakan Hasanuddin datang dari Champa (kini Vietnam selatan) dan turut dalam pelayaran armada Cheng Ho yang kemudian tiba di daerah Tanjungpura, Karawang.
Dalam hubungan Hasanuddin dengan penguasa Cirebon adalah lebih memudahkan jalannya untuk menyebarkan Islam. Terlebih lagi, putri Ki Gedeng Tapa, penguasa Cirebon yang bernama Nyai Subang Larang menjadi muridnya. Dan dari keturunan Nyai Subang Larang inilah kemudian menjadi Pejuang Islam Nusantara selanjutnya yang dikenal dengan Pangeran Kian Santang. Sedang Pangeran Kian Santang sendiri bukan hanya keturunan penguasa Cirebon, melainkan juga menjadi putra dari raja kerajaan Pajajaran, Raden Manahrasa yang bergelar Sri Baduga Maharaja.

11. Syekh Jumadil Qubro
Dalam hal penyebaran Islam di Indonesia, Syekh Jumadil Qubro tidak luput dari Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq. Sedang keduanya adalah putra dari Syekh Jumadil Qubro yang berasal dari Samarkand, Uzbekistan. Sedang dalam silsilah keluarganya, Syekh Jumadil Qubro juga diyakini sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw. yang berasal dari silsilah Husain bin Ali bin abi Thalib, yaitu putra Fathimah az-Zahra binti Muhammad.
Dalam beberapa fakta dan sejarah menyatakan bahwa Syekh Jumadil Qubro juga dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar atau Syekh Jumaddil Akbar atau Syekh Jamaluddin Akbar (Jamaluddin al Akbar al Husaini). Hanya saja, persamaan nama atau julukan ini banyak pula yang tidak menyetujui lantaran antara Syekh Jumadil Qubro dengan Syekh Maulana Akbar adalah berbeda. Salah satu perbedaan diantaranya adalah Syekh Jumadil Qubro diyakini datang dari Samarkhand-Uzbekistan, sedangkan Syekh Maulana Akbar berasal dari Gujarat-India. Namun demikian, Martin van Bruinessen dalam bukunya yang berjudul Najmuddin al-Kubra, Jumadil Kubra and Jamaluddin al-Akbar: Traces of Kubrawiyya influence in early Indonesian Islam, nama Jumadil Qubro sesungguhnya adalah hasil perubahan hyper-correct atas nama Jamaluddin Akbar oleh masyarakat Jawa.
Sedang dalam perihal tentang keturunannya, juga terdapat perbedaan pendapat. Sebagian berpendapat bahwa keturunannya adalah Ibrahim Akbar (Ibrahim as Samarkandi), Ali Nuralam Akbar, dan Zainal Alam Barakat (Barokah Zainul Alam) dan pendapat lain menyebutkan bahwa Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq adalah keturunannya. Sedang terdapat pendapat yang lainnya tentang asal usul Maulana Malik Ibrahim yang merupakan putra dari Zainal Alam Barakat (Barokah Zainul Alam).
Meski banyak data yang menyimpulkan perbedaan tentang Syekh Jumadil Qubro, namun dapat disimpulkan bahwa diantara sebutan nama-nama lainnya tersebut memiliki kesamaan yaitu tentang silsilahnya yang juga merupakan keturunan Nabi Muhammad, yaitu Syekh Jumadil Qubro adalah putra dari Ahmad Syah Jalal bin Abdullah (al Azhamat) Khan bin Abdul Malik (Ahmad Khan) bin Alwi Ammi al Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi ats Tsani bin Muhammad Sahibus Saumiah bin Alwi Awwal bin Ubaidullah bin Ahmad al Muhajir bin Isa ar Rummi bin Muhammad al Naqib bin Ali al Uraidhi bin Ja’far ash Shadiq bin Muhammad al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Sedang untuk makam Syekh Jumadil Qubro sendiri dipercaya ada di beberapa tempat, yaitu di Semarang, Trowulan, dan di Desa Turgo (dekat Plawangan), Kecamatan Turi-Yogyakarta. Namun demikian, tidak diketahui di mana ia dimakamkan.

12. Syekh Khaliqul Idrus
Syekh Khaliqul Idrus atau Syekh Abdul Khaliq al Idrus adalah seorang tokoh Islam yang berdakwah di Jepara. Syekh Khaliqul Idrus bin Muhammad al Alsiy adalah seorang keturunan berkebangsaan Parsi (Persia). Meski daerah penyebarannya hingga di Jepara, dia kemudian wafat pula di Isfahan, Parsi.
Dalam penyebaran Islam di Jepara, Syekh Khaliqul Idrus sebenarnya tidak banyak memilik peran, hanya saja dari keturunannyalah kemudian Islam banyak menyebar di tanah Jawa, yaitu Patih Unus. Dari pernikahan Syekh Khaliqul Idrus dengan salah seorang cucu Syekh Maulana Akbar (Syekh Jumadil Qubro) inilah kemudian dia mendapatkan seorang putra yang kemudian dikenal dengan Raden Muhammad Yunus. Sedang Raden Muhammad Yunus kemudian menikahi salah seorang putri Majapahit hingga mendapat gelar Wong Agung Jepara. Pernikahan Raden Muhammad Yunus dengan putri Majapahit di Jepara ini kemudian melahirkan Raden Abdul Qadir yang menjadi menantu Raden Patah. Dalam susunan kerajaan Demak, Raden Abdul Qadir kemudian dikenal sebagai Adipati bin Yunus atau lebih dikenal dengan sebutan Pati Unus. Setelah Raden Patah wafat, Pati Unus inilah yang kemudian menggantikannya. Itu sebab Raden Abdul Qadir kemudian juga dikenal dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor.

13. Maulana Ishaq
Kedatangan Maulana Ishaq bersama kakaknya, Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) dan kakeknya (Syekh Jumadil Qubro) ke tanah Jawa. Hanya saja, kedatangan mereka kemudian terpecah guna menyebarkan ajaran Islam. Pada perpecahan ini, Maulana Ishak kemudian menuju ke kerajaan Persia, Aceh-Sumatera.
Maulana Ishaq sendiri adalah keturunan Nabi Muhammad dari Husein bin Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian, Maulana Ishaq adalah putra dari Zainal Alam Barakat bin Jamaluddin Akbar al-Husaini (Jumadil Qubro) bin Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan) bin Abdullah (al Azhamat) Khan bin Abdul Malik (Ahmad Khan) bin Alwi Ammi al Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi ats Tsani bin Muhammad Sahibus Saumiah bin Alwi Awwal bin Ubaidullah bin Ahmad al Muhajir bin Isa ar Rummi bin Muhammad al Naqib bin Ali al Uraidhi bin Ja’far ash Shadiq bin Muhammad al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (sepupu Nabi Muhammad).
Dalam siar Islamnya, Maulana Ishaq setelah menyebarkan ajaran Islam di kerajaan Persia, kemudian menuju gua gunung Selangu, Blambangan untuk menyendiri dan mendekatkan diri kepada Allah. Di Blambangan, Maulana Ishaq akhirnya menikahi Dewi Sekardadu, seorang putri raja Blambangan Prabu Menak Sembuyu. Pernikahan diantara keduanya dimulai ketika Maulana Ishaq berhasil menyembuhkan penyakit Dewi Sekardadu. Dan setelah pernikahannya berlanjut, Maulana Ishaq akhirnya diangkat menjadi Adipati Blambangan.
Melihat keberhasilan Maulana Ishaq dalam segala hal, membuat Patih Bajul Senggara iri hati. Yaitu selain dirinya yang juga mengharapkan Dewi Sekardadu menjadi istrinya, juga Maulana Ishaq menjadi lebih dipercaya oleh Prabu Menak Sembuyu. Itu sebabnya, banyak pengikut Maulana Ishaq kemudian diculik dan disiksa dengan tanpa sepengetahuan rajanya.
Melihat keganasan Patih Bajul Senggara, membuat Maulana Ishak untuk memilih meninggalkan Blambangan demi rakyatnya yang tidak bersalah. Sedang di sisi lain, Patih Bajul Senggara sudah menghasut rajanya guna dapat menghabisi Maulana Ishaq.
Maulana Ishaq pun akhirnya meninggalkan Blambangan dengan kondisi Dewi Sekardadu yang sedang mengandung tujuh bulan. Sesaat sebelum kepergian Maulana Ishaq, dia berpesan kepda istrinya untuk menamai anaknya kelak sebagai Raden Paku jika seorang laki-laki, sedang jika perempuan, terserah kepada istrinya.
Maulana Ishaq kemudian melanjutkan misi dakwahnya ke kerajaan Pasai. Sedang di kerajaan tersebut, Maulana Ishaq kemudian dikenal sebagai Syekh Maulana Awalul Islam. Dan ketika Raden Paku telah beranjak dewasa, bersama dengan Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) dianjurkan oleh Raden Rahmad (Sunan Ampel) untuk pergi menemui pamannya di kerajaan Pasai sebelum berangkat ke Mekah. Di kerajaan Pasai tersebut kemudian Maulana Ishaq bertemu kembali dengan anaknya dan kembali ke Gresik setelah Giri Kedaton berhasil dibangun oleh Raden Paku.