Selasa, 28 Juli 2009

Kelompok Islam Dunia

Golongan Islam Dunia


Indonesia tentu tidak dapat dipisahkan dengan Islam. Hal ini tentu sangat berhubungan dengan pejuang Islam yang berhasil mengembalikan manusianya mengenal Allah Swt. Namun demikian —dengan berkembangnya zaman— Islam di Indonesia kini kemudian menjadi terpecah. Dan celakanya, perpecahan ini pun tidak hanya terjadi di Indonesia saja, melainkan hampir di seluruh dunia. Itu sebab, dalam pembahasan ini akan mencoba mencatatkan kembali sejarah tentang bagaimana kondisi Islam pada awalnya.
Seluruh penganut Islam pasti setuju bahwa Nabi Muhammad adalah benar dalam menjalankan segala kebijakan pemerintahnya dan ajaran akan ketuhanannya. Itu sebab, Islam yang memiliki pemimpin mutlak dapat dengan mudah disatukan kekuatannya hingga Islam sendiri dengan mudah berkembang hampir di seluruh belahan dunia, baik melalui cara peperangan maupun perdamaian. Namun kekuatan dan kekuasaan yang besar ini tidak berlangsung lama setelah sepeninggal Nabi Muhammad.
Kekuatan yang sebelumnya utuh, kemudian menjadi retak karena beberapa faktor yang terjadi di internal masing-masing kelompoknya. Bahkan terpecahnya kekuatan Islam ini sebelumnya juga pernah disampaikan oleh Nabi Muhammad sendiri.
Nabi Muhammad berkata, “Umatku akan terpecah-pecah menjadi 73 golongan, semuanya akan di tempatkan di neraka, kecuali 1 golongan saja.” “Apa yang satu golongan itu?” Tanya seorang sahabat. Nabi Muhammad Saw. menjawab: “Kelompok Ahlussunah wal jamaah.” Sahabat bertanya lagi. “Siapakah mereka?” Nabi Muhammad Saw. menjawab: “Mereka yang taat pada sunnahku dan sunnah al Khulafa’ al Rasyidin.” (Prof. Dr. Jaih Mubarok, M.Ag. dalam “Sejarah Peradaban Islam”, h. 83-84)
Pemerintahan dalam bentuk Khilafah (sesudahku) akan berlangsung selama 30 tahun, setelah itu akan menjadi kerajaan. (Prof. Dr. Jaih Mubarok, M.Ag. dalam “Sejarah Peradaban Islam”, h. 84)
Dari Imam al Bazzar meriwayatkan dari Abu Ubaidah Ibn al Jarah yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Sesungguhnya fase awal agama kalian dimulai dengan fase kenabian dan rahmah, setelah itu fase Khilafah dan rahmah, tetapi kemudian menjadi kerajaan yang penuh dengan pemaksaan (atau tidak rahmah).” (Prof. Dr. Jaih Mubarok, M.Ag. dalam “Sejarah Peradaban Islam”, h. 84-85)
Meski kini Islam terpecah dalam berbagai kelompok, secara garis besar, Islam dapat digolongkan ke dalam enam golongan, yaitu Syiah, Sunni, Khawarij, Mutajiah, Murjiyah, dan Ibadi.

A. Syiah
Dalam hal berpandangan mengenai Syiah, banyak golongan yang menolaknya lantaran dinilai berbeda dengan mazhab Sunni (Ahlus Sunnah Wal Jamaah). Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri menghimbau kepada umat Islam Indonesia yang bermazhab Sunni agar meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya faham yang didasarkan atas ajaran Syiah.
Dalam Rapat Kerja Nasional bulan Jumadil Akhir 1404 H atau yang bertepatan pada bulan Maret 1984, MUI akhirnya berpandangan bahwa terjadi perbedaan antara Syiah dan Sunni yang menganut paham “Ahlus Sunnah Wal Jamaah”. Pertama, penolakan Syiah terhadap hadis yang tidak diriwayatkan oleh Ahlu Bait, sedangkan Sunni tidak membeda-bedakan asalkan hadis itu memenuhi syarat ilmu mustalah hadis. Kedua, Syiah memandang bahwa Imam itu termasuk orang suci, sedangkan Sunni hanya memandangnya sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kekhilafan (kesalahan). Ketiga, Syiah tidak mengakui Ijma’ tanpa adanya Imam, sedangkan Sunni mengakui Ijma’ tanpa mensyaratkan ikut sertanya Imam. Keempat, Syiah memandang bahwa menegakkan kepemimpinan/pemerintahan (imamah) adalah termasuk rukun agama, sedangkan Sunni hanya memandang dari segi kemaslahatan umum dengan tujuan keimamahan adalah untuk menjamin dan melindungi dakwah dan kepentingan ummat.
Pada dasarnya, Syiah hanya mengikuti Islam sesuai yang diajarkan oleh Nabi Muhammad dan Ahlul Bait-nya. Itu sebab, Syiah menolak kepemimpinan dari tiga Khalifah Sunni pertama. Itu sebab, dilihat secara umum, Syiah tentu tidak mengakui keberadaan kekhalifahan Abu Bakar as Siddiq, Umar Ibnul Khattab, dan Utsman bin Affan. Hal ini tentu sudah sangat berbeda dengan Sunni yang mengakui keempat Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bin Abi Thalib).
Menurut etimologi bahasa Arab, Syiah memiliki arti “pembela dan pengikut seseorang”. Sedang “Syiah” sendiri adalah bentuk pendek dari kalimat “Syiah Ali”, yaitu “pengikut Ali”. Selain itu, Syiah juga dapat diartikan sebagai kaum yang berkumpul di atas suatu perkara. Dari pandangan lainnya, Syiah diartikan sebagai yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib sangat utama diantara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau.
Syiah percaya bahwa keluarga dan keturunan Nabi Muhammad adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Quran dan Islam, yaitu sebagai guru terbaik masalah Islam setelah Nabi Muhammad serta pembawa dan penjaga terpercaya tradisi Sunnah. Itu sebab, Syiah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan menantu Muhammad dan kepala keluarga Ahlul Bait adalah sah sebagai penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad, bukan yang sebelumnya. Bahkan Syiah menyakini bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi Muhammad. Itu berarti, sebagai perintah Nabi adalah juga sebagai bagian wahyu dari Allah.
Meski Islam sendiri kemudian terpecah ke berbagai mazhab, hal ini pun kemudian terjadi pada diri Syiah. Dalam hal masalah imamah, Syiah pun kemudian terbagi ke berbagai golongan. Namun demikian, dengan tanpa memperhatikan perbedaannya, Syiah mengakui otoritas Imam Syiah (juga dikenal dengan Khalifah Illahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun terdapat pandangan berbeda dari masing-masing golongan yang terdapat dalam Syiah perihal pengganti para Imam selanjutnya. Dalam keotoritasannya tersebut, Syiah sepakat menjalankan ushuluddin (pokok-pokok agama) dan furu’uddin (masalah penerapan agama) yang sama. Sedang dalam pelaksanaan pokok-pokok agama tersebut, Syiah kemudian menerapkannya ke dalam Tauhid (bahwa Allah Swt adalah Maha Esa), al ‘Adl (bahwa Allah Swt adalah Maha Adil), an Nubuwwah (bahwa kepercayaan Syiah pada keberadaan para nabi sama seperti muslimin lain), al Imamah (bahwa bagi Syiah berarti pemimpin urusan agama dan dunia, yaitu seorang yang bisa menggantikan peran Nabi Muhammad Saw. sebagai pemelihara syariah Islam, mewujudkan kebaikan dan ketenteraman umat), dan al Ma’ad (bahwa Syiah mempercayai kehidupan akhirat).
Sedang dalam perpecahan dalam tubuh Syiah sendiri kemudian dikenal dalam tiga golongan yang meliputi Dua Belas Imam, Ismailiyah, dan Zaidiyah.

1. Dua Belas Imam

Di dalam tubuh Syiah, hal yang paling menonjol adalah hal masalah kepemimpinan. Golongan ini merupakan golongan yang memiliki pengikut terbanyak. Lebih dikenal dengan Imamiah atau Itsna Asyariah (Dua Belas Imam), adalah golongannya yang meyakini 12 Imam yang dinilai sah dalam memimpin muslimin. Dimulai dari Imam Ali dan diakhiri oleh Imam Mahdi al Muntazhar, yaitu Imam Mahdi yang ditunggu. Dari paham dan keyakinan golongan inilah kemudian ada anggapan bahwa akan turun dikemudian hari (pada hari kiamat) Imam Mahdi yang sebagai juru selamat seluruh umat.
Pada dasarnya, pengikut ajaran Syiah Itsna Asyariah juga mendasarkan hukum mereka (Syariah) sama seperti Sunni, yaitu pada al Quran dan Sunnah Rasul. Hanya saja, Syiah Itsna Asyariah beranggapan bahwa Imam atau pemimpin umat tidaklah dapat dipilih secara demokrasi (pemilu), melainkan sebuah jabatan yang langsung diturunkan dari Allah Swt. Pengikut Itsna Asyariah mempercayai bahwa sistim kepemimpinan yang disebut imamah yang berasal dari Nabi Muhammad bertugas untuk memimpin umat Islam dengan petunjuk dari Allah Swt. Dan dalam prinsip ajarannya menyebutkan bahwa sesungguhnya Allah tidak akan membiarkan umat Islam tanpa pemimpin. Itu sebab, dalam aliran ini mempercayai bahwa Imam terbebas dari dosa dan dianggap suci. Lantaran menganggap jabatan Imam adalah langsung dari ilham yang didatangkan oleh Allah, maka setiap Imam akan berwasiat dalam pemilihan Imam selanjutnya.
Selain permasalahan tersebut, hal yang lainnya adalah masalah pengambil hadis yang hanya dari Nabi Muhammad dan para Ahlul Bait dan penolakan hadis dan contoh yang diriwayatkan oleh Abu Bakar, Umar, dan Usman.
Berikut adalah yang dipercaya sebagai Imamnya setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw.
1. Ali Amirul Mukminin bin Abi Thalib (600–661)
2. Hasan al Mujtaba bin Ali (625–669)
3. Husain asy Syahid bin Ali (626–680)
4. Ali Zainal Abidin bin Husain (658–713)
5. Muhammad al Baqir bin Ali (676–743)
6. Jafar ash Shadiq bin Muhammad (703–765)
7. Musa al Kadzim bin Jafar (745–799)
8. Ali ar Ridha bin Musa (765–818)
9. Muhammad al Jawad at Taqi bin Ali (810–835)
10. Ali al-Hadi bin Muhammad (827–868)
11. Hasan al Asykari bin Ali (846–874)
12. Muhammad al Mahdi bin Hasan (868—)
Dalam penyebarannya, Itsna Asyariah kemudian meluas hingga wilayah Arab Saudi, Iran, Irak, Pakistan, India, Afganistan, Azerbaijan, Kuwait, Bahrain, Lebanon, Tajikistan, Turkmenistan, Uzbekistan, Kirgiztan, Kazakhstan, dan Rusia.

2. Ismailiyah
Setelah mazhab Dua Belas Imam (Itsna Asyariah), yang kemudian menjadi mazhab dengan jumlah penganut kedua terbesar dalam Syiah adalah Ismailiyah, yaitu golongan yang para pengikutnya mengakui keimaman Ismail bin Jafar sebagai penerus dari Jafar ash Shadiq. Hal ini tentu berbeda dengan mazhab Itsna Asyariah yang menerima Musa al Kadzim sebagai Imam mereka. Itu sebabnya, Ismailiyah kemudian dikenal dengan nama “Mazhab Tujuh Imam”, yaitu menerima keenam Imam Syiah terdahulu imam ketujuh ialah Ismail. Urutan imam mereka yaitu:
1. Ali Amirul Mukminin bin Abi Thalib (600–661)
2. Hasan al Mujtaba bin Ali (625–669)
3. Husain asy Syahid bin Ali (626–680)
4. Ali Zainal Abidin bin Husain (658–713)
5. Muhammad al Baqir bin Ali (676–743)
6. Jafar ash Shadiq bin Muhammad (703–765)
7. Ismail bin Jafar (721–755)
Meskipun terdapat beberapa kelompok pecahan dalam Ismailiyah, kaum penganut Ismailiyah umumnya dapat ditemukan di India, Pakistan, Suriah, Lebanon, Israel, Arab Saudi, Yaman, Tiongkok, Yordania, Uzbekistan, Tajikistan, Afghanistan, Afrika Timur, dan Afrika Selatan. Selain itu, Ismailiyah pun menyebar hingga ke Eropa, Australia, Selandia Baru, dan Amerika Utara.

3. Zaidiyah
Meski tergolong Syiah, Zaidiyah kemudian disebut juga Lima Imam lantaran merupakan pengikut Zaid bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib sebagai Imam kelima. Dalam penerimaan Imam, Zaidiyah dinilai lebih moderat lantaran dapat menerima Imam sebelum Ali. Di sisi lain, perbedaan dengan Syiah lainnya adalah bahwa lebih menerima Zaid bin Ali sebagai Imam kelima ketimbang saudaranya Muhammad al Baqir. Berikut adalah urutan Imamnya
1. Ali Amirul Mukminin bin Abi Thalib (600–661)
2. Hasan al Mujtaba bin Ali (625–669)
3. Husain asy Syahid bin Ali (626–680)
4. Ali Zainal Abidin bin Husain (658–713)
5. Zaid bin Ali (658–740)

B. Sunni
Pada dasarnya, hubungan antara Sunni dan Syiah banyak terdapat perbedaan sejak masa awal terpecahnya secara politis dan ideologis antara para pengikut Bani Umayyah dan para pengikut Ali bin Abi Thalib. Sebagian Sunni menganggap Syiah tumbuh dimulai ketika seorang Yahudi bernama Abdullah bin Saba yang menyatakan dirinya masuk Islam mulai mendakwakan kecintaan dan terlalu memuja-muji Ali bin Abi Thalib. Abdullah bin Saba kemudian menganggap bahwa Ali yang berhak menjadi Khalifah selanjutnya.
Penggunaan nama Sunni diambil dari nama Ahl al Sunnah wa al Jamaah atau Ahlus Sunnah wal Jamaah yang kemudian lebih sering disingkat Ahlul Sunnah. Sunni sendiri merupakan mazhab yang memiliki banyak penganut, yaitu mencapai 90% dari umat Islam di dunia dan ±10% adalah penganut Syiah
Seperti yang disebutkan sebelumnya, perpecahan antara Syiah dan Sunni berinti dari pemimpin Islam setelah kematian Nabi Muhammad. Setelah Nabi Muhammad Saw. wafat, banyak percekcokan yang melibatkan banyak golongan yang kemudian terbaggi dalam golongan Muhajirin dan Anshar. Melihat permasalahan yang tidak kunjung mendapatkan jalan tengah, para sahabat pun kemudian menjadi ketakutan akan menjadi perpecahan dalam Islam dan mengakibatkan perang saudara antar Muhajirin dan Anshar. Setelah melalui beberapa fase, kemudian disepakati Abu Bakar sebagai Khalifah.
Dalam perkembangannya, perpecahan dalam tubuh Islam pun kemudian mulai tercium, terlebih lagi permasalahan ini mengakibatkan terbunuhnya Utsman bin Affan oleh kelompok Abdullah bin Saba yang menghendaki Ali sebagai Khalifah selanjutnya. Telah diketahui sebelumnya bahwa Abdullah bin Saba dalam menjaring agamanya mulai menjadi kewalahan yang melihat Islam semakin membesar. Itu sebab, Abdullah bin Saba kemudian memutuskan diri untuk menjadi Islam. Abdullah bin Saba pun kemudian dinilai telah berhasil membangun pemahaman yang sesat untuk mengadu domba umat Islam untuk menghancurkan Islam dari dalam.
Segera setelah kematian Utsman, Ali pun kemudian diangkat menjadi penerusnya dan mendapatkan tugas berat dalam menanggapi kematian Utsman. Melihat kejadian tersebut, Ali yang ketika itu sudah menjabat sebagai Khalifah mencoba mencari jalan yang lebih damai ketimbang saling membangun kekuatan dan berperang sesama Islam. Hanya saja, pengikut setia Utsman, terutama Bani Umayyah pun terus menuntut Ali agar segera menghukum para pembunuh Utsman. Dari perbedaan pandangan tersebut, Bani Umayyah yang saat itu dipimpin oleh Muawiyah pun kemudian memilih keluar dari kekuasaan Khalifah Ali.
Awal dari perpecahan ini kemudian banyak melibatkan para pejuang Islam semenjak Abu Bakar hingga Utsman. Bahkan perpecahan ini pun kemudian menjadi perang saudara yang pertama terjadi di antara para pengikut setia Nabi Muhammad. Terlebih lagi, Aisyah, Thalhah, dan Zubair pun kemudian terlibat peperangan dengan Ali yang kemudian dikenal dengan sebutan Perang Jamal atau Perang Unta.
Dalam rangkaian waktu yaitu setelah kematian Ali di tangan Bani Khawarij, Sunni pada masa kekuasaan Bani Umayyah pun masih dalam keadaan mencari bentuk. Itu sebab, dalam Sunni pun kemudian mengikuti empat mazhab yang berlatar belakang berbeda. Diantaranya adalah Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali. Meski terdapat empat mazhab yang berbeda, perbedaan tersebut tidak bersifat fundamental. Perbedaan ini tentu tidak mencakup permasalahan pokok keimanan tapi lebih pada tata cara ibadah.

1. Hanafi

Mazhab ini didirikan oleh Imam Hanafi (Abu Hanifah) yang dikenal sebagai mazhab yang paling terbuka untuk masalah pemikiran modern. Didirikan oleh Imam Abu Hanifah, Mazhab Hanafi kemudian menjadi paling dominan di dunia Islam, yaitu hingga 45%. Sedang yang menjadi penganutnya banyak terdapat di Asia Selatan (Pakistan, India, Bangladesh, Sri Lanka, dan Maladewa), Mesir bagian Utara, Bagdad, separuh Irak, Syria, Libanon dan Palestina (campuran Syafii dan Hanafi), Kaukasia (Chechnya, Dagestan).
Nama asli Abu Hanifah sendiri adalah An Nu’man bin Tsabit bin Nu’man Zuwatho yang dilahir di Kufah, Iraq pada tahun 80 Hijriah, yaitu 70 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad. Abu Hanifah sendiri berasal dari keturunan bangsa Persia yang diyakini mengalami dua masa khilafah (Bani Umaiyah dan Bani Abbasiyah). Sedang tahun kemtiannya sendiri adalah pada tahun 150 Hijriah.
Meski Abu Hanifah adalah ahli fiqih dari penduduk Irak, Abu Hanifah pun berprofesi sebagai pedagang kain di Kufah. Itu sebab, sebagai ahli dalam ilmu fiqh, Abu Hanifah kemudian dipercaya sebagai seorang yang pertama menyusun ilmu fiqh hingga seperti yang kini diajarkan atau dengan gelarnya “Wadi’ ilmu fiqh”.

2. Maliki
Mazhab yang didirikan oleh Imam Malik ini diyakini telah diikuti oleh sekitar 15%-20% muslim di seluruh dunia. Mazhab ini dominan di negara-negara Afrika Barat dan Utara, meliputi pula Tunisia, Maroko, al Jazair, dan Mesir Atas. Mazhab ini memiliki keunikan dengan menyodorkan tatacara hidup penduduk madinah sebagai sumber hukum karena Nabi Muhammad hijrah, hidup dan meninggal di sana dan terkadang kedudukannya dianggap lebih tinggi dari Hadis. Dalam hal menjalankan Islam, selain meniru gaya Madinah, mazhab ini juga berpegang pada Al Quran, Hadis Rasul, Ijma’ ahlul Madinah, Qiyas, dan Istilah.
Mazhab ini pada dasarnya diikuti dari pendahulunya, yaitu Malik bin Anas bin Malik bin ‘Amr al Imam atau juga dikenal dengan nama Abu ‘Abdullah al Humyari al Asbahi al Madani. Kelahirannya sendiri diperkirakan di Madinah pada tahun 93 Hijriah dan meninggal pada tahun 179 Hijriah.
Dengan berkembangnya fiqh Islam dari Malik bin Anas, menyebabkan mazhabnya pun kemudian banyak menyebar dan mempengaruhi kawasan Hijaz. Itu sebab, Malik bin Anas pun kemudian mendapatkan julukan “pemimpin ahli fiqh di seluruh daerah Hijaz” atau “Sayyid Fuqaha al Hijaz”.

3. Syafii
Sunni dianggap sebagian umum sebagai golongan yang bertindak fleksibel. Namun demikian, meski fleksibel tentu tidak menjadikan Islam keluar dari Quran dan Hadis. Hal ini tentu menjadi sangat rumit terlebih Sunni juga kemudian tergolong kembali ke dalam berbagai mazhab. Seperti halnya mazhab-mazhab sebelumnya, Mazhab Syafii mulai dikenalkan oleh Imamnya, yaitu Imam Syafii yang kemudian menjadi sebagian dari golongan Islam Sunni. Pemikiran mazhab ini diawali oleh Imam Syafii, yang hidup di zaman pertentangan antara aliran Ahlul Hadis dan Ahlur Ra’yi.
Pada dasarnya, mazhab ini adalah mazhab yang berada di antara kedua kelompok antara Abu Hanifah (Mazhab Hanafi) dan Imam Malik (Mazhab Maliki). Dan dengan sikapnya tersebut, Mazhab Syafii kemudian tersebar hingga Turki, Irak, Syria, Iran, Mesir, Somalia, Yaman, Indonesia, Thailand, Singapura, Filipina, Sri Lanka, dan dijadikan mazhab resmi negara Malaysia dan Brunei.
Dalam pelaksanaan dasar-dasar mazhab ini, Syafii masih berpegang pada al Quran, Sunnah Rasul, Ijma’ atau kesepakatan para Sahabat Nabi yang bukan kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum, dan Qiyas.
Penyebarluasan pemikiran Mazhab Syafii berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki yang banyak dipengaruhi oleh kekuasaan kekhalifahan. Sedang pokok pikiran dan prinsip dasar Mazhab Syafii disebarluaskan dan dikembangkan oleh para muridnya. Itu sebab banyak tokoh yang kemudian pula dikenal kalangan luas yang turut menyebarkan mazhab ini. Diantaranya adalah Yusuf bin Yahya al Buwaiti, Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al Muzani, Ar Rabi bin Sulaiman al Marawi, Imam Abu al Hasan al Asy’ari, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Nasai, Imam Baihaqi, Imam Turmudzi, Imam Ibnu Majah, Imam Tabari, Imam Ibnu Hajar al Asqalani, Imam Abu Daud, Imam Nawawi, Imam as Suyuti, Imam Ibnu Katsir, Imam adz Dzahabi, Imam al Hakim, dan lainnya.
Mazhab Syafii pada umumnya dianggap sebagai mazhab yang paling konservatif di antara mazhab-mazhab fiqh Sunni lainnya. Dari mazhab ini berbagai ilmu keislaman telah bersemi berkat dorongan metodologi hukum Islam yang dikembangkan para pendukungnya. Karena metodologinya yang sistimatis dan tingginya tingkat ketelitian yang dituntut oleh Mazhab Syafii, terdapat banyak sekali ulama dan penguasa di dunia Islam yang menjadi pendukung setia mazhab ini. Di antara mereka bahkan ada pula yang menjadi pakar terhadap keseluruhan mazhab-mazhab Sunni di bidang mereka masing-masing.
Perihal kelahiran pembawa mazhab ini, banyak para ahli sejarah berpendapat bahwa Imam Syafii lahir di Gaza, Palestina, dan ada pula yang menyatakan bahwa Imam Syafii lahir di Asqalan, yaitu sebuah kota yang berjarak sekitar tiga farsakh dari Gaza. Sedang pendapat lainnya menyatakan bahwa Imam Syafii di lahirkan di Khuzzah. Imam Syafii atau Muhammad bin Idris asy Syafii dilahir pada tahun 150 Hijriah yang bertepatan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah. Sedang Imam Syafii sendiri merupakan keturunan dari al Muththalib (Bani Muththalib).
Dalam hal pengajaran Islamnya, Imam Syafii kemudian dikenal dengan ajaran “pendapat yang lama” atau Qaul Qadim dan “pendapat yang baru” atau Qaul Jadid. Perihal Qaul Qadim dan Qaul Jadid ini diperoleh dari dua tempat yang berbeda, yaitu sebagai Qaul Qadim ketika Imam Syafii berada di Bagdad dan Qaul Jadid ketika berada di Mesir.
Imam Syafii yang telah banyak menyebar di berbagai kalangan ini kemudian meninggal di Fusthat-Mesir pada tahun 204 Hijriah atau bertepatan dengan tahun 819 Masehi.


4. Hambali
Dalam hal penyebaran Islamnya, mazhab yang dimulai oleh Imam Hambali ini merupakan mazhab yang saat ini banyak dianut di Saudi Arabia. Selain itu, mazhab ini juga dianut kebanyakan penduduk Hijaz, di pedalaman Oman dan beberapa tempat sepanjang Teluk Persia dan dibeberapa kota Asia Tengah. Sedang yang menjadi dasar-dasarnya yang pokok ialah berpegang pada Al Quran, Hadis Mursal, Hadis Marfu’, Fatwa sahabat dan mereka yang lebih dekat pada al Quran dan hadis, dan Qiyas.
Pembawa mazhab ini, Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad al Marwazi al Baghdadi dilahirkan di Marw (saat ini bernama Mary di Turkmenistan, utara Afghanistan dan utara Iran) pada 781 dan wafat pada tahun 241 Hijrah di kota Baghdad, Irak. Pada awal mula Menuntut Ilmu, Imam Hambali pertama kali menguasai al Quran dan sudah hafal pada usia 15 tahun. Diusia yang sama, Imam Hambali mulai mempelajari Hadis hingga ke Syam (Syiria), Hijaz, Yaman dan negara-negara lainnya.
Imam Hambali dalam kehidupannya kemudian menikah pada umurnya yang ke-40 tahun dan mendapatkan keberkahan yang melimpah. Beliau melahirkan dari istri-istrinya anak-anak yang shalih, yang mewarisi ilmunya, seperti Abdullah dan Shalih. Bahkan keduanya sangat banyak meriwayatkan ilmu dari bapaknya.
Dalam kehidupannya, setelah sepeninggal gurunya, yaitu Imam Syafii hijrah ke Mesir, Imam Syafii pun kemudian berkata “Saya keluar dari Baghdad, tidak saya tinggalkan di sana seorang yang lebih takwa, lebih wara’, dan lebih alim selain Ahmad bin Hambal, yang sungguh banyak menghafal hadis.” Sedang Imam Hambali pun kemudian wafat pada 12 Rabiul Awwal 241 Hijirah dan bertepatan dengan hari Jumat.

C. Khawarij
Pada masa pemerintahan Ali, Islam semakin banyak terpecah. Salah satunya adalah Khawarij. Berasal dari kata “kharaja” yang berarti keluar, Khawarij kemudian diartikan pula sebagai kelompok yang keluar dari kelompok dasar (kelompok Ali) dan membentuk kelompok baru. adalah sebuah golongan yang berasal dari pengikut Ali Ibn Abi Thalib yang meninggalkan jamaah karena tidak setuju dengan keputusan Ali yang menerima penyelesaian masalah peperangan melawan Muawiyah dengan cara berdamai dalam perang Siffin. Mereka dikenal juga dengan sebutan golongan al Muhakkimah. Sebutan ini didasari pada semboyannya; la hukma illah li Allah (tiada hukum kecuali hukum Allah) dan la hukama illa Allah (tidak ada pembuat hukum kecuali Allah). Dengan semboyan ini mereka menilai Ali dan Muawiyah telah mengambil keputusan di luar hukum Allah, karenanya mereka telah melakukan kesalahan, yakni melakukan arbitrase. Arbitrase, dalam pandangan Khawarij tidak memiliki landasan yang kuat dalam al Quran. Itu berarti kedua pemimpin Islam ini telah melakukan dosa besar yakni menghukum bukan dengan hukum Allah.
Mengingat tidak sepaham dengan pandangan Khawarij, Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah ibn Abi Sufyan pun kemudian dianggap telah menjadi kafir dan mereka wajib dibunuh. Sebab dalam padangan Khawarij, setiap orang yang melakukan dosa besar adalah kafir. Berdasarkan keyakinan ini maka mereka merencakan pembunuhan terhadap kedua pemimpin Islam tersebut. Namun dalam kenyataannya mereka hanya berhasil membunuh Ali bin Abi Thalib, yang dilakukan oleh Abdur Rahman bin Muljam. Sedang dalam aksi percobaan pembunuhan terhadap Muawiyah dapat digagalkan lantaran Abu Sufyan mendapatkan pengawalan yang sangat ketat.
Mendengar berita kematian Ali, Muawiyah segera memproklamirkan dirinya sebagai Khalifah selanjutnya. Melihat kegigihan dan kecakapan Muawiyah dalam bersosialisasi, Muawiyah pun kemudian mendapatkan banyak pengakuan. Namun tidak bagi Khawarij. Kelompok ini selalu menyerang dan memerangi perintah yang telah diperintah oleh Muawiyah. Meskipun semakin lama jumlah mereka semakin sedikit, namun itu tidak menyurutkan semangat mereka untuk memerangi pemerintah, sebab dalam pandangan mereka pemerintah saat itu telah menyeleweng dan tidak menjalankan hukum Allah dengan benar.
Terlepas dari permasalahan tersebut, Khawarij juga memiliki doktrin yang lain, yakni masalah iman dan kekhalifahan. Iman dalam pandangan kaum khawarij tidak boleh hanya dengan ucapan lisan semata, namun harus pula diiringi dengan amal saleh. Sedangkan masalah khalifah kaum Khawarij mengatakan bahwa khalifah untuk umat Islam harus dipilih oleh semua umat Islam di berbagai daerah. Calon yang akan menjadi khalifah tidak hanya dari golong Quraish atau Arab saja. Semua umat berhak menjadi khalifah tanpa batasan suku bangsa. Selama memiliki kapasitas untuk memimpin, maka memiliki hak intuk memimpin dan dipilih. Khalifah yang terpilih wajib ditaati oleh seluruh umat Islam selama berlaku adil dan menjalankan hukum Allah. Namun jika dianggap telah menyeleweng, maka hukumannya pun wajib dibunuh. Dalam pandangan Khawarij, Utsman ibn Affan pun kemudian dianggap sebagai kafir lantaran dinilai gagal dalam menjalankan pemerintahan yang banyak melakukan penyimpangan. Dan hal serupa ditujukan kepada Talhah, Zubeir, dan Aisyah yang memerangi kekhalifahan yang sah, yaitu menyatakan perang terhadap Ali.
Dalam hal pelaksanaan hukum Islam, Khawarij sangat keras. Doktrin Khawarij mengenai dosa besar semakin meluas yaitu meliputi setiap pelaku dosa besar yang lain juga kafir, seperti berzina, mabuk, mencuri, dan membunuh merupakan dosa yang tidak dapat diampuni dan dianggap murtad, yaitu keluar dari Islam. Namun di sisi lain, perihal pandangan ini, Khawarij pun mulai menaruh beda pandangan, yaitu sebagian mengatakan bahwa pelaku dosa ini wajib di bunuh dan sebagian lagi tidak wajib untuk dibunuh. Perbedaan pendapat tentang kafir dan tidak kafir ini menjadikan khawarij terbagi dalam beberapa kelompok, setiap kelompok mengklaim kelompoknya yang paling benar dan kelompok lain salah.
Dalam masalah keagamaan, Khawarij menjalankan al Quran sebagaimana yang ada dalam al Quran itu sendiri. Mereka sangat disiplin dengan aturan, sehingga sedikit saja melenceng dan “berkhianat” akan dihukum. Prinsip ekstrim dan fundamental Khawarij seperti tersebut di atas masih ada dan berkembang dalam masyarakat Islam saat ini. Beberapa organisasi Islam memandang mereka sebagai kelompok yang paling benar dan “mengkafirkan” golongan lain. Mereka menuduh setiap golongan yang berbeda dengan golongan mereka sebagai kaum yang tidak menjalankan ajaran Islam dengan sempurna. Seharusnya semua orang sama dengan kelompok mereka, sebab hanya dengan begitu umat Islam akan maju dan berkembang. Pandangan ini menyebabkan timbulnya pertentangan antar kelompok yang kemudian menjadikan perpecahan di kalangan umat Islam itu sendiri sheingga membuat daya tawar umat Islam lemah.
Seperti kelompok yang pernah ada sebelumnya, lantaran perbedaan pendapat tentang kafir-tidaknya seseorang, Khawarij pun mulai terpecah dalam beberapa kelompok. Diantaranya adalah Al Muhakkimah, Al Azariqah, Al Najdat, Al ‘Ajaridah, dan Al ‘Ibadiyah.

1. Al Muhakkimah

Pada dasarnya, kelompok ini adalah sebuah kelompok pertama dari terbentuknya Khawarij. Al Muhakkimah merupakan kelompok pertama yang keluar dari barisan Ali setelah perang Siffin. Mereka menganggap Ali dan Muawiyah sebagai kafir yang menjadi wajib untuk dibunuh. Hanya saja, al Muhakkimah kemudian kembali keluar dan membentuk barisannya sendiri. Keluarnya al Muhakkimah didasari oleh perbedaan pendapatnya tentang sikap Khawarij yang juga menganggap kafir yang wajib dibunuh bagi pelaku dosa besar. Al Muhakkimah memiliki pandangan yang lainnya bahwa para pelaku dosa besar ini tidak wajib dibunuh.

2. Al Azariqah
Melihat perpecahan dalam tubuh Khawarij, terlebih dengan adanya al Muhakkimah yang menyatakan keluar dari Khawarij, sebuah gerakan menentang al Muhakkimah pun kemudian juga didirikan dari dalam tubuh Khawarij dan memeranginya. Sebuah gerakan baru ini kemudian dikenal dengan Al Azariqah. Kelompok baru inilah yang kemudian menjadikan al Muhakkimah sebagai musuh internalnya yang tidak meyakini bahwa setiap pelaku dosa besar adalah syirik, dan syirik lebih berat dosanya dari kafir. Al Azariqah kemudian menjadi kelompok yang sangat keras, yaitu memandang semua orang Islam yang tidak sefaham dengannya adalah musyrik. Bahkan orang al Azariqah sendiri yang tidak mau pindah ke daerah kekuasaan mereka juga Musyrik.

3. Al Najdat
Merasa tertekan dengan keberadaan al Azariqah yang meyakini bahwa yang tidak sefaham dengannya adalah kafir dan kekal dalam neraka, maka sebagian kelompok Khawarij pun kemudian mendirikan kelompok al Najdat yang difungsikan sebagai kelompok perlawanan terhadap al Zariqah. Hal yang paling mendasari dalam pendirian kelompok al Najdat ini adalah sikap ketimpangan dalam tubuh al Zariqah, yaitu hanya menyiksa pengikutnya sendiri jika mengerjakan dosa besar yang kemudian dijanjikan akan dimasukkan dalam surga. Hal ini tentu saja menjadi tidak wajar ketika telah jelas dinyatakan bahwa pelaku dosa besar adalah kafir yang wajib dibunuh, namun hukum tersebut bertolak bagi kelompoknya sendiri. Itu sebab, al Najdat kemudian beranggapan bahwa sekecil apapun dosa, akan menjadi dosa besar apabila hanya dibiarkan, sedang pelakunya hanya akan sebagai sebagian musyrik saja.

4. Al ‘Ajaridah
Seperti al Najdat, al ‘Ajaridah pun didirikan lantaran menjawab tantangan al Azariqah yang pula menganggap seseorang yang tidak ikut dalam kekuasaannya adalah seorang kafir. Al ‘Ajaridah didirikan tentu dengan alasan sebaliknya dari al Azariqah, yaitu memperbolehkan tinggal di daerah lain selain daerah kekuasaannya. Al ‘Ajaridah juga melarang membunuh anak-anak sebab mereka tidak mewarisi dosa bapaknya. Dan hal yang menjadi menarik dalam golongan ini adalah penolakannya terhadap QS. Yusuf dan menganggap sebagai bukan sebagian dari al Quran. Al ‘Ajaridah menganggap QS Yusuf tersebut tidak lebih dari sebuah cerita romantisme percintaan.

5. Al Sufriyah
Dalam hal doktrin ajaran golongan ini, al Sufriyah mendekati dengan ajaran al ‘Ajaridah, yaitu membolehkan seseorang tinggal di luar wilayah kekuasaannya. Anak-anak pun dilarang untuk dibunuh. Hanya saja, dalam penghakiman dari dosa besar lainnya (seperti mencuri, membunuh, dan berzina), pelaku dosa tersebut mendapatkan pula hukuman di dunia sebelum di akhirat. Seseorang dianggap kafir apabila mereka meninggalkan ibadah mahdah.

6. Al ‘Ibadiyah
Salah satu kelompok ynag memecahkan diri dari berbagai pecahan Khawarij, al ‘Ibadiyah menjadikan golongan yang memiliki pemikiran dasar dari Khawarij, yaitu Islam yang tidak sefaham dengan mereka digolongkan sebagai kafir. Hanya saja, pada al ‘Ibadiyah diperbolehkan melakukan aktivitas dalam hal dagang, perkawinan, dan waris. Itu sebab, Islam yang berada di luar jalur mereka hanya wajib diperangi untuk pusat pemerintahan saja dan bukan per individu.
Meski Khawarij terpecah dalam berbagai golongan, dengan semakin berkembangnya globalisasi, hampir keseluruh golongan Khawarij tersebut sudah punah. Selain tidak dikembangkan oleh keturunannya, peperangan antar golongan dan permusuhan dengan golongan di luarnya membuat mereka terisolir dan tidak berkembang lagi. Hanya saja, hal ini tidak berlaku bagi al ‘Ibadiyah. Golongan ini masih dapat ditemui di daerah Afrika Utara dan Arabia Selatan. Bertahannya kelompok ini dikarenakan diperbolehkannya bagi individu yang tergabung di dalamnya melakukan aktivitas dalam hal dagang, perkawinan, dan waris.


D. Murji’ah
Dengan adanya kelompok Khawarij yang terbilang ekstrem, Murji’ah terlahir sebagai kelompok aliran Islam yang muncul dari golongan yang tidak sepaham dengan Khawarij. Murji’ah dalam ketidak sepahaman dengan Khawarij adalah masalh pengkafiran seseorang. Murji’ah menganggap bahwa hukuman atas perbuatan seseorang akan dilakukan di pengadilan Allah Swt. Itu sebab, Islam yang telah melakukan dosa besar pun tidak dapat dianggap sebagai kafir yang mempunyai harapan untuk bertobat dan memperbaikinya. Sebab yang berhak menjatuhkan hukuman terhadap seorang pelaku dosa hanyalah Allah Swt. dan bukan sebagian kelompok tertentu.
Dalam hal peribadatan, Murji’ah menjadikan kelompok yang jauh lebih ringan ketimbang yang lainnya, yaitu iman cukup hanya dalam hati. Dengan adanya keyakinan seperti ini, Murji’ah tidak dituntut membuktikan keimanan dalam perbuatan sehari-hari. Selama meyakini 2 kalimah syahadat, seorang Muslim yang berdosa besar tak dihukum kafir. Dalam hal keyakinan ini, banyak kalangan yang tidak dapat menerimanya lantaran dalam pelaksanaan iman pun perlu adanya perbuatan, terlebih lagi dalam hal menjalankan kewajiban beribadah terhadap Allah Swt.

E. Mu’taziliyah
Pada sekitar abad ke-2 Hijriah, Mu’taziliyah kemudian didirikan di Basra, Irak setelah Wasil bin Atha’ (700-750 M) salah satu tokoh pendirinya mulai berpisah dengan gurunya, yaitu Imam Hasan al Bashri lantaran memiliki pandangan keimanan yang berbeda. Imam Hasan al Bashri berpendapat bahwa Islam yang melakukan dosa besar masih dikatakan mukmin. Sedang Wasil bin Atha’ berpendapat bahwa Islam yang berdosa besar dikatakan sebagai fasik, yaitu bukan mukmin dan bukan pula kafir. Wasil bin Atha’ kemudian merumuskan pendapatnya dalam dua kelompok yang melibatkan janji dan ancaman. Sedang yang menjadi janji dan ancaman yang dilontarkan oleh pendiri Mu’taziliyah tersebut berkaitan dengan pendapatnya akan Allah yang tidak pernah ingkar dengan memberi pahala pada muslimin yang baik dan memberi siksa pada muslimin yang jahat. Dan dalam hal masalah pengajaran Islam yang lainnya, Mu’taziliyah memiliki pandangan terhadap Tauhid yang meliputi tidak pengakuannya terhadap sifat Allah Swt., al Quran adalah makhluk, dan Allah di alam akhirat kelak tidak dapat kembali dilihat oleh mata manusia.

F. IBADI
Ibadi adalah golongan Muslim yang bersumber pada Al-Quran dan hadits dengan fokus utama menjadi hamba Allah dengan sederhana. Golongan ini tersebar di berbagai golongan umat Islam baik Sunni maupun Syi’ah dengan berbagai mahzabnya. Aliran ini merupakan aliran yang dominan di Oman. Keyakinan kaum Ibadi adalah bahwa setiap Muslim bersaudara dan hanya Allah yang akan menjadi hakim bagi umat manusia.
Kaum Ibadi mementingkan ukhuwah islamiyyah daripada bermusuh-musuhan hanya karena berbeda mahzab atau aliran. Cukuplah keyakinan mereka mengharapkan disebut hamba-hamba Allah yang dipanggil untuk masuk ke dalam surga-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar