Minggu, 06 September 2009

Sang Nabi

Peradaban Nabi Dunia



A. Sang Nabi

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, manusia telah memiliki akal sejak lahirnya. Dan manusia bukan dari kebangsaan lainnya sepertia apa yang telah dipahami beberapa orang. Teori yang memojokkan orang tentang persamaannya akan makhluk lain (yaitu hewan) telah menjerumuskan ke dalam berbagai golongan. Meski begitu, dengan adanya teori yang diyakini telah dibawa oleh keluarga Darwin pun telah menyemangati banyak filusuf untuk mengembangkannya. Bukankah nabi juga memiliki teori-teori yang “tidak masuk akal”?

Begitulah sekiranya yang sering diungkapkan oleh para filusuf yang tidak mengakui adanya kekuasaan Tuhan. Jika para filusuf memberikan penghormatan khusus bagi Descrates dengan teorinya “aku ada maka aku ada”, maka Darwin juga mendapatkan penghormatan akan teorinya tentang “biara alam”.

Dari kesemuanya itu, teori-teori tersebut ternyata difungsikan sebagai penolakan atas ajaran-ajaran keagamaan. Itu sebabnya, mereka menolak adanya keesaan Tuhan. Di lain pihak, teori yang telah membanggakan evolusi alam telah membutakan manusia akan kehadiran “manusia suci” yang telah mengajarkan tentang kebenaran.

Teori evolusi, yang kemudian (sebagian orang) dianggap sebagai ajaran agama Darwinisme telah dibantah oleh beberapa peneliti yang akhirnya menggugurkan teori kealamannya. Namun bagi nabi, banyak yang masih mempertentangkan kebenaran dan keabsahannya. Itu sebab, manusia perlu mengetahui tentang sejarah perkembangan mereka. Berikut akan membahas sepenggal ringkasan cerita tentang para manusia (Nabi) dan ajaran keagamaannya.


B. Manusia Pilihan

Dalam kehidupan beragama, sudah menjadi kewajiban tersendiri untuk menyediakan tiga unsur pendukungnya, yaitu nabi, kitab suci, dan Tuhan itu sendiri. Namun demikian, yang menjadi manusia pilihan dalam meluruskan ajaran ketuhanan bukanlah sembaran orang. Mereka selain memberikan banyak contoh kebaikan, juga mengajarkan bagaimana cara menjalankan hidup ini dengan penuh kebenaran.

Manusia, yang dikenal dimulai sejak zaman Adam ini kemudian terpecah ke dalam berbagai wilayah di bumi ini. Dan diantara mereka, terpilih manusia yang mendapatkan rahmat dari Tuhan dan mengajarkan ajaran Tuhannya.

Berikut adalah manusia-manusia pilihan yang mengajarkan kebijakan dan kebajikan yang di torehkan dalam masing-masing kitab sucinya.

1. Wisnu

Ajaran agama yang mendasari adanya Wisnu adalah Hindhu. Wisnu dipercaya sebagai wujud Dewa yang melindungi dan memelihara Brahman (Sang Pencipta). Wisnu juga dipandang sebagai roh suci dan Dewa tertinggi. Namun, Wisnu bukanlah sebagai manusia pertama seperti yang disebutkan dalam Islam, Adam, atau bahkan sebagai Tuhannya. Hindu sendiri mempercayai adanya manusia pertama yang bernama Manu. Hal ini dipercaya akan sejarah nenek moyangnya akan peristiwa legenda banjir besar seperti yang disebutkan dalam Satapatha Brahmana. Di sini diceritakan:

Pada pagi hari mereka membawa air untuk mandi kepada Manu (nenek moyang umat manusia dan pemberi hukum yang pertama)…Ketika ia sedang mandi sendirian, seekor ikan (Wisnu dalam penjelmaannya sebagai Matsya) muncul di tangannya.

Ikan tersebut berkata kepadanya, ‘Peliharalah aku, aku akan menyelamatkanmu!’ ‘Dari apa engkau akan menyelamatkan aku?’ ‘Suatu banjir akan memusnahkan semua makhluk: dan aku akan menyelamatkanmu!’ ‘Bagaimana saya memeliharamu?’ ”

Ikan tersebut memberi petunjuk kepada Manu cara memelihara dia. “Lalu ikan tersebut berkata, ‘Pada tahun sekian banjir akan melanda. Lalu engkau datang kepadaku (sesuai nasihatku) dengan mempersiapkan sebuah perahu; dan apabila banjir tiba engkau harus masuk ke dalam perahu itu, dan aku akan menyelamatkan engkau.’ ”

Manu mengikuti petunjuk ikan tersebut, dan pada waktu banjir sang ikan menarik perahu itu ke gunung sebelah utara. Kemudian ia berkata, ‘Aku telah menyelamatkanmu. Tambatkanlah perahu ke sebuah pohon; tetapi jangan sampai air menghanyutkanmu pada waktu engkau ada di atas gunung. Bila air surut, engkau boleh turun perlahan-lahan!”1

Ajaran Hindu sendiri berasal dari sekelompok bangsa Aria yang kemudian menyetuh lembah Indus dan India. Dari sana, mereka (suku bangsa Aria) mengajarkan secara turun temurun tentang ajaran nenek moyangnya. Perlu diingat, meski Hindhu memiliki banyak Dewa yang dipercayai, namun Hindu bukanlah agama monotheisme. Hindu percaya bahwa hanya satu Tuhan yang Esa. Dan Tuhan inilah yang mengatur seluruh Dewa-dewanya. Dan sebagai Dewa yang tertinggi, dalam ajaran Hindu yang kemudian berkembang, telah mengenalkan wujud Wisnu yang terus berubah-ubah. Sebagai Dewanya yang telah menjelma sebagai manusia, Wisnu lebih dikenal dengan sebutan manusia unggul.

Konsep ketuhanan yang ditawarkan dalam ajaran Hindu adalah bersifat kekal, imanen, tak terbatas, tak berawal dan tak berakhir juga menguasai segala bentuk, ruang, waktu, energi serta jagat raya dan segala isi yang ada didalamnya. Dan sifat-sifat ini dimiliki oleh Brahman (Dewanagari) yang dipercayai sebagai penguasa tertinggi dalam konsep ketuhanan Hindu. Dalam kitab Bhagavad Gītā dan dijabarkan melalui perantara Sri Kresna,

Beliau memiliki tangan, kaki, mata, kepala, dan muka yang berada dimana-mana, dan Beliau memiliki telinga di segala penjuru. Ia berada dalam segala sesuatu dan meliputi alam semesta,

Beliau sumber asli segala indria, namun tanpa memiliki indria. Beliau tidak terikat, walau Beliau memelihara semua makhluk. Beliau melampaui sifat-sifat alam, dan pada waktu yang sama Beliau adalah penguasa semua sifat alam material,

Beliau berada di luar dan di dalam segala insan, tidak bergerak namun senantiasa bergerak, Beliau di luar daya pemahaman indria material. Beliau amat jauh, namun juga begitu dekat kepada semua makhluk,

Walaupun Beliau terbagi di antara insani, namun Beliau tidak dapat dibagi. Beliau mantap sebagai Yang Maha Tunggal. Beliau pemelihara segala makhluk, dan Beliau menciptakan sekaligus memusnahkan mereka,

Beliau adalah sumber dari segala benda yang bercahaya. Baliau di luar kegelapan alam dan tidak terwujud. Beliau adalah pengetahuan dan tujuan pengetahuan. Beliau bersemayam di dalam hati sanubari segala makhluk.2

Itu sebabnya, Wisnu sebagai roh suci yang melindungi dan memelihara ciptaan Brahman (Tuhan yang Esa), pada tugasnya berwujud selain sebagai Dewa itu sendiri juga sebagai hewan maupun manusia. Dalam Veda, Wisnu muncul tidak sebagai salah satu dari delapan Aditya, namun sebagai pemimpin mereka. Karena mampu melangkah di tiga alam, maka Wisnu dikenal sebagai “Tri-wikrama” atau “Uru-krama” untuk langkahnya yang lebar. Langkah pertamanya di bumi, langkah keduanya di langit, dan langkah ketiganya di dunia yang tidak bisa dilihat oleh manusia, yaitu di surga. Dan dalam kitab Purana, Dewa Wisnu sering muncul dan menjelma sebagai seorang Awatara, seperti misalnya Rama dan Kresna, yang muncul dalam Itihāsa. Dalam penitisannya tersebut, Wisnu berperan sebagai manusia unggul.

Awatara dalam Purana adalah Wisnu yang turun ke dunia untuk menyelamatkan dunia dari kejahatan dan kehancuran. Wujud dari penjelmaan Wisnu tersebut beragam, hewan atau manusia yang umum dikenal oleh umat Hindu berjumlah sepuluh yang disebut Dasa Awatara atau Maha Avatār. Berikut kesepuluh Awatara Wisnu:

  1. Matsya (Sang Ikan)
  2. Kurma (Sang Kuar-kura)
  3. Waraha (Sang Babi Hutan)
  4. Narasimha (Sang Manusia-Singa)
  5. Wamana (Orang Cebol)
  6. Parasurama (Sang Brahmana-Ksathriya)
  7. Rama (Sang Pangeran)
  8. Kresna (Sang Pengembala)
  9. Budha (Sang Pemuka Agama)
  10. Kalki (Sang Penghancur/Petunjuk Yang Maha Agung)

Di antara sepuluh awatara tersebut, sembilan di antaranya diyakini sudah menjelma dan pernah turun ke dunia oleh umat Hindu, sedangkan awatara terakhir (Kalki) masih menunggu hari lahirnya.

Keyakinan akan kesembilan Awatara ini telah diturunkan adalah dimulainya Wisnu dalam wujud ikan (Matsya). Dan hal ini dapat dilihat seperti yang dikutipkan dari Satapatha Brahmana sebelumnya. Sedang Awatara ke sembilan, di sana telah disebutkan Budha Awatara sebagai penjelmaan Wisnu sebagai manusia (selain Wamana hingga Kresna). Budha Awatara diyakini sebagai Sang Pemuka Agama. Dan hal ini mengingatkan akan kelahiran Budha yang sebagai manusia suci Budha dalam menyampaikan ajaran-ajarannya. Dan jika Budha dipercaya sebagai Awatara yang selanjutnya, mengapa Hindhu tidak mengikuti jejak Budha dengan ajarannya yang baru? Perhatikan pula dalam ajaran Budha yang juga akan dibahas.

Seperti yang disebutkan, Awatara yang kesepuluh diyakini Hindhu masih ditunggu. Mungkin itu sebab Hindhu tidak dapat mengikuti Budha dengan ajaran-ajarannya. Namun demikian, bagaimana jika Wisnu telah datang dan menjelam di Bumi ini? Apakah Hindu akan hilang dan berbondong-bondong mengikuti Wisnu dalam wujudnya sebagai Awatara yang kesepuluh, Kalky Awatara?


2. Musa

Nabi orang Yahudi, Nabi Musa, diperkirakan terkenal pada abad ke-13 SM, bersamaan dengan masa Ramses II dan dianggap pimpinan perpindahan besar-besaran bangsa Israel dari Mesir. Musa wafat pada tahun 1237 SM. Pada masa hidupnya, seperti dijelaskan dalam kitab Keluaran, ada kelompok orang Yahudi yang menentangnya. Akan tetapi, tidak kurang dari lima abad lamanya, Musa dipuja-puja oleh orang Yahudi. Mendekati tahun 500 M, kemasyuran dan nama baiknya menyebar luas ke seluruh Eropa bersamaan dengan agama Nasrani. Meski Musa dipercaya sebagai pembawa agama bagi Yahudi, tapi Musa sendiri bukan orang Yahudi, tapi dilahirkan sebagai orang Mesir. Nama Musa sendiri berarti “anak” atau “anak lelaki”.

Pada umumnya, ada tiga prestasi besar yang dihubungkan dengan tindakan Musa. Pertama, dia dianggap tokoh politik yang memimpin bangsa Yahudi melakukan perpindahan besar-besaran dari Mesir. Dalam hal ini, jelas memang dia layak mendapatkan penghargaan itu. Kedua, dia berhasil sebagai penulis jilid pertama dari lima buku Alkitab (Genesis, Exodus, Leviticus, Numbers, dan Deuteronomy), yang sering dikaitkan dengan “Lima Buku Musa” dan menyusun Taurat Yahudi. Buku ini termasuk kitab Musa, serangkaian hukum yang menjadi dasar tingkah laku kaum Yahudi dalam Alkitab, termasuk dalam “Sepuluh Perintah Allah”. Ketiga, Musa sebagai penegak monoteisme Yahudi. Meskipun masih diragukan (karena menurut Perjanjian Lama, Abraham (Ibrahim) adalah penegak monoteisme pertama), monoteisme Yahudi akan sirna tanpa Musa dan tidak perlu dipermasalahkan lagi.

Sepuluh Perintah untuk Ibadah dan Tingkah Laku menurut (yang diproduksi ulang sebagian besar) “Pencarian Manusia Akan Allah”:

      • “Jangan ada padamu Allah lain selain aku.

      • “Jangan membuat bagimu patung, atau yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau di bumi di bawah, atau di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya…

      • “Jangan engkau bersumpah palsu demi nama Tuhan Allahmu…

      • “Ingatlah hari Sabat (Kiamat) dan peliharalah suci. …Tuhan memberkati hari Sabat dan menyucikannya.

      • “Hormatilah ayah dan ibumu…

      • “Jangan membunuh.

      • “Jangan berzinah.

      • “Jangan mencuri.

      • “Jangan bersaksi dusta terhadap sesamamu.

      • “Jangan mengingini rumah sesamamu… istri… hamba laki-laki atau perempuan… lembu atau keledainya, atau apapun milik sesamamu. – Keluaran 20: 3 -17.


3. Zoroaster (+ 628 SM)

Zoroasterisme adalah suatu agama yang tergabung dalam kelompok agama non-Semitik, Arya, dan non-Vedic, berbeda dengan agama Hindu. Ia merupakan agama yang dibawa oleh seorang nabi. Zoroasterisme merupakan agama kuno di Persia yang telah berusia 2500 tahun yang memiliki kitab-kitab suci, kitab Dasatir dan kitab Avesta. Ajaran keagamaan ini didirikan oleh “Nabi”-nya, Zoroaster.

Kitab Dasatir terbagi ke dalam “Khurdadasatir” atau “Kalan Dasatir”. Sedangkan kitab Awesta bisa terbagi lagi ke dalam “Kurdha Awesta” atau “Kalan Awesta”, atau “The Maha Awesta” atau “Zendth Awesta”. Nama lain dari agama Zoroaster ini adalah Parisisme. Zoroaster, seorang Nabi pendiri agama Parsisme ini ternyata juga seorang penulis Gathas, yang bagian tertua dari Avesta sendiri.

Zoroaster (Zarathustra dalam sebutan Iran Kuno) sepertinya dilahirkan kira-kira pada tahun 628 SM di daerah yang masih termasuk Iran Utara. Menurut kisah tradisional Iran, Zoroaster hidup hingga umur 77 tahun; kematiannya dengan begitu diperkirakan terjadi pada tahun 551 SM. Ketika sesudah dewasa, dia mengkhotbahkan agama baru yang disusunnya sendiri. Pada awalnya, dia mendapatkan pertentangan, tetapi pada usia menginjak 40 tahun sudah mampu menarik penguasa di daerah utara Iran, Raja Vishtaspa.

Teologi Zoroaster merupakan campuran menarik antar monoteisme dan dualisme. Dalam ajaran Zoroaster, konsep monoteisme dikenalkan dengan adanya hanya ada satu Tuhan sejati yang disebut Ahura Mazda (dalam sebutan Iran modern: Ormudz). Ahura Mazda (Tuhan yang bijaksana) menganjurkan kejujuran dan kebenaran. Sedang dalam konsep dualismenya, penganut Zoroaster selain mempercayai kekuasaan Ahura Mazada, juga percaya pada Angra Mainyu (dalam istilah Persia modern: Ahriman) sebagai roh jahat yang mencerminkan kejahatan dan kepalsuan. Dalam dunia nyata, ini perlambang pertentangan abadi antara kekuatan Ahura Mazda (Tuhan) di satu pihak dan Angra Mainyu (Iblis atau Setan). Penganut Zoroaster percaya bahwa dalam jangka panjang kekuatan Ahura Mazda akan keluar sebagai pemenang. Teologi mereka juga termasuk keyakinan penuh adanya hidup sesudah kematian.

Dalam masalah-masalah etika, agama Zoroaster menekankan arti kejujuran dan kebenaran. Ascetisme (hidup membiara, membujang), zina, ditentang keras. Penganut Zoroaster melaksanakan berbagai ritual ibadah agama yang menarik, beberapa diantaranya dipusatkan pada pemujaan terhadap api. Misalnya, api suci senantiasa dibiarkan berkobar dalam kuil Zoroaster. Namun, yang paling nyata dalam ibadah mereka adalah cara melenyapkan jenazah, bukan dikubur atau dibakar, melainkan diletakkan di atas menara dibiarkan habis dimakan burung pemakan bangkai. (Perhatikan tentang adat upacara pemakaman Hindu kuno ketika tidak memiliki cukup biaya untuk membakarnya, mereka meleburkan ke sungai hingga menjadi bangkai yang kemudian juga dibiarkan dimakan oleh burung pemakan bangkai).

Zoroaster banyak memberikan pengaruhnya kepada agama lain seperti Yudaisme dan Nasrani yang lebih besar daripada Manichaeisme, agama yang didirikan Mani. Yaitu ajaran tentang pertentangan antara roh baik dan roh jahat. Dan sesuai dengan ajaran bangsa Aria, yang telah meluas hingga daratan India ini ternyata telah mendapatkan pembaruan dari Zoroaster


4. Vardhamana Mahavira

Agama yang dibawa dengan lambang swastika India kuno ini didirikan pada abad keenam SM oleh pangeran India yang kaya bernama Vardhamana Mahavira (gelar yang berarti “Orang Besar” atau “Pahlawan yang Besar”).

Vardhamana, yang memiliki nama Nataputta Vardhamana ini dilahirkan sekitar tahun 599 SM di India sebelah timur laut di daerah yang sama dengan Budha Gautama dilahirkan walaupun satu generasi lebih awal. Anehnya, kehidupan kedua orang itu banyak persamaannya yang menarik. Jika Gautama dibesarkan dalam kemewahan, maka Vardhamana adalah anak bungsu dari seorang pemimpin. Tetapi pada umur tiga puluh tahun, dia menjauhkan kekayaan, keluarga (istri dan anak perempuan), lingkungan yang nyaman, dan memutuskan mencari kebenaran dan kepuasan spiritual.

Vardhamana menjadi seorang pendeta aliran Parsvanatha yang meskipun kecil, tetapi aturannya sangat keras. Dia hidup dengan menyangkal diri dan bertapa. Dia benar-benar meninggalkan semuanya, bahkan sebuah cangkir untuk minum saja dia tidak punya. Meskipun pada awalnya dia memakai baju, tetapi kemudian dia menanggalkannya (telanjang bulat) dan membiarkan badannya dirayapi serangga walaupun digigitnya.

Dia mencari pengetahuan “melewati desa-desa dan dataran-dataran rendah di India Tengah dalam upaya mencari kelepasan dari siklus kelahiran, kematian, dan kelahiran kembali”. Dia percaya bahwa keselamatan jiwa hanya dapat diperoleh melalui penyangkalan diri dan disiplin diri yang ekstrem dan penerapan Ahimsa secara ketat, yaitu tidak melakukan kekerasan terhadap semua makhluk. Jain menegaskan bahwa Ahimsa termasuk sikap tanpa kekerasan terhadap binatang dan manusia. Akibat dari kepercayaan ini, mereka menjadi “vegetarian”. Namun, penganut yang taat pada agama Jain ini melakukan lebih ekstrem: sangat harfiah; walaupun lapar, tidak akan mau makan di tempat gelap. Mereka takut kalau makan di tempat yang gelap akan memakan lalat, dan berarti telah membunuhnya. Bahkan agama Jain sering menyuruh orang lain untuk membersihkan pekarangan dan jalan-jalan agar tidak terjadi pembunuhan pada serangga yang baik secara sengaja maupun tidak.

Dalam beberapa hal doktrin Mahavira sangat mirip dengan ajaran Budha dan Hindu. Kaum Jain percaya bahwa apabila jasad manusia mati, jiwanya tidaklah mati bersama jasad, tetapi beralih (inkarnasi) ke badan lain (tidak harus manusia). Doktrin perpindahan jiwa ini adalah salah satu dasar pemikiran paham Jainis. Jainisme juga percaya pada karma, doktrin tentang etika konsekuensi dari suatu perbuatan akan menimpanya pula di masa depan. Untuk mengurangi bertambahnya beban dosa dari suatu jiwa, yakni menyucikannya, merupakan tujuan utama dari ajaran agama Jain.

Dan sebagai perjalanannya, hanya perlu diingat bahwa Jain lahir di tengah-tengah peradaban Hindu. Hanya sasja Mahavira telah melakukan perubahan seperti apa yang telah dilakukan oleh Budha. Itu sebabnya, ajaran-ajaran yang diterapkan, hampir tidak ada perbedaannya. Dan jika ingin membenarkan adanya ajaran ini, bukankah baiknya mengenal Hindu terlebih dahulu? (Lihat perkembangannya hingga Budha-Islam).


5. Siddartha “Budha” Gautama

Nama asli Budha ini adalah Siddartha Gautama, Putra Raja Kapilavastu (Suddhodana) dan Ratu Mahamaya, kerajaan Sakya, negeri timur laut India, berbatasan dengan Nepal. Gautama dilahirkan pada tahun 563 SM ini dalam istana mewah. Pada umurnya yang ke enam belas tahun, Pangeran Sidharta menikah dengan sepupunya yang sebaya dan memiliki anak pertama pada umur sekitar 29 tahun. Meski Gautama hidup dalam lingkungan kerajaan yang penuh kemewahan, Gautama merasa tidak nyaman dan tidak puas sehingga Gautama meninggalkan kehidupannya setelah tidak lama putra pertamanya dilahirkan. Gautama menyadari bahwasanya banyak orang hidup miskin terkapar di jalan-jalan dan terus menerus menderita. Bahkan untuk makan saja mereka tidak mampu. Sedangkan pada kalangan atas, mereka sering frustasi dan tidak bahagia. Gautama berpikir, bahwasanya keadaan yang seperti ini harus segera dirubah.

Keunikan yang terjadi dalam diri Gautama sudah diketahui semenjak sebelum kelahirannya atau jauh sebelum sang Ibu melahirkan. Saat itu sang Ibu, Ratu Mahamaya menghadiri acara perayaan Asalha yang dilangsungkan selama tujuh hari. Dan setelah acara tersebut selesai, Ratu Mahamaya akhirnya membersihkan diri dengan air wewangian dan mengucap janji Uposotha.

Setelah mengucapkan janji dan selesai membersihkan diri tersebut, Ratu Mahamaya masuk ke dalam kamar tidur. Dalam tidurnya, Ratu Mahamaya menemui mimpi yang luar biasa, ditemui oleh empat Dewa Agung yang kemudian mengajaknya dengan menganggkat Ratu Mahamaya ke Himava (Gunung Himalaya) dan meletakkannya di bawah pohon Sala di lereng Manosilata.

Setelah tidak berapa lama Ratu Mahamaya akhirnya dimandikan di danau Anotata dengan diberinya wewangian pada tubuhnya yang digosok oleh keempat Dewa Agung tersebut. Setelah acara pemandian selesai, Ratu Mahamaya diberikan pakaian yang biasa dikenakan oleh Dewata dan segera menggiringnya ke dalam Istana Emas.

Setelah memasuki Istana Emas, Ratu Mahamaya direbahkan di atas kamar yang sangat indah, melebihi kamar yang dimilikinya dalam istananya. Tidak lama kemudian, seekor gajah putih dengan membawa sekuntum bunga teratai di belalainya mendatangi kamar yang di tempati Ratu Mahamaya. Gajah putih tersebut kemudian mengelilingi tempat tidur yang direbahi Ratu Mahamaya sebanyak tiga kali. Dan setelah itu, gajahputih tersebut memasuki perut Ratu Mahamaya.

Sebuah kejadian yang jarang terjadi bagi manusia kala itu, Ratu Mahamaya kemudian menceritakan mimpinya tersebut kepada Raja. Tidak lama setelah mendengarkan penjelasan istrinya, Raja Suddhodana mengundang para Brahmana untuk dapat mengartikan mimpi tersebut.

Dalam penjelasan mimpinya tersebut, Ratu Mahamaya akan mendapatkan seorang keturunan yang kelak menjadi seorang Cakkavati (Rajanya Raja) atau seorang Budha. Dan sejak itu Ratu Mahamaya dinyatakan telah hamil. Dan setelah menginjak bulan kesepuluh, Ratu Mahamaya memohon kepada suaminya untuk diberikan izin bersalin di rumah Ibunya di Devadaha.

Bulan Waisak, tepat setelah Raja Suddhodana memberikan izinnya, Ratu Mahamaya kemudian melakukan perjalanan. Di tengah perjalanannya, di Taman Lumbini (sekarang Rumminde di Pejwar Nepal), Ratu Mahamaya mengumumkan untuk beristirahat sejenak. Dalam taman tersebut, Ratu Mahamaya bersantai sejenak hingga menuju pohon Sala yang kemudian perut Ratu Mahamaya merasa kesakitan.

Tepat pada bulan purnama sidhi, bulan Waisak di bawah pohon Sala tahun + 563 SM (ada yang menyebutkan 623 SM; –tepatnya sekitaran abad ke-6 SM), seorang laki-laki dilahirkan oleh Ibunya dengan keadaan bukan terlentang (kondisi melahirkan, ibunya dalam posisi berdiri). Laki-laki itu kemudian dikenal sebagai Siddartha “Budha” Gautama.

Singkat sejarah, setelah kelahiran Gautama, seorang perta Asita (yang telah diberi petunjuk oleh Dewa atas kelahiran Budha) mendatangi kediaman Raja Kapilavastu untuk dapat bertemu dengan seorang bayi laki-laki titisan Dewa tersebut. Setelah bertemu, pertapa tersebut menaruh hormat dan menjelaskan kepada Raja Kapilavastu bahwa kelah Gautama akan menjadi seorang Budha. Itu sebabnya, pertapa tersebut memberikan amanah kepada Raja Kapilavastu untuk menjaga Gautama muda akan empat perkara, diantaranya adalah orang tua, orang sakit, orang mati, dan pertapa suci. Dan jika Gautama sampai bertemu dengan keempat peristiwa (orang tersebut), maka Gautama akan segera meninggalkan istana dan menuju ke pertapaan menuju Budha.

Meski Raja Suddhodana telah menyerukan amanah pertapa Asita tersebut (untuk menghindarkan Gautama akan keempat kejadian), pada akhirnya Gautama menemui kejadian tersebut. Melihat kejadian tersebut, seperti yang diramalkan pertapa asita tersebut, gautama akhirnya memilih jalannya menuju penerangan dengan harapan Gautama menemukan obat agar manusia tidak tua, sakit, dan mati seperti yang terjadi (terutama kematian ibunya, Ratu Mahamaya setelah tujuh hari kelahiran Gautama) dan kembali terjadi pada ayahnya yang dicintainya dan rakyatnya dikemudian hari.

Sesaat setelah meninggalkan kerajaan Kapilavastu, Gautama yang awalnya disertai oleh pengawalnya, Channa pada kahirnya melepaskan seluruh kemewahan kerajaan (termasuk perhiasan dan kuda yang ditunggangi) setelah melewati perbatasan sungai Anoma. Dan setelah itu, Gautama hanya berbekal jubah luar dan dalam, kain bawahan, ikat pinggang, mangkuk makanan, pisau, jarum, dan saringan air yang telah diberikan oleh Brahma Chatikara, kemudian melanjutkan perjalanannya sendiri (saat itu Gautama baru berusia 29 tahun).

Dalam perjalanannya, Sidharta menuntut ilmu pada orang-orang bijak pada saat itu dan menyimpulkan ajaran-ajaran mereka yang beranggapan bahwa bertapa dan puasa adalah jalan menuju kearifan. Akhirnya dia sadar, bahwa penyiksaan diri adalah mengaburkan pikiran dan bukan menuntun pada kebenaran sejati.

Dalam perenungannya (di bawah pohon bodhi), Gautama yang pada saat itu berusia 35 tahun telah menemukan titik persoalan pada manusia. Dan pada saat itulah, dia memulai memberanikan menyebut dirinya Budha atau “orang yang diberi pencerahan”. Pokok ajaran Budha dapat diringkas di dalam apa yang menurut istilah penganutnya “Empat Kebajikan Kebenaran”. Pertama, kehidupan manusia itu pada dasarnya tidak bahagia; kedua, sebab-sebab ketidak bahagiaan ini adalah memikirkan kepentingan diri sendiri serta terbelenggu oleh nafsu; ketiga, pemikiran kepentingan diri sendiri dan nafsu dapat ditekan habis jika segala nafsu dan hasrat dapat ditiadakan, dalam ajaran Budha disebut Nirvana (padam atau punah); keempat, menimbang benar, berpikir benar, mengingat benar, berbicara benar, berbuat benar, mencari nafkah benar, berusaha benar, dan bermeditasi benar.

Selain hal itu, konsep yang di tawarkan dalam ajaran Budha adalah konsep Ketuhanan Yang Mahaesa. Ketuhanan Yang Mahaesa dalam bahasa Pali adalah Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang yang artinya “Suatu yang tidak dilahirkan, tidak dijelmakan, tidak diciptakan dan yang mutlak”. Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi (asamkhata) maka manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.

Berikut adalah pernyataan dari Sang Budha yang terdapat dalam Sutta Pitaka, Udana VIII: 3,

Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.3

Dengan membaca konsep Ketuhanan Yang Mahaesa ini, kita dapat melihat bahwa konsep ketuhanan dalam agama Budha adalah berlainan dengan konsep ketuhanan yang diyakini oleh manusia belakangan ini yang menganggap Budha adalah sebagai Tuhannya.

Seperti yang diketahui, agama Budha lahir di negara India, lebih tepatnya lagi di wilayah Nepal sekarang, sebagai reaksi terhadap agama Brahmanisme. Agama Budha berkembang dengan unsur kebudayaan India, ditambah dengan unsur-unsur kebudayaan Helenistik (Yunani), Asia Tengah, Asia Timur dan Asia Tenggara. Dalam proses perkembangannya, agama ini praktis telah menyentuh hampir seluruh benua Asia dan telah menjadi agama mayoritas di beberapa negara Asia seperti Thailand, Singapura, Kamboja, Myanmar, Taiwan, dan sebagainya. Pada tahun 399 M, ajaran Budha sampai ke negara Tiongkok yang dibawa oleh seorang bhiksu bernama Fa Hsien. Masyarakat Tiongkok mendapat pengaruhnya dari Tibet disesuaikan dengan tuntutan dan nilai lokal.

Setiap aliran Budha berpegang kepada Tripitaka sebagai rujukan utama karena dalamnya tercatat sabda dan ajaran sang hyang Budha Gautama. Pengikut-pengikutnya kemudian mencatat dan mengklasifikasikan ajarannya dalam 3 buku yaitu Sutta Piaka (kotbah-kotbah Sang Budha), Vinaya Piaka (peraturan atau tata tertib para bhikkhu) dan Abhidhamma Piaka (ajaran hukum metafisika dan psikologi).

Ajaran Budha sendiri terbagi menjadi tiga aliran; Budha Theravada, Budha Mahayana: Zen, dan Budha Vajrayana.

1. Budha Theravada

Aliran Theravada adalah aliran yang memiliki sekolah Budha tertua yang sampai kini menyebar hingga Sri Langka, wilayah Asia Tenggara (sebagian dari Tiongkok bagian barat daya, Kamboja, Laos, Myanmar, Malaysia, Indonesia, dan Thailand) dan juga sebagian Vietnam.

Istilah Theravada muncul sebagai salah satu aliran agama Budha dalam Dipavamsa dan Mahavamsa. Dipavamsa adalah catatan awal sejarah Sri Lanka pada abad ke-4 M, dan Mahavamsa adalah sebuah catatan sejarah penting yang berasal dari abad ke-5. Dalam Dipavamsa dan Mahavamsa, Theravada merupakan wujud lain dari salah satu aliran agama Budha terdahulu, Sthaviravada (dalam bahasa Sanskerta: Ajaran Para Sesepuh), sebuah aliran Budha awal yang terbentuk pada Sidang Agung Sangha ke-2 (443 SM). Dan juga merupakan wujud dari aliran Vibhajjavada yang berarti Ajaran Analisis (Doctrine of Analysis) atau Agama Akal Budi (Religion of Reason).

Theravada diambil dari bahasa Pali yang terdiri dari dua kata yaitu thera dan vada. Thera berarti sesepuh khususnya sesepuh terdahulu, dan vada berarti perkataan atau ajaran. Jadi Theravada berarti Ajaran Para Sesepuh.

Sejarah Theravada tidak lepas dari sejarah diadakan Sidang Agung Sangha (Sangha Samaya). Sidang ini diadakan pada tahun 543 SM (3 bulan setelah bulan Mei) yang berlangsung selama 2 bulan dipimpin oleh Y.A. Maha Kassapa dan dihadiri oleh 500 orang Bhikhu yang semuanya Arahat. Sidang ini diadakan di Goa Satapani di kota Rajagaha dengan didukung Raja Ajatasatu. Sidang ini didirikan dengan tujuan untuk menghimpun ajaran Sang Budha yang diajarkan kepada orang yang berlainan, di tempat yang berlainan dan dalam waktu yang berlainan dengan mengulang Dhamma dan Vinaya agar ajaran Sang Budha tetap murni dan kuat. Dalam siding ini, Y. A. Upali dipercaya untuk mengulang ajaran Vinaya sedangkan Y. A. Ananda mengulang Dhamma.

Setelah mengalami perkembangan dalam beberapa periode, ternyata dalam ajaran Budha menemukan perbedaan pendapat tentang ajaran Vinaya. Oleh sebab itu, agama Budha akhirnya menggelar Sidang Agung Sangha yang kedua pada tahun 443 SM. Pada Sidang Agung Sangha yang kedua inilah awal terbaginya ajaran Budhisme menjadi dua. Di satu sisi kelompok menginginkan perubahan di beberapa peraturan minor dalam Vinaya, dan di sisi lain mempertahankan Vinaya apa adanya. Setelah tidak ada kesepakatan diantara keduanya, kelompok yang menginginkan adanya perubahan dalam Vinaya akhirnya memisahkan diri yang kemudian dikenal dengan “Mahasanghika” (yang merupakan cikal bakal Mahayana). Sedangkan yang masih menginginkan untuk tetap mempertahankan Vinaya disebut “Sthaviravada”.

Dengan adanya dua aliran yang menyebar dalam masyarakat (antara Mahasanghika dan Sthaviravada), Sidang Agung Sangha ketiga pun dilaksanakan kembali pada 313 SM untuk menetapkan bahwa tidak akan ada perubahan terhadap Vinaya. Dalam sidang ini, kelompok Mahasanghika tidak mau mengikutinya, sehingga hanya diikuti oleh kelompok Sthaviravada. Setelah menemukan kata kesepakatan, Moggaliputta Tissa sebagai pimpinan sidang akhirnya menyelesaikan buku Kathavatthu yang berisi tentang penyimpangan-penyimpangan dari aliran lain. Saat itu pula Abhidhamma dimasukkan. Setelah itu ajaran-ajaran ini di tulis dan disahkan oleh sidang. Kemudian Y. M. Mahinda (putra Raja Asoka) membawa Tipitaka (Vinaya, Abhidamma, dan Sutta) ini ke Sri Lanka tanpa ada yang hilang sampai sekarang dan menyebarkan Budha Dhamma di sana. Di sana ajaran ini dikenal sebagai Theravada.

2. Budha Mahayana

Lotus Sutra merupakan rujukan sampingan penganut Budha aliran Mahayana. Tokoh Kuan Yin yang bermaksud “maha mendengar” atau nama Sansekertanya “Avalokiteśvara” merupakan tokoh Mahayana dan dipercayai telah menitis beberapa kali dalam alam manusia untuk memimpin umat manusia ke jalan kebenaran. Dia diberikan sifat-sifat keibuan seperti penyayang dan lemah lembut. Menurut sejarahnya Avalokitesvara adalah seorang lelaki murid Budha, akan tetapi setelah pengaruh Budha masuk ke Tiongkok, profil ini perlahan-lahan berubah menjadi sosok feminin dan dihubungkan dengan legenda yang ada di Tiongkok sebagai seorang dewi.

Penyembahan kepada Amitabha Budha (Amitayus) merupakan salah satu aliran utama Budha Mahayana. Surga Barat merupakan tempat tujuan umat Budha aliran Sukhavati selepas mereka meninggal dunia dengan berkat kebaktian mereka terhadap Budha Amitabha dimana mereka tidak perlu lagi mengalami proses inkarnasi dan dari sana menolong semua makhluk hidup yang masih menderita di bumi.

Mereka mempercayai mereka akan lahir semula di Surga Barat untuk menunggu saat Budha Amitabha memberikan khotbah Dhamma dan Budha Amitabha akan memimpin mereka ke tahap mencapai “Buddhi” (tahap kesempurnaan dimana kejahilan, kebencian dan ketamakan tidak ada lagi). Ia merupakan pemahaman Budha yang paling disukai oleh orang Tionghoa.

Seorang Budha bukannya dewa atau makhluk suci yang memberikan kesejahteraan. Semua Budha adalah pemimpin segala kehidupan ke arah mencapai kebebasan daripada kesengsaraan. Hasil amalan ajaran Budha inilah yang akan membawa kesejahteraan kepada pengamalnya.

Menurut Budha Gautama, kenikmatan Kesadaran Nirwana yang dicapainya di bawah pohon Bodhi, tersedia kepada semua makhluk apabila mereka dilahirkan sebagai manusia. Menekankan konsep ini, aliran Budha Mahayana khususnya merujuk kepada banyak Budha dan juga bodhisattva (makhluk yang tekad “committed” pada Kesadaran tetapi menangguhkan Nirvana mereka agar dapat membantu orang lain pada jalan itu). Dalam Tipitaka suci, intipati teks suci Budha, tidak terbilang Budha yang lalu dan hidup mereka telah disebut “spoken of”, termasuk Budha yang akan datang, Budha Maitreya .

3. Budha Vajrayana

Ajaran Vajrayana secara umum di berbagai negara lebih dikenal sebagai ajaran agama Budha Tibet.

Vajrayana adalah suatu ajaran Budha yang di Indonesia lebih sering dikenal dengan nama Tantra atau Tantrayana. Namun banyak juga istilah lain yang digunakan, seperti misalnya: mantrayana, ajaran mantra rahasia, ajaran Budha eksoterik. Vajrayana adalah merupakan ajaran yang berkembang dari ajaran Budha Mahayana, dan berbeda dalam hal praktek, bukan dalam hal filosofi.

Budhadharma atau Buddhisme mulai masuk ke Tibet sekitar abad ketujuh pada masa pemerintahan Raja Songtsen Gampo. Pada abad kedelapan, Buddhisme mulai berakar di Tibet, yaitu pada masa pemerintahan Raja Trisong Detsen. Acharya Padmasambhava dan Abbot Shantirakshita membantu Raja untuk membawa dharma ke Tibet dan menerjemahkan ajaran-ajaran Budha ke dalam bahasa Tibet. Semua ajaran dan praktek Buddhisme Tibet berasal langsung dari Budha Sakyamuni. Tidak dapat dipungkiri bahwa ajaran yang berada di Tibet mempunyai hubungan ke suatu tradisi di India. Vajrayana memiliki 4 tradisi atau silsilah, yakni: Silsilah Nyingmapa, Silsilah Sakyapa, Silsilah Kagyudpa, dan Silsilah Gelugpa.


6. Isa (+ 6 SM)

Isa dikenal oleh seluruh hamper belahan dunia, baik bersifat religius maupun non religius. Itu sebabnya Isa menjadi bahan pembicaraan (selain Muhammad). Isa sendiri dilahirkan pada abad + 6 SM di tengah-tengah bangsa Israel. Isa dipercaya sebagai Nabi bagi umat Kristiani. Tidak hanya itu, bahkan Isa dinilai sebagai “Anak Tuhan” atau bahkan “Tuhan” itu sendiri.

Pengaruh Nabi Isa terhadap sejarah kemanusiaan begitu jelas dan begitu besar. Tidak perlu diragukan lagi, Kristen, dalam perjalanan waktu, agama ini sudah memperoleh pemeluk lebih besar daripada agama lain yang manapun juga. Namun, di sisi lain, Isa bukanlah satu-satunya “Anak Tuhan” yang menyebarkan ajaran Kristen ini. Isa dinilai “dibantu” oleh Paulus.

Dalam penyebarannya, Isa hanya meletakkan dasar-dasar pokok gagasan etika kekristenan termasuk pandangan spiritual serta ide pokok mengenai tingkah laku manusia. Sedangkan teologi Kristen dibentuk dasar-dasarnya oleh Paulus.

Isa masih berusia muda ketika “wafat”, dan yang ditinggalkannya hanya sejumlah terbatas pengikut. Ketika wafatnya Isa, pengikutnya hanya terdiri dari sejumlah kecil sekte Yahudi. Baru melalui tulisan-tulisan Paulus dan kegigihan khotbahnya yang tak kenal lelah, sekte kecil itu diubah menjadi kekuatan dinamis dan merupakan gerakan yang lebih besar, yang terdiri dari orang Yahudi maupun non-Yahudi. Dari situlah tumbuh menjadi salah satu agama besar di dunia.

Isa pada dasarnya mengajarkan satu Tuhan yang Esa, namun dengan banyaknya kesalah pahaman konsepsi dan pandangan awam, ajaran Isa dinilai sebagai ajaran yang membingungkan, yaitu Isa yang sebagai nabi Kristen juga dianggap sebagai anak Tuhan. Terlebih dari itu, Isa juga dianggap sebagai Tuhan.


7. Mani (216 M)

Mani dilahirkan pada tahun 216 di Mesopotamia yang pada saat itu menjadi bagian Kekaisaran Persia di bawah kekuasaan dinasti Arsacid atau Parthian. Mani sendiri keturunan Persia dan punya hubungan dengan penguasa Arsacid. Agama yang didirikan Mani (216-276 M) merupakan campuran menarik dari berbagai macam agama yang sudah ada sebelumnya. Mani mengakui Zoroaster, Budha, dan Isa sebagai nabi sejati. Namun, dia mengaku mendapat “wahyu” yang paling akhir dari mereka semua yang telah disebut terlebih dahulu.

“Nabi” Mani dari abad ke-3 M adalah pendiri Manichaeisme, semacam “agama” yang walaupun sudah lenyap sekarang ini, pada zamannya punya banyak sekali pengikut. Dan agama ini mampu bertahan hingga ribuan tahun.

Beberapa sejarawan berpendapat bahwa ia adalah keturunan Persia. Ayah Mani yang bernama Fatik atau Pattig, berasal dari Hamadan, dan ibunya Maryam berasal dari sebuah keluarga yang tinggal di Kamsaragan, yang masih bersaudara dengan keluarga Kekaisaran Parthia. Namun demikian, nama kedua orang tuanya adalah dari bahasa Suryani.

Mani diperkirakan menguasai bahasa Persia Tengah dan bahasa Suryani sebagai bahasa ibu. Mani pertama kali mengenal religiusitas di awal masa mudanya ketika hidup bersama suatu kelompok asketik Yahudi, yaitu kelompok Elkasit. Kira-kira saat ia berusia dua puluh lima tahun, Mani mulai mempercayai bahwa 'Keselamatan' dapat diperoleh melalui pendidikan, penolakan diri, vegetarianisme, berpuasa dan menjaga kesucian diri. Ia selanjutnya menyatakan dirinya sebagai Parakletos yang dijanjikan dalam Perjanjian Baru, Nabi Terakhir atau Penutup Para Nabi, yaitu sebagai penutup dari berbagai manusia yang dibimbing oleh Tuhan, yang meliputi tokoh-tokoh seperti Seth, Nuh, Abraham, Shem, Nikotheos, Henokh, Zoroaster, Buddha, dan Yesus.

Peranan pribadi Mani dalam mendirikan hal agama baru sangat luar biasa. Dia yang mendirikannya, merancang teologi, dan menyusun aturan-aturan moralnya. Memang benar, banyak dari ide-idenya berasal dari para pemikir terdahulu, tetapi Mani-lah yang menghimpun berbagai aliran pemikiran ini menjadi sistim baru yang jelas. Menyusun organisasi keagamaan dan kitab-kitab suci.

Mani mengajarkan bahwa dunia tidaklah diperintah zat kekuasaan tunggal, melainkan bagian dari pertarungan yang terus-menerus antara dua kekuatan. Diantaranya adalah pokok-pokok kejahatan-kebaikan yang oleh Mani diidentifikasikan antara kegelapan dan benda dengan sinar terang dan jiwa.

Dalam paham Manichaeisme, kejahatan dan kebaikan dianggap pada dasarnya punya kekuatan berimbang. Konsekuensi kepercayaan ini adalah paradoks filosofis terhadap eksistensi kejahatan, yang membingungkan filsuf Kristen dan Yahudi, tetapi tidak ada masalah sama sekali dalam ajaran filosofi Manichaeisme.

Konsekuensi dari identifikasi mereka bahwa jiwa manusia itu pokok kebaikan dan tubuh manusia itu pokok kejahatan, penganut Manichaeisme percaya bahwa semua hubungan seksual (meskipun untuk tujuan keturunan) harus dijauhi. Juga ada larangan makan daging dan minum anggur.

Larangan-larangan itu tidaklah berlaku bagi anggota penganut biasa dari gereja Manichaeisme, melainkan hanya berlaku bagi sekelompok kecil orang yang disebut “Orang-orang Pilihan”. Anggota biasa yang disebut “Pendengar” diizinkan punya istri atau simpanan, boleh beranak, boleh makan daging, boleh minum anggur, dan seterusnya.

Selama Mani masih hidup, agamanya punya banyak pemeluk mulai dari India hingga Eropa. Sesudah Mani meninggal dunia, agama itu masih berlanjut penyebarannya, meluas ke barat sampai Spanyol dan ke timur sampai Cina di bagian barat: Puncak kejayaannya pada abad ke-4, yang saat itu bersaing dengan Kristen (Agustinus merupakan pemeluk agama ini selama sembilan tahun). Namun, sesudah Kristen menjadi agama resmi Romawi, Manichaeisme dihabisi dan hampir lenyap sekitar tahun 600.

Meski di Romawi ajaran Mani telah lenyap, Manicheisme mulai menyebar di daerah Asia Tengah, Turkestan, dan sebelah barat China. Bahkan pada abad ke-8, agama Mani telah menjadi agama resmi Uighurs yang membawahi sejumlah daerah barat China dan Mongolia. Di sisi lain, agama ini pun kembali lenyap di daerah Mesopotamia dan Iran dengan adanya pelenyapan yang dilakukan umat Islam yang menganggapnya sebagai ajaran sesat.

Berikut adalah perkembangan ajaran Nabi Mani (kebanyakan kawasan Eropa):

Abad 7; sebagai sekte Paulician di daerah kekaisaran Byzantium, Abad 10; sebagai sekte Bogomil di daerah Balkan, Abad 12; sebagai sekte Chatari (dapat pula disebut sebagai sekte Albigensian, yang diambil dari nama kota Albi di Prancis) di daerah selatan Perancis, dan Abad 13; daerah bagian timur China dengan menggunakan Manicheisme (dan bukan merupakan sekte lagi seperti yang tersebar di kebanyakan Eropa).

Uniknya, meski ajaran Mani telah terpecah dalam kelompok (sekte) di daerah Eropa, namun sebagian diantaranya menyatakan alirannya sebagai aliran Kristen. Itu sebabnya, aliran ini mendapat perlawanan yang serius oleh Paus Innocent III. Penyerangan yang terjadi pada tahun 1209 yang kemudian pada tahun 1244, sekte tersebut musnah keseluruhannya. Sekte yang disebut-sebut menjadi “murtad” oleh Kristen adalah sekte Albigensian.

Mani menulis tujuh kitab sucinya dalam bahasa Suryani (yaitu bahasa utama di Timur Dekat sebelum masa penaklukan Arab Islam). Arjang adalah nama kitab Mani yang paling utama. Ia disebutkan penuh dengan ilustrasi berwarna-warni, dan Mani juga dianggap sebagai pelukis yang hebat. Selama masa hidupnya, para misionaris Manikheisme aktif menyebarkan ajarannya di Mesopotamia, Persia, Palestina, Suriah, dan Mesir.

1 Dikutip secara langsung dari Watch Tower Bible and Track Society of Pennsylvania dalam “Pencarian Manusia akan Allah”, h. 120.

2 Dikutip secara langsung dari http://id.wikipedia.org/wiki/Brahman.

3 Dikutip secara langsung dari http://id.wikipedia.org/wiki/Buddhisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar