Minggu, 06 September 2009

Islam dalam Pemerintahan

Islam dalam Pemerintahan

Dari Imam al Bazzar meriwayatkan dari Abu Ubaidah Ibn al Jarah yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Sesungguhnya fase awal agama kalian dimulai dengan fase kenabian dan rahmah, setelah itu fase Khilafah dan rahmah, tetapi kemudian menjadi kerajaan yang penuh dengan pemaksaan (atau tidak rahmah).” (Prof. Dr. Jaih Mubarok, M.Ag. dalam “Sejarah Peradaban Islam”, h. 84-85)1

Dalam menjalankan pemerintahan, Islam telah terpecah ke dalam berbagai kelompok setelah sepeninggal Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin. Namun demikian, Islam sudah melebar hingga daratan Asia dan Eropa, baik melalui cara dakwah maupun perluasan wilayah. Itu sebabnya, banyak bangsa Eropa menganggap bahwa Islam adalah agama yang pebuh kekerasan. Hal tersebut tentu saja bertolak belakang dengan ajaran Islam yang mendahulukan kepentingan agama dan kemanusiaan daripada kepentingan pribadi yang haus akan perang.

Tidak sedikit sebenarnya kelompok Islam dunia kini menginginkan masa-masa Khalifah diulang kembali, yaitu mendirikan kembali Negara Islam bersatu. Namun demikian, banyak pula diantara mereka yang hanya menginginkankan keonaran belakan dengan menamakan dirinya sebagai kelompok Islam. Bahkan yang terburuk, Islam sendiri sempat dicap sebagai gudang teroris pasca bom meledak di WTC Amerika 11 September 2001 pekan lalu.

1. Perang

Semangat jihat atau perang dalam Islam sendiri sebenarnya juga dianjurkan. Itu sebab, banyak sebagian orang menyalah tafsirkan akan arti dari “perang” tersebut.

Hai orang-orang yang beriman! Apakah sebabnya ketika diperintahkan kepadamu, “Berangkatlah (untuk berperang) di jalan Allah,” kamu merasa keberatan dan ingin tetap bersenang-senang saja di tempatmu? Apakah kamu lebih senang dengan kehidupan di dunia ini jika dibandingkan dengan nikmat kehidupan di akhirat hanyalah lebih sedikit? (QS. Baraa-ah: 38)


Jangalah kamu berhati lemah dalam memburu kaum (yang menjadi musuhmu) itu. Jika kamu merasa kesakitan, mereka pun menderita kesakitan pula seperti kamu. Kamu dapat mengharapkan (pahala) daripada Allah, sedangkan mereka tidak. Allah maha mengetahui dan bijaksana. (QS. Annisa’: 104)


Maka berperanglah kamu di jalan Allah. Tidak dibebankan tugas itu, kecuali terhadap dirimu. Kobarkanlah semangat perang orang-orang yang mukmin. Semoga Allah mematahkan serangan perang orang-orang kafir itu. Dan Allah sangat besar kekuasaan-Nya serta sangat keras siksa-Nya. (QS. Annisa’: 84)


Sebenarnya, bukan kamu yang membunuh mereka itu, tetapi Allah, dan waktu kamu melempar itu (sebenarnya) bukan kamu yang melakukannya, tetapi Allah jualah. (Tuhan berbuat demikian) hendak menganugerahkan nikmat kemenangan yang gemilang kepada mukmin. Sesunggunya allah itu maha mendengar dan mengetahui. (QS. Al Anfal: 17)


Seandainya kamu gugur atau meninggal di jalan Allah, maka ampunan dan rahmat Allah lebih baik (bagimu) dari harta rampasan yang mereka kumpulkan. Dan sunguh-sungguh, jika kamu mati atau gugur, pasti kepada Allah-lah kamu dikumpulkan. (QS Ali Imran: 157-158)

Memang benar dalam ayat Al Quran telah disebutkan betapa pentingnya berperang. Namun demikian, dalam kebenarannya, semangat perang (yang sering dikatakan sebagai jihad) sebenarnya tidak seperti yang kebanyakan kelompok Islam jalur keras dalam menghadapi yang bukan Islam (atau mungkin sebagian di dalamnya dalah Islam?). Yang mereka lakukan ini sebenarnya bukanlah jihad; jika mereka dengan seenaknya membunuh dan menghancurkan bermacam-macam tempat dan atau daerah yang mereka anggap sebagai musuh, sedang dalam maksud yang lainnya terdapat keburukan atau merugikan yang hanya menyenangkan pribadi.

Dalam peperangan sendiri, sebanarnya ada beberapa “kiblat” yang harus diperhatikan selain menjalankan misi “perang” itu sendiri. Karena melihat yang terjadi, perang dengan maksud sebagai keegoisan emosi masing-masing pribadi adalah sangat disayangkan. Sedang dalam Islam sendiri, yang harus diperangi adalah kelompok kafir yang telah menolak Allah, dan bukan orang Islam itu sendiri.

Hai orang-orang beriman! Apabila kamu pergi (berperang) di jalan Alah, hendaklah berhati-hati dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan salam kepadamu. “Kamu bukan orang mukmin” lalu kamu membunuhnya dengan maksud mencari harta benda dunia, padahal di sisi Allah banyak harta-harta rampasan. Begitu jugalah keadaanmu dahulu. Lalu Allah bermurah hati kepadamu. Oleh karena itu, berhati-hatilah. Sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Anisa’: 94)


Berlomba cepatlah kamu (berbuat kebajikan yang dapat menyampaikanmi) kepada pengampunan Tuhanmu dan (memasukkanmu ke dalam) surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Disediakan untuk orang-orang yang takwa. Kesatu. Ialah orang-orang yang menafkahkan hartanya di waktu senang dan susah. Kedua, orang-orang yang sanggup menahan marahnya. Ketiga, orang-orang yang suka memaafkan (kesalahan) orang lain. Keempat, Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (kelima), orang-orang yang apabila terlanjur mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya dirinya sendiri, mereka ingat kepada Allah lalu memohon ampun terhadap dosa-dosanya. Siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak bersitegang saja melakukan perbuatannya itu, sedang mereka mengetahui (kekejiannya). (QS. Ali Imran: 133-135)


Keburukan patut dibalas dengan keburukan ayng setimpal pula. Namun siapa yang suka memaafkan dan mengusahakan perbaikan, maka pahalanya menurut pandangan Allah lebih besar. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang zalim. Meskipun demikian, mereka tidak ada alasan untuk mencela orang yang membela diri terhadap tindak sewenang-wenang yang dialaminya. Celaan (yang sebenarnya) itu harus dutujukan kepada orang-orang yang berbuat aniaya terhadap orang lain dan bertindak sewenang-wenang di dalam negeri tanpa hukum keadilan. Mereka patut memperoleh siksa yang pedih. Namun bagi orang yang mamppu mengendalikan diri dan suka memaafkan, perilaku yang demikian termasuk perbuatan yang utama. (QS. Asy Syura: 40-43)


Adalah tidak layak bagi orang-orang mukmin membunuh orang mukmin (yang lain) kecuali jika suatu kesalahan (dan tidak sengaja). Barangsiapa yang membunuh orang mukmin dengan tidak sengaja, hukumannya ialah memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin serta membayar diyah yang diserahkan kepada keluarga si Koran. Kecuali jika keluarga si korban merelakan. Dan kalau yang terbunuh itu dari pihak musuhmu, tetapi ia beriman, hendaklah (si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dana kalau yang terbunuh itu dari kaum yang telah mengikat perjanjian damai denganmu, hendaklah (sipembunuh) membayar diyah yang diserahkan kepada keluarga si korban, serta memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperoleh (hamba sahaya yang beriman itu), hendaklah berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai syarat penerimaan tobat dari Allah. Dan Allah mengetahui dan bijaksana. Barangsiapa yang membunuh mukmin dengan sengaja, maka hukumannya ialah jahanam, Kekal ia di dalamnya. Allah memurkai dan mengutuknya serta menyediakan siksa besar baginya. (QS. Annisa’: 92-93)


Diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena mereka telah dianiaya. Sesungguhnya Allah amat berkuasa menolong mereka. Mereka (yang telah dianiaya itu), ialah mereka yang telah diusir dari kampong halamannya tanpa alasan yang benar, hanya karena mereka berkata, “Tuhan kami hanya Allah!” Kalau tidaklah karena pembelaan Allah terhadap manusia yang sebagiannya (teraniaya oleh keganasan) yang lain, tentu telah dirobohkan tempat-tempat pertapaan Yahudi, gereja-gereja Nasrani, gereja-gereja Yahudi dan masajid-masjid yang terbanyak disebut nama Allah di dalamnya. Dan sesungguhnya Allah pasti menolong orang-orang yang menolong (agama)-Nya. Bahwasanya Allah sungguh-sungguh maha kuat dan tangguh. (QS. Al Hajj: 39-40)

Itu sebab, dalam mengambil sebuah keputusan antara berperang atau tidak, sebuah pemerintahan memiliki andil yang cukup besar. Sedang dalam pemerintahan, banyak sikap-sikap yang sebaiknya ditiru, sehingga tidak menjadikannya pemerintahannya yang berada di luar jalur Islam dan fungsi dari pemerintahan tersebut.

2. Negara

Pemerintahan sendiri adalah sebuah dasar dari bentuk tatanan kenegaraan yang pada dasarnya adalah kerajaan. Pada masa pemerintahan ini, yang dinyatakan sebagai penguasanya adalah seorang raja. Sedang Islam sendiri pada masa Muhammad dan Khulafaur Rasyidin belum menjadi kerajaan. Pemerintahan Islam saat itu menjadi satu kesatuan dengan satu pemimpin (Muhammad dan masa setelahnya adalah Khulafaur Rasyidin). Namun demikian, dengan adanya perbedaan pola pikir pada masing-masing pemimpin kelompoknya, Islam kemudian terpecah-pecah.

Pada masa kepemimpinan Muhammad dan Khulafaur Rasyidin inilah, Negara-negara yang ditaklukkan Islam kemudian terpusat pada satu pusat kepemerintahan. Dalam teori tentang hukum ketatanegaraan, pemerintahan ini dapat dikatakan sebagai Negara Serikat, dimana sebuah Negara yang terdiri dari berbagai macam Negara.2

Sedang dalam sistem kepemerintahan dalam sebuah Negara berbeda dengan sistem Kerajaan. Dalam tatanan Negara, pada dasarnya pemerintahan pusat dituntut untuk menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya. Namun demikian, hal ini berbeda pandangan dengan Roger H. Sultau. Dia beranggapan bahwa tujuan dari Negara adalah memungkinkan rakyatnya untuk berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin. Dan jika benar Negara pada akhirnya seperti itu, tentu saja hanya akan menciptakan sebuah Negara yang anarki. Lihat saja pada sistem yang dibawa oleh Hitler yang kemudian menciptakan Negara komunisnya. Hal ini tentu saja berbeda jauh dengan tujuan Islam yang mengedepankan konsep ketuhanannya.

Tentu saja sistem yang meninggalkan “Tuhan” ini dalam urusan Negara menjadikan banyak Negara yang mengambil konsep yang sama. Di sisi lain, konsep komunis yang pada dasarnya meniru gaya Marxisme-Leninnisme ini menjadikan rakyatnya memiliki kedudukan yang sama dan penghapusan kekayaan individu. Lantaran konsep ini sering meninggalkan ketuhanan, maka Negara-negara yang berbasis komunis pun pada akhirnya diberantas.

Pada dasarnya, Negara sendiri adalah integrasi dari kekuasaan politik yang merupakan organisasi pokok dari kekuasaan politik. Sedang tugas dari Negara sendiri memiliki dua fungsi utama, yaitu pertama, mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang asosial supaya tidak antagonistis yang membahayakan3, dan kedua, mengorganisasikan dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya. Hal ini tentu saja menuntut Negara untuk menentuka bagaimana kegiatan asosiasi-asosiasi kemasyarakatan disesuaikan dengan satu sama laindan diarahkan kepada tujuan nasional.

Fungsi-fungsi lain daripada Negara sendiri adalah sebagai berikut: 1. melaksanakan ketertiban, 2. mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya, 3. pertahanan, dan 4. menegakkan keadilan. Sedang sudut pandang lain diutarakan oleh Carles E. Merriam dengan menjadikan fungsi Negara sebagai 1. keamanan eksternal, 2. ketertiban internal, 3. keadilan, 4. kesejahteraan umum, dan 5. kebebasan.

Pada sudut pandang sistem pemerintahan kerajaan, tentu saja kekuasaan penuh di tangan raja. Itu sebabnya, seorang raja berhak mengambil keputusan dalam berbagai perkara dan bersifat benar. Pada masa Musa pun, sistem kemutlakan raja juga dijalankan oleh Raja Mesir yang sering dijuluki sebagai Firaun. Bahkan Firaun sendiri menjadikan dirinya sebagai Tuhan yang memiliki kebenaran dan keputusannya adalah wajib untuk dijalankan. Namun demikian, sistem kerajaan ini pada akhirnya menjadi ke dalam tiga sistem golongan, yaitu sistem kerajaan mutlak, konstitusional, dan parlemen.

Pada Sistem Kerajaan Mutlak (Monarki Mutlak), seluruh kekuasaan Negara berada di tangan raja. Seperti yang telah disebutkan, pada sistem ini kekuasaan raja adalah tunggal, tidak terbatas, dan mutlak. Sehingga segala urusan dan kebijaksanaan raja adalah undang-undang bagi rakyatnya. Hal ini sebelumnya telah ada pada masa Musa yang dimana Firaun menjadikan dirinya sebagai Tuhan karena keputusannya yang wajib dilaksanakan oleh rakyatnya. Hal serupa terjadi pada pemerintahan Jepang, dimana Jinmu yang sebagai Kaisar pertama kemudian menjadikannya sebagai kekuasaan mutlak. Itu sebabnya, Jepang menganggap Jinmu sebagai Kaisarnya yang pertama dari keturunan dewa dan dijadikannya pula Jinmu sebagai dewanya.

Berbeda dengan Monarki Mutlak, pada Sistem Kerajaan Konstitusional (Monarki Konstitusional) menawarkan konsep lainnya, yaitu dengan membatasi kekuasaan raja sesuai dengan konstitusi atau undang-undang Negara. Hal ini tentu saja mengarah pada sistem tatanan Negara pada dasarnya. Hanya saja, jika kepala Negara dapat digantikan pada keturunan yang berbeda, tidak bagi sistem kerajaan yang digantikan berdasarkan keturunannya.

Pada sistem yang ketiga, yaitu Sistem Kerajaan Parlemen (Monarki Parlemen), raja dijadikan sebagai lambang Negara, dimana seluruh sistem kerajaan diatur dan dijalankan oleh parlemen atau para mentri. Sedang raja sendiri tidak memiliki kesalahan apapun. Dan jika ditemukan kesalahan dalam kebijaksanaannya, yang sebagai penanggung jawab tentu saja para mentrinya.

Islam, semasa kenabian dan kerasulan Muhammad menjadikan sebuah Negara yang bersatu. Bahkan setelah kematiannya, Islam masih dalam satu kekuasaan di bawah kekuasaan Khalifah yang merupakan sahabat Nabi. Namun demikian, perpecahan di dalamnya terjadi ketika pada masa Khalifah Ali, dimana Muawiyah dengan tegas mengundurkan diri dan menyatakan keluar dari kekhalifahan Ali dan mendirikan negaranya sendiri. Inilah sebuah cikal bakal terjadinya Negara kerajaan yang terus terjadi hingga menjadikan Khalifah sebagai perlambangan dalam Islam.

Bani Umayyah yang sebelumnya menginginkan balas dendam atas kematian Utsman, pada akhirnya menjadikan negaranya sebagai Negara yang merdeka dari kekuasaan Khalifah Ali. Namun demikian, pada masa Khalifah Hasan bin Ali, kekhalifahan dikembalikan pada satu pemegang kekuasaan yaitu Muawiyah. Namun demikian, dalam menjalankan fungsi kekhalifahan, Muawiyah yang kemudian diteruskan oleh Yazid bin Muawiyah berangsur-angsur menjadikan Negara islam terpecah belah. Keadaan sangat terasa saat memasuki masa kekhalifahan Bani Abassiah dan Mamluk. Dan lebih parahnya lagi, pada masa Bani Mamluk inilah, Khalifah hanya digunakan tidak lebih dari sekedar gelar untuk menjalankan misi keagamaan dan bukan pemerintahan4.

3. Kepala Negara

Khalifah sendiri sebenarnya adalah seorang Kepala Negara yang menguasai dan memimpin daerah jajahan Islam dan perluasannya yang kemudian disebut Al Khilafah. Menurut H. Sulaiman Rasjid, Al Khilafah adalah suatu susunan pemerintahan yang diatur menurut ajaran agama Islam berikut perihal politik dan ketatanegaraan5.

Dalam menjalankan Al Khilafah, terdapat beberapa pokok-pokok yang harus diperhatikan, diantaranya adalah perihal kenegaraan itu sendiri dan keagamaan. Itu sebabnya, dalam memilih sebuah pemimpin, diperlukan sebuah pertimbangan-pertimbangan khusus. Hal ini dikarenakan beban yang dibawa oleh pemimpin tersebut berhubungan langsung dengan rakyatnya. Terlebih lagi pada urusan agama (terutama Islam).

Berikut adalah syarat-syarat menjadi seorang pemimpin dalam konsep keislaman.

  1. Berpengetahuan luas; hal ini sudah tentu sangat diperlukan lantaran menghadapi konsisi Negara yang bercorak keyakinan, yaitu berbeda agama maupun non agama (atheis). Selain itu, dengan memiliki pengetahuan yang luas, akan mempermudah jalur Islam dalam berbagai kawasan. Itu sebab, syarat ini menjadi syarat mutlak sebelum menjalankan sistem kepemerintahan

  2. Adil; sudah tentu hal ini sangt dibutuhkan dalam menengahi suatu perkara Negara. Terlebih lagi dalam urusan keagamaan. Andai dalam menjalankan pemerintahannya, seorang pemimpin tidak berlaku adil, maka tidak luput rakyatnya akan segera menggulingkannya dan terlebih tidak dapat kembali dipercaya atas keputusannya yang tidak berimbang.

  3. Kifayah; bertanggung jawab, teguh, kuat, dan cakap dalam menjalankan pemerintahan, memajukan dan membela Negara dan agama (Islam).

  4. Sejahtera; ketika menjadi Kepala Negara, segala persoalan akan segera dihadapi, itu sebabnya, ketika menjadi Kepala Negara hendaknya menjadi seorang yang sejahtera dalam urusan batin dan jasmaninya. Sehingga tidak mudah bagi musuh untuk menjatuhkannya.

Dalam sejarah Islam, Khalifah sangat penting dalam menjalankan misi keagamaan. Itu sebab, dalam memilih Khalifah, tidak diperkenankan bagi mereka memiliki niatan yang mampu menjadikan berat sebelah. Itu sebabnya, pada masa setelah Nabi Muhammad wafat, banyak ahli kitab dan para sahabat kemudian menjadikan Kabilah Quraisy (yang telah menjadi Islam) sebagai kaum yang pantas dalam menduduki sebagai Khalifah. Hal ini dikarenakan Kabilah Quraisy dinilai lebih tegas, berani, kuat, dan kuat pendirian. Namun demikian, banyak ahli kitab menafsirkan berbeda, Khalifah tidak sebatas pada Kabilah Quraisy dan keturunannya saja, tapi juga diperkenankan bagi mereka yang memiliki kepribadian tersebut di atas.

Selain hal yang disebutkan sebelumnya, Islam telah menentukan beberapa kewajiban bagi Khalifah dalam mengatur urusan kenegaraan yang erat hubungannya dengan rakyat dan agama.6

  1. Membela dan menghidupkan agama, menjalankan nas-nas yang disepakati serta memberi keleluasaan, kebebasan kepada rakyat dalam masalah yang bersangkutan dengan amal masing-masing, baik dalam ilmu pengetahuan maupun yang bersangkutan dengan pekerjaan, baik berupah ibadah atau berupa urusan penghidupan. Adapun yang bersangkutan dengan pemerintahan, seperti politik Negara, keamanan, dan hukum pengadilan, maka keputusannya hendak dimusyawarahkan dengan Ahlul Halli wal ‘Aqdi7.

  2. Mengatur masalah pengadilan.

  3. Menjaga keamanan umum agar penghidupan segenap umat manusia terjamin dengan aman tentram.

  4. Selalu bermusyawarah dengan wakil-wakil rakyat dalam mengambil keputusan yang dianggap ragu yang berhubungan dengan masalah kenegaraan, termasuk di dalamnya tentang perang dan politik luar negeri.

  5. Mengatur penjagaan batas-batas negeri dengan sekuat-kuatnya, sehingga merupakan kekuatan yang dapat menolak segala kemungkinan dari serangan musuh yang akan menggangu keamanan atau ketentraman dalam negeri.

  6. Jihad; berani dalam hal berperang terhadap musuh yang dianggap melewati batas-batas Islam.

  7. Mengatur kemakmuran menurut apa yang diizinkan oleh Islam dalam hal lalu lintas harta, perniagaan, perdagangan, pertanian, dan sebagainya.

  8. Memberikan pekerjaan dan kekuasaan kepada yang lebih mengerti dalam urusannya masing-masing menurut kecakapan dan keikhlasan orang yang dipercayakan, serta diberi keleluasaan mengatur dan bertindak dalam batasan keagamaan dan pemerintahan; dalam hal ini bisa berupa perwakilannya kepada staf maupun mentri-mentrinya.

  9. Mengamati dan mengawasi segala bentuk persoalan yang telah diserahkan kepada wakil-wakilnya maupun keadaan rakyatnya; tidak mementingkan kepentingan pribadi dan melupakan kepentingan rakyatnya.

4. Pengadilan

Dalam susunan suatu kenegaraan, tentu tidak luput dari masalah hukum, sedang Islam sendiri juga memiliki hukumnya tersendiri. Namun demikian, meski Khalifah menduduki Negara-negara Islam, Khalifah sendiri telah berdiri diantara beberapa kelompok yang bukan Islam. Hal ini pun terjadi pada keadaan Nabi Muhammad setelah memasiki Madinah, dimana Nabi Muhammad segera mengeluarkan perjanjian bersama Yahudi guna saling menjaga (meski pada akhirnya Yahudi menghianati perjanjian tersebut).

Islam sendiri dalam memutuskan suatu perkara, seperti saat Khalifah menempati kondisi yang membutuhkan sebuah jawaban dari permasalahan, maka diadakannya sebuah musyawarah guna mencari sebuah jawaban. Sedang dalam musyawarah tersebut, sebuah pimpinan sangat dibutuhkan sebagai penengah. Tentu saja hal ini sangat sulit dicapai dalam pengambilan suatu keputusan jika seorang pemimpin diantara pemusyawarah tersebut tidak dapat berlaku adil. Hal inilah kemudian yang menjadikan syarat wajib bagi siapa pun dan dimana pun dalam mengambil suatu kebijakan.

Dalam Islam, hukum diartikan sebagai sistem yang difungsikan guna memisahkan suatu perkara dan atau mendamaikan diantara dua atau lebih faham yang berselisih secara adil.

Dan hendaklah kamu mengadili perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu turuti hawa nafsu mereka. Dan waspadalah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak menyesatkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Alah kepadamu. Jika mereka tidak mengindahkan (keputusan yang telah diturunkan Allah) kepadamu, maka ketahuilah bahwa Allah bermaksud hendak menjatuji hukuman (di dunia ini) juga terhadap sebagian dosa-dosa mereka, (sebelum di akhirat kelak). Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (QS. Al Maidah: 49)


Sesungguhnya Allah telah menyuruhmu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. Dan bila kamu menetapkan hukum antar manusia, maka penetapan hukummu itu hendaklah adil. (Bahwa dengan itu) allah telah memberi pengajaran sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar dan melihat. (QS. An Nisaa’: 58)

Islam sendiri mengenalkan hukumnya yang terdiri dari beberapa tahapan, diantaranya meliputi wajib, sunnat, haram, makruh, dan mubah. Sedang dalam mengambil keputusan dalam hukum-hukum tersbut, Islam diwajibkan untuk melalui jalan Allah, yaitu dengan melihat kembali Al Quran, Hadis, Ijma’ Mujtahidin8, dan Qias9. Sedang beberapa ulama menambahkan dengan penguatnya melalui Istihsan10, Istidlal11, ‘Urf12, dan Istishab13. Berikut adalah penjelasan dari dasar hukum dalam Islam

Wajib, yaitu perintah yang harus dilakukan; jika perintah tersebut dilakukan, maka yang melakukannya akan mendapatkan pahala, sedang yang meninggalknannya akan mendapatkan dosa.

Sunnat, yaitu anjuran; jika perintah tersebut dilakukan, maka yang melakukannya akan mendapatkan pahala, sedang yang meninggalkannya pun tidak mengapa.

Haram, yaitu larangan; haram ini adalah kebalikan dari hukum wajib, dimana jika seseorang telah melakukannya, maka akan mendapatkan dosa, sedan yang meninggalkannya akan mendapatkan pahala.

Mubah, yaitu boleh; dalam hukum ini tidak diperkenalkan pahala dan dosa, sifatnya adalah memperbolehkan dan tidak melarang. Sedang bagi yang mengerjakan, tidak berdosa dan tidak pula mendapatkan pahala, sebaliknya demikian, jika meninggalkan tidak pula berdosa dan tidak mendapatkan pahala.

Dalam menentukan sebuah hukum dalam perkara, tidak mudah meski telah mengambil beberapa dalil dalam Al Quran dan Hadis. Hal ini dikarenakan banyak hukum-hukum yang terkandung di dalamnya tidak dikatakan secara jelas. Bersamaan dengan demikian, hukum pun kemudian dibedakan ke dalam empat macam14, yaitu:

  1. Hukum yang diambil dari nas yang tegas, yakni adanya dan yakin pula maksudnya menunjukkan kepada hukum; Hukum seperti ini tetap tidak berubah dan wajib dijalankan oleh seluruh Islam, tidak seorang pun berhak membantahnya, seperti shalat lima waktu, zakat, puasa ramadhan, haji dan syarat sah jual beli dengan rela

  2. Hukum yang diambil dari nas yang tidak yakin maksudnya terhadap hukum-hukum itu; Dalam hal seperti ini, terbukalah jalan bagi mujtahid untuk berijtihad dalam batas memahami nas itu. Para mujtahid tersebut boleh mewujudkan hukum atau menguatkan salah satu hukum dengan ijtihadnya.

  3. Hukum yang tidak ada nas, baik qat’i (pasti) maupun zanni (dugaan), tetapi pada suatu masa telah sepakat atas hukum-hukumnya; Sebuah keputusan yang diambil dari ulama yang telah menyepakati sebuah hukum dengan melihat kondisi waktu itu dan menjadikannya sebagai hukum lantaran tidak ada dalil yang pasti.

  4. Hukum yang tidak dari nas, baik qat’i ataupun zanni, dan tidak pula ada kesepakatan ulama hukum sebelum itu; Hukum-hukum seperti ini tidak tetap, melainkan selalu berubah dengan adanya melakukan penelitian kembali. Penerapan hukum seperti ini yang kemudian menjadi cercaan banyak masyarakat lantaran ingin menjadikan kesenangan pribadinya dengan mengatas namakan ketidak adaan dalil dalam kitab manapun. Sedang contoh yang sangat santer berkembang dalam Indonesia adalah penggunaan kondom, pemilihan anggota dewan (pemilu), dan larangan terhadap rokok.

Fungsi hukum-hukum tersebut adalah sangat diperlukan dalam menengahi suatu perkara. Itu sebabnya, dalam suatu perkara, hendaknya terdapat penengah. Sedang meliputi hukum yang lebih besar, masyarakat ditempatkan dalam kondisi forum atau sering disebut dengan pengadilan. Pada masa Khalifah Umar, hukum dalam peradilan sangat menekankan akan keadilan dan tidak memihak. Umar sendiri pada akhirnya mengonsep peradilannya agar dinilai adil bagi pendakwa maupun terdakwa. Perhatiakn kembali dalam pembahasan sebelumnya pada bab sebelumnya.

a. Hakim

Selain mengetahui dasar sebuah perkara, dalam menjatuhkan sebuah kebijakan dituntut bagi diantaranya untuk mempertanggung jawabkannya. Itu sebabnya, dalammemutuskan suatu perkara tersebut, pemimpin diantara mereka harus ada. Pemimpin diantara para pengambil keputusan itu kemudian disebut sebagai Hakim.

Pada dasarnya, selain berlaku adil, Hakim juga memilik beberapa syarat yang tidak dapat ditinggalkan. Dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa hakim sendiri harus mengetahui perbedaan antara hak dan batil.

Hakim-hakim itu ada tiga golongan, satu golongan akan masuk surga, dua golongan akan masuk neraka; 1. hakim yang masuk surga ialah hakim yang mengetahui hak (hukum yang sebenarnya menurut hukum Allah), dan dia menghukum dengan yang hak itu, 2. hakim yang mengetahui hak, tetapi ia menghukum dengan yang bukan hak, hakim ini akan masuk neraka, dan 3. hakim yang menghukum, sedangkan ia tidak mengetahui hukum Allah dalam perkara itu, hakim ini juga akan masuk neraka. (HR. Abu Dawud dan lainnya)15

Namun demikian, syarat-syarat lainnya yang harus dipenuhi antara lain:

  1. Islam,

  2. baligh16,

  3. berakal,

  4. merdeka,

  5. adil,

  6. lelaki17,

  7. mengerti dan memahami isi dan penjelasan Al Quran dan Hadis,

  8. mengetahui persoalan dan perselisihan pendapat mereka,

  9. pandai menjalankan hukum Islam,

  10. pendengaran dan penglihatannya cukup,dan

  11. sadar dan yang bukan lalai.

Sedang beberapa sikap dan perilaku hakim selama masa persidangan, hakim hendaknya beberapa sikap di bawah ini menjadi sebuah acuan.

  1. Bertutur sopan kepada kedua belah atau lebih pihak yang telah berselisih,

  2. tidak memutuskan perkara dalam kondisi marah18, lapar dan haus, bersedih dan terlalu bergembira, dan sakit atau lupa ingatan,

  3. tidak menerima pemberian berupa apapun dan dari siapapun kecuali dari seorang atau lebih yang sudah biasa telah memberinya sesuatu dengan tanpa imbalan dan tidak dalam sebuah perkara perselisihan,19

  4. memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk menyampaikan keluhan bagi pendakwah dan alibi bagi terdakwa,

  5. tidak memihak kepada salah satu diantara mereka dan tidak pula memihak kepada keduanya; sikapnya hendak lebih mementingkan hukum, dan

  6. perihal surat-menyurat, hendaknya menghadirkan saksi diantara yang berselisih.

Sedang dalam masa Khalifah Umar, Hakim sendiri ditekankan akan kesanggupannya dalam pengakuan akan keputusannya yang apabila salah dalam pengambilan keputusan tersebut, hakim sanggup mengakui kesalahannya.

b. Saksi

Pada dasarnya, dalam masalah hukum dan peradilan, kedatangan saksii sangat dibutuhkan, baik dari segi terdakwa maupun pendakwa. Hal ini tentu saja sebagai alibi pendukungnya yang dapat menguatkan untuk menjatuhkan terdakwa maupun membebaskan terdakwa itu sendiri.

Dalam suatu perkara persidangan, tentu saja seorang saksi tidak dapat diambil dengan seenaknya. Tentu ini akan menjadi berat bagi terdakwa apabila keduanya, yaitu antara pendakwa dan saksi sama-sama menaruh dendam kepada terdakwa. Itu sebabnya, syarat terpenting dalam menghadirkan saksi adalah seorang yang adil (tidak memihak).

Berikut adalah beberapa syarat-syarat sah yang menjadi saksi.

  1. Islam; dalam ketentuan hukum yang meliputi masalah hukum akhirat (yang melibatkan hukum Islam), sudah tentu seorang Islam adalah sangat diwajibkan.20 Hal ini ditujukan agar tidak ada kesalah pahaman antara hukum di dunia maupun di akhirat. Namun demikian, dalam urusan keduniaan, lantaran (sekarang) sudah menjadi global, syarat saksi bagi beragam lain sudah tidak dipermasalahkan (kecuali diantara kedua belah pihak dilibatkan dalam urusan agama).

  2. Balig; seorang anak di bawah umur atau anak kecil dilarang dihadirkan sebagai saksi. Tentu saja hal ini sangat berpengaruh pada kondisi si saksi yang (apabila masih anak-anak) masih tidak dapat dipercaya. Sedang ketentuan balig di sini, minimal 15 tahun.

  3. Berakal; seorang yang tidak berakal, sangat ragu dalam mengatakan hal yang sebenarnya, sedang keadaannya yang tidak berakal, tentu akan menjadikannya tidak dapat mengetahui dengan dengan jelas keadaan yang sebenarnya.

  4. Merdeka; seorang hamba sahaya tidak dapat dijadikan sebagai saksi lantaran dalam keadaan yang bukan miliknya. Namun demikian, yang dinamakan merdeka di sini bersifat umum, sedang pada zaman sekarang sudah tidak ada yang dapat dikatakan sebagai hamba sahaya (budak belian). Sedang pekerjaan yang dituntut untuk mengikuti perintah majikannya (baca; pembantu rumah tangga) bukanlah hamba sahaya.

  5. Adil; seperti yang dikatakan sebelumnya, hal ini sangat menentukan keputusan hakim dalam menyelesaikan suatu perkara, sedang adil sendiri berfungsi sebagai penengah diantara mereka yang berselisih. Seorang yang adil dalam Islam sendiri memiliki beberapa syarat yang harus diperhatikan, diantaranya adalah 1. mereka yang menjauhi segala dosa besar, dan tidak secara menerus melakukan dosa kecil, 2. baik hati, 3. baik dalam beretika (dapat dipercaya, bahkan dalam keadaan marah pun mampu mengatur emosinya), dan 4. selalu menjaga kehormatannya.

  6. Tidak sebagai musuh terdakwa dan atau yang berhubungan dengannya; hal ini juga menyangkup hubungan keluarga si saksi, jika dalam hubungannya ditemukan dalam kondisi berselisih pula dengan terdakwa, tidak layak dijadikan sebagai saksi lantaran akan memberatkan sepihak.

c. Pendakwa dan Terdakwa

Pendakwa adalah seorang yang dinilai dirugiakn oleh pihak lain yang telah melaporkan permasalahannya pada persidangan, sedang terdakwa adalah seorang atau lebih yang menerima tuduhan dari pendakwa.

Pada dasarnya, antara pendakwa dan terdakwa bukanlah merupakan diantara dua orang yang sedang dalam permasalahan benar atau bersalah, melainkan lebih tepat dalam kondisi berselisih guna menyelesaikan permasalahannya. Sedang bagaimanapun keputusan yang telah dilontarkan oleh hakim, merupakan suatu keputusan yang dinilai adil. Itu sebabnya, pada kedua penyelisih ini diharapkan untuk dapat membawakan saksi-saksinya sebagai bukti kuatnya.

Seperti kasus yang dialami oleh Nabi Yusuf, ketika sedang dihadapkan pada permasalahan benar-salah dengan Zulaikha, Nabi Yusuf sendiri adalah sebagai terdakwa, dan Zulaikha sebaliknya. Jika terdakwa memang selalu dianggap sebagai yang salah, tentu Nabi Yusuf adalah sangat bersalah, namun demikian, meski Nabi Yusuf sebagai terdakwa, pada akhirnya pun diketahui Nabi Yusuf sebagai pihak yang benar.

Pentingnya saksi dan bukti dalam persidangan bagi keduanya adalah menjadi penjembatan diantara mereka, sedang sayarat-syarat utamanya sudah dijelaskan. Hal ini dikarenakan agar tidak menjadi sangsi terhadapa hukuman yang akan dijatuhkan. Kisah Nabi Yusuf adalah salah satu diantara banyak kisah yang cenderung memihak. Hal ini lantaran kedua belah pihak tidak menghadirkan saksi dan bukti. Meski diketahui Nabi Yusuf benar, keputusan akhirnya pun tetap menyatakan Nabi Yusuf sebagai yang bersalah lantaran pendakwa (Zulaikha) adalah seorang istri dari pejabat pada masa itu.

Tentang penghadiran bukti dan saksi bagi kedua penyelisih sangat ditekankan pada masa Khalifah Umar. Namun demikian, pada masa sebelumnya sudah pernah dijelaskan perkaranya. Hanya saja, pada masa Nabi Muhammad dan Abu Bakar, penekanan sumpah kepada terdakwa adalah sudah menjadi bukti kuat dalam hal pelaporannya. Lantaran sepeninggal Nabi Muhammad, telah diketahui bahwa telah banyak pula yang kemudian berkhianat dan menjadikan sumpah sebagai jalan pintas dalam menjatuhkan pihak lainnya. Melihat hal yang demikian, Khalifah Umar kembali menekankan arti penting dari sebuah peradilan dengan menghadirkan bukati dan saksi diantara keduanya yang telah diberikan masa kepadanya. Sedang sumpah pu masih ditanggungkan kepada pendakwa.

Bagi kedua elah pihak yang sedang berselisih, dalam hukum Islam diperkenankan baginya untuk kemudian berdamai sebelum keputusan dijatuhkan maupun sudah dijatuhkan. Namun demikian, syarat menuju perdamaian tersebut tidak dapat dilakukan lantaran merasa iba atau mendapatkan tekanan dari pihak manapun. Syarat yang menjadi mutlak ini adalah jka keduanya telah bersepakat dan tidak menjadikannya sebagai yang dirugikan satu sama lainnya.

1 Lihat pula; Jamal al Din al Suyuthi dalam “Tarikh al Khulafa’”, h. 11.

2 Tim Penyusun PUSLIT IAIN Syarif Hidayatullah dalam “Pendidikan Kewargaan Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani”, h. 56-57.

3 Asosial adalah bertentangan satu sama lainnya, sedang antagonistis adalah sifat kerusuhan (dapat menuju anarkisme).

4 Pada masa pemerintahan Mamluk Bahriyah tahun 1250-1389 M; Sedang yang menjadi Khalifah adalah Musthansir, seorang dari Bani Abassiah yang dibaiat oleh Azh Zhafir Bibaris pada tahun 1260. Azh Zhafir Bibaris sendiri adalah Sultan kelima dari Bani Mamluk Bahriyah pada tahun pengangkatan 1259. Baca lagi pada bab sebelumnya.

5 H. Sulaiman Rasjid dalam “Fiqh Islam: Hukum Fiqh Islam”, h. 494.

6 H. Sulaiman Rasjid dalam “Fiqh Islam: Hukum Fiqh Islam”, h. 502-503.

7 Yang tergolong dalam golongan ulama, cerdik pandai, berpengatahuan luas, dan para pemimpin yang memiliki kedudukan dan dipercaya masyarakat, serta yang berlaku adil dalam segala keputusan (tidak memihak).

8 Sepakat ahli kitab, ulama, dan kaum cerdik pandai.

9 Menetap hukum yang tidak ada nashnya dalam Al Quran dan Hadis.

10 Pemindahan Qiyas yang pertama ke Qiyas yang lainnya dengan hukum yang lebi jelas.

11 Melalui media argumentasi yang masuk akal.

12 Ilmu pengetahuan

13 Menjalankan hukum sesuai mazhab tertentu.

14 H. Sulaiman Rasjid dalam “Fiqh Islam: Hukum Fiqh Islam”, h. 1-4.

15 Dikutip secara langsung dari H. Sulaiman Rasjid dalam “Fiqh Islam: Hukum Fiqh Islam”, h. 486.

16 Setidaknya minimal berumur lebih dari 15 tahun.

17 Tidak akan dapat kemenangan suatu kaum yang menguasakan urusan mereka kepada perempuan. (HR. Bukhari, Tirmizi, dan Nasai). Ayat ini dikutip secara langsung dari H. Sulaiman Rasjid dalam “Fiqh Islam: Hukum Fiqh Islam”, h. 487.

18 Janganlah seseorang memutuskan hukum diantara dua orang (yang bersengketa), sedang ia dalam keadaan marah (emosi). (HR. Jama’ah Ahli Hadis). Ayat ini dikutip secara langsung dari H. Sulaiman Rasjid dalam “Fiqh Islam: Hukum Fiqh Islam”, h. 488.

19 Allah mengutuk orang yang menyogok (menyuap) dan orang yang disuapnya dalam hukum. (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmizi). Ayat ini dikutip secara langsung dari H. Sulaiman Rasjid dalam “Fiqh Islam: Hukum Fiqh Islam”, h. 488.

20 Tidak diterima saksi pemeluk suatu agama terhadap yang bukan pemeluk agama mereka (Islam). (HR. Abd. Razzaq). Ayat ini dikutip secara langsung dari H. Sulaiman Rasjid dalam “Fiqh Islam: Hukum Fiqh Islam”, h. 490.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar