Senin, 04 Januari 2010

Semar Pulang Kampung

Berita kematian KH. Abdurrahman Wahid atau yang kerap disapa dengan nama Gus Dur ini menjadikan Indonesia berkabung. Bagaimana tidak, sosok yang kental akan humor-humor menggelitiknya tersebut dengan sekejap telah meninggalkan banyak anak didiknya yang masih ingin belajar banyak kepadanya.

Tokoh pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan juga cucu dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) ini meninggal akibat komplikasi penyakit yang dideritanya yang gagal diselamatkan pada pukul 18.45 Wib tanggal 30 Desember 2009 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Dan dengan diumumkannya berita kematian Gus Dur, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang sejam sebelumnya sempat menjenguk Gus Dur pun kemudian menjadi sangat terpukul. Mimik wajah kesedihan yang diperlihatkannya diberbagai media massa tersebut pun tidak dapat dibohongi dan dihindari. Itu sebab, menurut Presiden SBY, Gus Dur pantas menyandang gelar Bapak Pluralisme dan Multikulturalisme.

Pemberian gelar Bapak Pluralisme dan Multikultarilme kepada Gus Dur ini dinilai banyak kalangan tidak berlebihan bahkan cenderung kurang karena jasa-jasa yang ditorehkan Gus Dur selama ini sangat memuaskan. Khususnya warga Tionghoa, mereka merasa merdeka setelah beberapa tahun dikurung dalam genggaman mantan Presiden Soeharto. Dengan dikeluarkannya Keppres RI No 6/2000 yang menyatakan mencabut Inpres No 14/1967 yang dinilai merugikan bagi sebagian warga khususnya keturunan Tionghoa in pun kemudian menjadikan sebuah ruang longgar untuk warga Tionghoa memuali hidup baru. Keppres tersebutlah kemudian menjadikan warga Tionghoa tidak lagi menjadi “Binatang Ekonomi” seperti yang disampaikan Mustofa Liem, anggota dewan penasihat Jaringan Tionghoa Untuk Kesetaraan. Bahkan sebagai wujud rasa terimakasih dan penghargaannya, pemuka agama Konghuchu Bingki Irawan pun akan segera mengusulkan kepada Majelis Tinggi Agama Konghuchu Indonesia (Matakin) untuk memasukkan tanggal kematian Gus Dur di kalender Matakin berikutnya. “Hanya itu yang bisa saya lakukan. Supaya sejarahnya saat memperjuangkan agama Konghuchu tidak pernah hilang.” Ujarnya seperti yang dikutip dari Jawa Pos 2 Januari 2010.

Dimakamkan di Maqrabah (pemakaman) Tebuireng yang terletak di sisi barat Wisma Hadji Kalla Ponpes Tebuireng yang berada persis di sisi utara makam KH. Hasyim Asy’ari, menurut KH Sholahudin Wahid (Gus Sholah) luas makam Gus Dur adalah 2.20m x 1.00m dengan kedalamannya yang mencapai 1.90 meter. Namun sangat disayangkan karena para peziarah makam Gus Dur pun kemudian berangsur menjadi penjarah makam. Itu sebab, Gus Sholah bersama seluruh pengurus makam pun bersepakat untuk memberikan rambu-rambu yang melarang kepada pziarah untuk menjarah tanah ataupun yang berada di atas makam Gus Dur tersebut.

Meski pelarangan tersebut terlihat di hampir sudut maqrabah, para peziarah itu pun tidak mnghiraukan. Diantara kebanyakan mereka mengatakan bahwa mereka yakin tanah dan atau bunga yang ada di atas makam Gus Dur tersebut sangat brkhasiat bagi ksembuhan dan hal sebagainya. Dengan dikenalnya sosok tokoh multitalenta inilah yang kemungkinan bsar menjadikan seluruh penziarah pun berpikir sendiri bahwa apayang menyangkut Gus Dur adalah berkhasiat.

Kepiawaian Gus Dur dalam segala bidang ini sering digambarkan oleh banyak orang (khususnya seniman dan sastrawan) dengan menggambarkan dirinya sebagai salah satu sosok Punowakan yang juga dikenal arif dan bijak dalam pengambilan segala keputusan. Dia adalah Semar.

Dalam pewayangan, Semar yang bersama kawan-kawannya, Bagong, Petruk, dan Gareng ini sering membantu Pandawa Lima dalam malaksanakan segala hal yang sedang terjadi. Hanya saja, kini sosok Semar yang divisualisasikan kepada Gus Dur tersebut telah pulang kampung menuju Sang Pencipta dan meninggalkan Pendawa Lima untuk selama-lamanya.

Secara tidak disadari, sebagian orang selalu menghitung jumlah orang yang meninggal di kampungnya. Dan dapat dipukul rata, jumlah kematian yang terjadi di bberapa kampung tersebut seperti sudah mendapatkan jatah. Dan seperti dalam tokoh pwayangan itu sendiri, Gus Dur yang krap digambarkan sebagai Semar ini pun mengumbar banyak tanya. Dalam kelompoknya, Punokawan terdii dari empat orang, yaitu Bagong, Petruk, Gareng, dan Semar itu sendiri. Dan jika Semar memilih untuk pulang kampung, bagaimana dengan Punokawan lainnya?

Seperti sudah menjadi ikatan batin diantara sesama Punokawan, Semar yang memilih untuk pulang kampung pun kemudian disusul oleh para Punokawan lainnya. Hal inilah yang kemudian menjadikan sebuah momen yang paling bersejarah seumur hidup. Bagaimana tidak, belum habis masa belasungkawa di Indonesia, kematian Gus Dur ini pun kemudian di susul oleh kematian tokoh-tokoh penting lainnya. Sebut saja Fransiscus Xaverius Seda yang meninggal pada 31 Januari 2010 pukul 05.15 Wib di rumahnya, jalan Meto Kencana V Pondok Indah Jakarta Selatan.

Fransiscus Xaverius Seda atau yang sering dikenal dengan nama Frans Seda ini adalah tokoh penting di pemerintahan dengan banyak penghargaan dan penghormatan. Bahkan dalam masa pemerintahan Gus Dur itu sendiri, Fans Seda dipercaya sebagai Penasihat Ekonomi dari tahun 1999 hingga 2001. Itu sebab, ketika berita kematian Gus dur ramai dibicarakan publik, keluarga Frans Seda pun memilih untuk tidak menceritakan dan mmberitahukan perihal tersebut mengingat kesehatannya yang sedang terganggu. Pihak keluarga takut jika rans Seda yang merupakan sahabat Gus Dur ini akan melayat yang akhirnya akan memperparah keadaannya pribadi. Namun Sang Pencipta berkata lain, belum kelar Gus Dur dimakamkan, Frans Seda pun menyusulnya.

Seperti yang diketahui, Gus Dur di mata warga Tionghoa adalah sangat penting dan berjasa, terlebih lagi bagi H. Abdul Chalim Muhammad yang akrab dipanggil Kho Ling ini. Dia juga salah seorang sahabat Gus Dur yang kemudian akrab sejak tahun 1980-an. Pada masa-masa itu, antara Gus Dur dan Kho Ling terlihat sering berjalan bersama. Terlebih lagi dirinya pernah menjadi bodyguard Gus Dur saat Gus Dur dinyatakan sebagai ketua PBNU dari Mukjtamar NU ke-27 Situbondo. Dengan adanya kedekatan tersebut, tidak urung keduanya pun dianggap sebagai saudara kandung karena dinilai memiliki pistur tubuh yang hampir mirip.

Setelah lama mendrita sakit kanker hati stadium 4, tepat pada tanggal 2 Januari 2010 pukul 16.15 Wib dari Rumah Sakit Darmo Surabaya, Kho Ling pun kemudian menyusul Gus Dur untuk berpulang ke rahmatullah.

Kho Ling adalah mantan atlet gulat nasional yang kemudian berganti jalur ke dunia politik dan keagamaan. Diantaranya adalah pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Lembaga Perekonomian PWNU Jatim, Pengurus MUI Jatim, Pengurus Lembaga Ekonomi PBNU, Sekjen DPP Pembina Iman Tauhid Indonesia (PITI), Pendiri Yayasan Haji Muhammad Cheng Ho, Pengurus DPW PKB Jatim, dan terakhir adalah Pengurus DPP PKNU.

Siapa Punokawan yang keempat?

Dia adalah Marwoto. Dia bukan pelawak meski kesehariannya dikenal sebagai sosok seorang yang humoris. “Dalam beberapa kesempatan bersama, beliau itu suka joke.” Ujar Saleh Husin, Wakil Sekjen Partai Hanura.

Memiliki nama lengkap Marwoto Mitrohardjono adalah Wakil Ketua DPR yang diusung dari Partai Amanat Nasional (PAN). Lantaran menderita penyakit komplikasi, Marwoto pun kemudian menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 3 Januari 2010 pukul 16.00 Wib di Rumah Sakit Metropolitan Medical Center (RS MMC) Jakarta Selatan.

Selamat tinggal semuanya.... Semoga kalian menemukan rumah kalian di sisi-Nya dan segala amal ibadah kalian diterima. Amien....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar